Sejumlah elemen masyarakat berharap keadilan akan hadir bagi Adelina Sau, Pekerja Migran Indonesia (PMI) asal Nusa Tenggara Timur (NTT) yang disiksa hingga tewas oleh majikannya di Negeri Jiran. Mahkamah Persekutuan Malaysia direncanakan akan menyampaikan kesimpulan terkait kasus pidana Adelina pada 9 Desember 2021. Mereka berharap majikan Adelina yang bernama Ambika MA Shan itu akan dihukum seberat-beratnya.
“Kami berharap pengadilan memutuskan pelaku bersalah, dan dihukum seberat-beratnya,” kata Koordinator Koalisi Masyarakat Pembela Adelina Sau Korban Human Trafficking (Kompas Korhati), Gabriel Goa, ketika dihubungi VOA, Sabtu (13/11).
Pengadilan Malaysia pada April 2019 telah membebaskan sang majikan, Ambika MA Shan, meski dikenakan tuntutan menurut Pasal 302 Hukum Pidana Malaysia. Pasal itu memungkinkan dijatuhkannya hukuman mati, karena itu putusan bebas mengundang keprihatinan pemerintah Indonesia, dan protes dari berbagai pihak.
Koalisi Kompas Korhati dibentuk oleh sejumlah lembaga dan individu yang peduli pada isu perdagangan manusia. Gabriel menegaskan, mereka akan terus memperjuangkan penegakan hukum Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di Tanah Air. Salah satu yang paling penting adalah menjerat aktor intelektual kasus ini, yaitu direktur perusahaan utama pengerah pekerja migran Indonesia.
“Dia telah memalsukan umur dan dokumen Adelina Sau,” kata Gabriel memberi alasan.
Penting juga bagi koalisi, untuk menjerat agen dan tekong di Malaysia dalam kasus ini, dengan pengenaan hukum human trafficking Malaysia.
Gabriel juga menjelaskan, pelaku di tingkat lokal yang ada di NTT sudah dipenjara. Namun aktor intelektualnya, yang diduga berada di Bekasi, belum disentuh hukum.
Gabriel juga mengingatkan, perjanjian kerja sama Indonesia dan Malaysia terkait penempatan dan perlindungan pekerja migran yang ditandatangani 2016, sudah berakhir. Menjadi tugas seluruh pihak untuk membenahi kondisi yang ada.
BACA JUGA: Majikan Adelina Bebas, Indonesia Minta Jaksa Ajukan BandingPemerintah Tidak Menyerah
Dalam diskusi mengenai kasus Adelina Sau yang diselenggarakan Rabu (10/11), Judha Nugraha dari Kementerian Luar Negeri Indonesia mengatakan, pemerintah telah melakukan banyak langkah. Judha yang juga Direktur Perlindungan WNI dan BHI di Kemenlu menyebut langkah itu, di antaranya adalah pertemuan dengan pejabat Malaysia. Salah satu yang sangat penting, adalah pertemuan dengan Jaksa Agung Malaysia.
“Kita menyampaikan dalam pertemuan tersebut, ketidakpuasan kita terhadap keputusan Mahkamah Persekutuan Malaysia. Dan meminta perhatian Kejaksaan Agung Malaysia agar dalam menangani kasus Adelina Sau, dapat lebih serius karena kasus ini mendapat perhatian besar, bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di Malaysia,” ujar Judha.
Judha juga memastikan, harapan pemerintah sama dengan harapan semua pihak, yaitu keadilan bagi Adelina Sau. Selain itu, juga sanksi hukum yang tegas bagi pelaku sehingga tidak ada kasus seperti Adelina Sau lagi.
“Kita meminta dalam kasus Adelina Sau, betul-betul dapat ditegakkan keadilan dan pelaku mendapat hukuman setimpal,” katanya.
Namun, Judha meminta semua pihak juga memahami proses hukum yang ada. Persidangan yang terjadi adalah antara Jaksa Penutut Umum dan Pengadilan Malaysia, terhadap majikan Adelina Sau. Pemerintah Indonesia melalui perwakilannya di Negara Bagian Penang, hanya dapat memantau dan mendorong penegakan hukum.
“Jika langkah pidana ini tidak membuahkan hasil, misalnya 9 Desember nanti memutuskan bahwa Mahkamah Persekutuan menguatkan putusan Mahkamah Rayuan sebelumnya, maka keputusan itu akan berstatus inkrah, jadi langkah pidananya akan terhenti, karena sudah ada di Mahkamah Persekutuan,” tambah Judha.
Namun, jika secara pidana pelaku tidak dapat dihukum, pemerintah menjanjikan upaya hukum lain, yaitu tuntutan perdata.
Kasus Adelina Sau juga sebaiknya menjadi pembelajaran bagi semua pihak. Agar tidak terulang kembali, PMI harus bekerja melalui proses yang benar sejak pembuatan identitas di dalam negeri, yaitu KTP sebagai dasar pembuatan paspor.
Lobi Politik Penting
Pengacara kasus korban perdagangan manusia, Ermelina Singereta, mengakui adanya tindakan pelanggaran hukum yang dialami Adelina Sau sejak keberangkatannya dari Indonesia. Keberangkatan itu diwarnai proses dan cara yang tidak sesuai dengan aturan hukum.
“Tindakan perdagangan terhadap korban semakin terlihat dengan jelas karena ada tindakan trafficking yang dilakukan oleh agen, atas nama Ms. Lim,” papar Ermelina dalam diskusi ini.
Sejumlah poin penting dalam kasus Adelina Sau, kata Ermelina, adalah bahwa kasus ini merupakan kejahatan kemanusiaan, karena adanya tindakan yang tidak manusiawi yang dialami oleh korban. Selain itu, patut diperhatikan pula adanya kesalahan prosedural peradilan yang ada di Malaysia, khususnya berkaitan dengan tindakan jaksa.
Dia merekomendasikan sejumlah langkah yang perlu dilakukan, di antaranya adalah melakukan lobi politik, melakukan advokasi media, dan meminta dukungan internasional. Penting juga untuk melakukan kerja sama bilateral dengan pemerintah Malaysia, khusus untuk membahas penyelesaian masalah perdagangan orang yang terjadi di Malaysia.
“Negara juga perlu memberikan kompensasi kepada keluarga korban,” lanjut Ermelina.
Indonesia-Malaysia Perlu Tegas
Sementara Country Director RIGHTS Foundation Indonesia-Malaysia, Nukila Evanty, meminta pemerintah Indonesia dan Malaysia harus segera meratifikasi Konvensi ILO Nomor 189 tentang Pekerjaan Layak bagi Pekerja Rumah Tangga.
BACA JUGA: Keluarga Kecewa Majikan Adelina Sau Divonis Bebas“Pemerintah Indonesia harus terus melakukan upaya diplomasi dalam kasus hukum Adelina Sau dan Malaysia harus segera membuat regulasi Perlindungan PRT,” papar Nukila.
Pemerintah Indonesia, kata Nukila, juga harus bersungguh–sungguh dalam penegakan hukum dan melaksanakan UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, terutama untuk kasus-kasus perdagangan anak (child trafficking).
“Pemerintah Indonesia dan Malaysia juga harus segera bekerja sama mengimplementasikan Konsensus ASEAN tentang pemberantasan perdagangan manusia dan perlindungan pekerja migran melalui undang-undang nasional,” tambah Nukila.
Perjalanan Kasus Adelina Sau
Nasib buruk Adelina bermula pada 2013, ketika data dirinya mulai dipalsukan dari KTP, Kartu Keluarga, hingga paspor. Dia yang lahir pada 1998, dituliskan lahir pada 1992, dan berangkat ke Malaysia untuk bekerja di umur 15 tahun, dari syarat minimal 21 tahun.
Adelina berangkat ke Malaysia pada 15 Juni 2013 dengan visa pelancong melalui sponsor perorangan. Dia berangkat dari NTT, menuju Blitar, Batam, Johor Bahru dan Kuala Lumpur, lalu bekerja pada Tan Chee Wah di Kuala Lumpur hingga 28 Augustus 2014. Visa kunjungan singkat Adelina lalu dikonversi majikannya menjadi izin kerja setahun.
Pada September 2014 Adelina masuk kembali ke Indonesia, lalu kembali ke Malaysia pada 22 Desember 2014, via pelabuhan Hutan Melintang di Negeri Perak, menggunakan visa pelancong dan diterima oleh agen Ms. Lim. Orang inilah yang kemudian “menjual” Adelina kepada agen lain, yaitu Siti Rahaida alias Aida yang kemudian mempekerjakannya kepada Jayavartiny di Penang.
Pada 10 Februari 2018, Kepolisan Seberang Perai Tengah menerima pengaduan dari seseorang bernama Por Cheng Han, terkait penyiksaan terhadap asisten rumah tangga. Polisi melakukan penyelamatan pukul 20.00 dan membawa Adelina ke Rumah Sakit Bukit Mertajam dan dilarikan ke ICU. Tiga jam kemudian, KJRI Penang menerima informasi mengenai Adelina melalui LSM Tenaganita. Pada 11 Februari 2018 pagi, Adelina dinyatakan meninggal dunia.
Polisi menduga Adelina dianiaya oleh ibu majikannya, yaitu Ambika yang kemudian ditangkap pada 12 Februari 2018. Jenazah Adelina sendiri dipulangkan dan tiba di Kupang pada 17 Februari 2018.
Mulai 19 April 2018, sidang terhadap Ambika digelar di Mahkamah Majistreet Bukit Mertajam. Kemudian dipindahkan ke Mahkamah Tinggi Pulau Pinang, yang pada 18 April 2019 membebaskan Ambika. Juni 2019, Kejaksaan Agung Malaysia memohon banding ke Mahkamah Rayuan Putrajaya yang putusannya tetap sama. Kejaksaan Agung Malaysia kembali mengajukan banding ke Mahkamah Persekutuan pada 24 September 2020. Hakim Mahkamah Persekutuan memutuskan sidang membahas substansi banding pada tanggal 9 Desember 2021. [ns/ah]