Dalam putusannya Selasa lalu (12/7), Mahkamah Arbitrase Internasional menetapkan kemenangan bagi Filipina dalam sengketa wilayah kedua negara di Laut China Selatan.
Pengadilan internasional ini menyatakan klaim historis China atas wilayah Laut China Selatan tidak sah.
Dalam jumpa pers di kantornya, Kamis (14/7), juru bicara Kementerian Luar Negeri Arrmanatha Nasir menekankan kembali pentingnya stabilitas di Laut China Selatan sebab hal ini mendorong pesatnya pembangunan negara-negara di kawasan dalam beberapa dasawarsa terakhir.
"Fokus dari pernyataan kita intinya ada dua. Petama, kami ingin menekankan kembali kepada semua pihak dalam menanggapi hasil dari keputusan PCA (Mahkamah Arbitrase Internasional) untuk menahan diri dan mengutamakan upaya untuk menjaga perdamaian dan stabilitas di kawasan. Kita sebagai bagian dari komunitas internasional juga mendorong semua negara mematuhi hukum internasional, dalam konteks ini termasuk UNCLOS," katanya.
Your browser doesn’t support HTML5
Situasi di kawasan langsung memanas setelah pemerintah China menolak dan bahkan tidak mengakui putusan Mahkamah Arbitrase Internasional itu.
Wakil Menteri Luar Negeri China Liu Zhenmin menegaskan pulau-pulau di Laut Cina Selatan sebagai wilayah tak terpisahkan dari China. Dia menyatakan Beijing akan mendeklarasikan zona identifikasi pertahanan udara (ADIZ) di atas perairan Laut Cina Selatan bila merasa terancam.
Beberapa pekan sebelum keluarnya putusan Mahkamah Arbitrase Internasional, Presiden Joko Widodo menggelar rapat di atas kapal perang di perairan Kepulauan Natuna, wilayah kedaulatan Indonesia di Laut Cina Selatan. Presiden menyatakan pengamanan di daerah perbatasan mesti ditingkatkan.
"Merupakan kewajiban Tentara Nasional Indonesia untuk menjaga bordersnya. Apa yang dilakukan oleh TNI merupakan kewajiban mereka untuk menjaga perbatasan NKRI. Jangan dikaitkan dalam kontek lain, tapi hanya dalam konteks menjaga borders NKRI," ujar Arrmanatha.
Ada lima negara terlibat dalam sengketa wilayah di Laut China Selatan, yakni China, Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei Darussalam.
China mengklaim sekitar 90 persen perairan di Laut Cina Selatan dan sudah memasukkanya ke dalam peta negara pada 1947. Beijing menyatakan Kepulauan Paracel dan Spratly telah menjadi bagian dari China sejak dua ribu tahun lalu lewat sembilan garis putus-putus.
Filipina mengklaim delapan pulau di Kepulauan Spratly berdasarkan Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCLOS). Filipina memasukkan kedelapan pulau itu ke dalam yurisdiksi kota Masinloc.
Sejumlah insiden terjadi dalam sengketa berkepanjangan di Laut China Selatan. Tahun ini saja ada tiga insiden, termasuk bulan lalu di mana China menyelesaikan pembangunan satu pulau reklamasi di Kepulauan Spratly.