Selalu ada kebimbangan bagi anak-anak Indonesia yang lulus dari Sekolah Menengah Pertama: melanjutkan ke sekolah umum lalu kuliah, atau masuk sekolah kejuruan untuk bekerja secepatnya. Pemerintah nampaknya ingin melebarkan keran bekerja lebih cepat itu, dengan mengembangkan sekolah kejuruan dan vokasi.
Ratusan siswa Sekolah Menengah Kejuruan dari seluruh Indonesia beradu keahlian di Yogyakarta, 7-13 Juli ini. Ada 32 kompetensi keahlian dilombakan, yang menggambarkan seperti apa profesi anak-anak itu beberapa tahun mendatang. Sebagian keahlian itu harus bertahan di tengah gelombang revolusi industri 4.0 yang tengah mendapat perhatian serius dari pemerintah.
Your browser doesn’t support HTML5
Tidak mengherankan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sudah memiliki rencana untuk berhitung kembali. Direktur Pembinaan SMK Kemendikbud M Bakrun mengatakan, strategi pemerintah adalah mengembangkan sejumlah bidang keilmuan dan mengurangi yang lain.
“Pada dasarnya, industri 4.0 tidak akan menghapuskan secara langsung berbagai pekerjaan, tetapi akan menumbuhkan jenis pekerjaan baru lagi. Sekarang kita memang belum menghapus program kejuruan, tetapi ada yang kita kurangi, misalnya jurusan administrasi perkantoran, akuntansi. Akan kita kurangi jumlah siswanya. Memang masih diperlukan, tetapi tidak banyak,” kata Bakrun di Yogyakarta.
Pendidikan Kejuruan Dikembangkan
Di Indonesia, ada 14 ribu Sekolah Menengah Kejuruan dalam berbagai bidang keilmuan, mulai dari mesin, bangunan, memasak, menjahit, pertanian, kelautan hingga tata rias. Secara keseluruhan ada 110 kompetensi keahlian dalam program belajar tiga tahun, dan 36 kompetensi keahlian yang rentang waktu belajarnya empat tahun, dengan lebih dari 5 juta siswa di dalamnya.
Menurut Bakrun, pemerintah melihat jurusan seperti mekatronik, elektronik, dan robotik, akan cukup berperan dalam digitalisasi ke depan. Ada juga jurusan yang tetap penting karena fungsinya di tengah masyarakat, seperti bangunan, perhotelan dan restoran. Bakrun mengakui, untuk jurusan-jurusan yang pasar tenaga kerjanya terus menurun, jumlah siswanya akan terus dikurangi hingga hanya 20 persen dari kapasitas saat ini. Pemerintah daerah juga didorong membuka program sesuai kebutuhan lokal, seperti di Jawa Barat ada SMK Kopi, di Sulawesi Selatan dengan SMK Kakao, dan SMK Sawit di Riau.
“Target kami ke depan, jumlah SMK turun tetapi jumlah siswanya naik. Ada SMK yang siswanya kurang dari 60, sekitar 2.000 sekolah, yang akan ditutup. Jadi, kira-kira akan ada 12 ribu SMK, tetapi total siswa naik dari 5 juta menjadi 6 juta,” tambah Bakrun.
Pemerintah serius menggarap pendidikan kejuruan dan vokasi atau keahlian terapan. Setidaknya ini tergambar dalam pernyataan Agus Sartono, Deputi Bidang Koordinasi Pendidikan dan Agama, Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK). Dalam rilis resminya, termuat data bahwa setiap tahun SMK meluluskan 1,4 juta orang. Jika ditambah lulusan SMA, jumlahnya menjadi 3,5 juta orang. Di sisi lain, hanya ada 1,8 juta kursi di perguruan tinggi.
Karena itulah, pemerintah akan memperbaiki daya serap pendidikan vokasi bagi lulusan SMK. Saat ini, kapasitas politeknik dan sekolah vokasi sekitar 975 ribu. Ada dua skenario peningkatan kapasitas pada periode 2020-2024. Skenario pertama peningkatan 150 persen dengan anggaran Rp 11,4 triliun hingga Rp 28,5 triliun, dan kedua, peningkatan 250 persen dengan dana disediakan Rp 30 triliun sampai Rp 75 triliun. Pemerintah ingin jumlah politeknik dan sekolah vokasi di Indonesia seimbang dengan jumlah perguruan tinggi umum, seperti di banyak negara lain.
"Ini saatnya membangun SDM berkualitas secara masif dengan mendorong siswa melanjutkan ke politeknik. Selain menjawab tantangan dan kebutuhan pasar tenaga kerja, juga menyiapkan calon wirausahawan baru. Ke depan bukan ijazah yang diutamakan tetapi kompetensi jauh lebih penting,” ujar Agus.
Sarjana Terapan Ditawarkan
Banyak pihak menyambut gayung pemerintah pusat itu. Sekolah Vokasi UGM misalnya, yang tahun ini membuka lebih banyak program Sarjana Terapan atau Diploma empat tahun. Setidaknya ada sembilan program studi sarjana terapan baru dibuka, melengkapi empat program yang sudah ada. Program itu antara lain Manajemen dan Penilaian Properti, Teknologi Rekayasa Perangkat Lunak, Perbankan, Pengelolaan Arsip dan Rekaman Informasi, hingga Teknologi Rekayasa Internet.
“Sarjana Terapan adalah program setara S1 yang mengaplikasikan 60 persen praktik dan 40 persen teori dalam pembelajarannya. Di tahun terakhir, mahasiswa akan melaksanakan magang industri,” kata Wikan Sakarinto Ph D, Dekan Sekolah Vokasi UGM.
Jika mahasiswa S1 menyelesaikan kuliah dengan membawa ijazah, lulusan program sarjana terapan akan dilengkapi dengan sertifikasi kompetensi, kecakapan berbahasa Inggris, Surat Keterangan Pendamping Ijazah, dan prototipe atau produk yang dihasilkan selama kuliah.
Karena spesifikasinya itu, lulusan sarjana terapan lebih dibutuhkan dunia kerja dan industri. Sejak penyusunan kurikulum, sektor industri telah berperan agar lulusannya pun sesuai dengan harapan mereka. Konsep inilah yang disebut sebagai teaching industry, di mana pengembangan dan peningkatan pendidikan vokasional dilakukan bersama dunia usaha dan dunia industri (DUDI).
“Dengan teaching industry, kompetensi dan kreativitas mahasiswa meningkat. Harapannya, tercipta produk-produk baru yaitu prototipe industri, serta bertambahnya paten, produk beregistrasi, publikasi riset terapan, dan hilirisasi produk inovasi ke pasar global baik dalam bentuk komersial maupun pengabdian masyarakat,” tambah Wikan.
Perlu Perbaikan dari Dasar
Pengamat pendidikan dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Prof Sutrisno merekomendasikan sistem yang diterapkan Jerman, dapat ditiru dalam skema ini.
“Kalau misalnya mau mengadopsi model cepat, ya model Jerman. Anak-anak sudah diarahkan siapa yang mau kerja vokasi, siapa yang mau ke arah akademik. Anak-anak dipetakan sejak dari pendidikan dasar dan menegah, apakah mau ke akademik, ke vokasi atau profesi,” kata Sutrisno kepada VOA.
Namun, adopsi itu membutuhkan syarat, yaitu perubahan orientasi dalam pendidikan dasar dan menengah. Di SD dan SMP, kata Sutrisno, siswa harus lebih fokus pada fondasi dasar berpikir logis, memahami sebab-akibat, dan pembentukan kepribadian. Kelemahan di Indonesia, pendidikan dasar dan menengah terlalu dipenuhi penilaian kognitif dan angka-angka. Padahal moral, kepribadian, jiwa wirausaha, kejujuran atau kemandirian tidak dapat dinilai dengan angka.
Jika sudah terbentuk dengan baik, siswa tidak akan memiliki banyak kendala ketika masuk ke SMK dan kemudian mengambil pendidikan vokasi. Paling penting dalam proses ini adalah menyesuaikan dengan bakat, kemampuan dan minat siswa bersangkutan.
“Kalau pendidikan dasar dan menengah dari sisi pribadi sudah mantap, moral etik sudah bagus, muncul jiwa kewirausahaan, maka vokasi tinggal fokus ke minat dan bakat mereka, mau berkarier di bidang apa. Jadi sesuai minat masing-masing, kemudian difasilitasi. Kalau mereka sudah punya jiwa kewirausahaan, mereka bisa menciptakan lapangan kerja. Karena sampai kapan pun, pemerintah tidak akan mampu menyediakan lapangan kerja untuk semua lulusan sekolah,” tambah Sutrisno. [ns/uh]