Keragaman di industri komik dan novel grafik semakin terasa berkat kehadiran para penulis dan ilustrator yang memiliki latar belakang yang berbeda.
Beberapa waktu lalu kita mendengar ada sosok komikus asal Indonesia, Alti Firmansyah, yang berprofesi sebagai Line artist atau pembuat sketsa untuk komik daring "Goliath Girls" produksi perusahaan Comixology di Amerika Serikat. Ini merupakan hasil kolaborasinya dengan komikus lokal, Sam Humphries.
BACA JUGA: Alti Firmansyah, Komikus Indonesia yang MenduniaAlti yang juga pernah terlibat dalam penggarapan komik-komik keluaran Marvel, diundang langsung dari Indonesia untuk hadir sebagai pembicara dan perwakilan komik "Goliath Girls" di ajang Comic-Con, sebuah pameran komik dan hiburan multimedia di San Diego, California beberapa waktu lalu.
“Ini super amazing. Jadi ini pertama kali juga saya berada di SDCC (San Diego Comic Con). Saya amaze dengan variety tamu-tamunya, terutama saya di sini melakukan signing. Orang datang ke saya dari umur yang muda, sampai ke yang usia lanjut ada gitu. Semua race juga ada, jadi amazing,” papar Alti Firmansyah dengan gembira kepada VOA belum lama ini.
Your browser doesn’t support HTML5
Selain Alti yang berasal dari Indonesia, ada juga penulis sekaligus ilustrator Thi Bui, mantan pengungsi asal Vietnam yang datang ke Amerika Serikat saat berusia tiga tahun. Kisahnya menginspirasi salah satu karya novel grafiknya yang berjudul “The Best We Could Do,” yang bercerita tentang pergolakan yang terjadi saat perang Vietnam.
“Akibatnya keluarga saya mengungsi secara illegal dengan naik perahu hingga sampai ke Malaysia, dimana adik laki-laki saya kemudian dilahirkan. Akhirnya kami menetap di Amerika Serikat pada akhir tahun 1970an,” papar Thi Bui saat ditemui VOA Indonesia di ajang Comic-Con di San Diego, California, dimana ia diundang sebagai pembicara beberapa waktu lalu.
Melalui karyanya, seniman berusia 43 tahun ini ingin mewakili suara para pengungsi yang tak berdaya dan masih memerlukan bantuan. Ia pun berencana menyelipkan cerita tentang dampak dari deportasi di Amerika Serikat terhadap warga keturunan Asia Amerika dan Pasifik di novel grafik selanjutnya, “Nowhere Land,” yang rencananya akan dirilis tahun 2019 mendatang.
“Para pengungsi adalah orang-orang yang paling tidak berdaya dan mereka membutuhkan dukungan. Menurut saya, sangat penting bagi penduduk Amerika Serikat yang awalnya datang sebagai pengungsi untuk saling mengingatkan, bahwa pada awalnya tidak semua orang menginginkan kehadiran kita, dan adalah tugas kita untuk memberikan suara kepada orang-orang yang membutuhkan,” kata perempuan yang pernah berkunjung ke Yogyakarta selama dua minggu untuk menghadiri lokakarya komik yang pada waktu itu diadakan oleh kelompok dari Australia ini.
Thi Bui pun memuji bakat dan talenta para komikus di Indonesia yang menurutnya memiliki imajinasi yang menakjubkan.
"Mereka tahu bagaimana cara membuat karya seni dengan menggunakan bahan apa pun, dengan kedua tangan mereka, atau pun dengan sebatang kapur. Saya sangat menghargainya," kenang Thi Bui.
Komikus Allen Ling adalah anak dari keluarga pengungsi asal Tionghoa. Saat ditemui di pameran Comic-Con di San diego, ia tengah mempromosikan komik fiksi bertema fantasi yang berjudul “Genesis II.”
Walau menurutnya dunia komik masih didominasi oleh seniman berkulit putih, keragaman sudah mulai terasa dengan kehadiran seniman dari berbagai negara.
“Ras bukan lagi suatu masalah, asalkan kita bisa menghasilkan karya yang bagus. Yang menarik dari buku komik adalah tidak ada yang peduli akan paras kita. Orang hanya peduli dengan pekerjaan kita,” ungkap Allen Ling kepada VOA Indonesia.
Allen Ling berharap agar para seniman dari berbagai negara ini bisa mendapat pengakuan dan diterima oleh para pecinta komik di seluruh dunia.
“Menurut saya keragaman sangat penting, tapi yang terpenting adalah apakah para seniman ini mendapat pengakuan karena hasil karya mereka yang bagus dan bukan karena ras mereka?” ujarnya.
Kepada para komikus, Thi Bui berpesan agar selalu menjadi diri sendiri dan jangan meniru orang lain.
“Hargai dirimu yang bisa memberikan kontribusi pandangan yang berbeda,” tambahnya.
Yang tak kalah penting juga adalah untuk tidak pernah putus asa.
“Jangan pernah menyerah dan harus gigih. Carilah bantuan jika perlu,” pungkas Allen Ling. [di]