Sejumlah pejabat senior intelijen Amerika Serikat (AS) mengatakan, bahwa upaya musuh-musuh Amerika untuk memecah belah rakyat negara itu, dan menebarkan ketidakpercayaan terhadap pilpres mendatang, sudah mulai meningkat.
Mereka memperingatkan bahwa sejumlah negara terindikasi akan menggunakan upaya tambahan untuk memicu kekerasan terkait pemilu.
Penilaian terbaru yang dikeluarkan pada Selasa (22/10) oleh Kantor Direktur Intelijen Nasional, muncul hanya dua minggu sebelum para pemilih AS pergi ke tempat pemungutan suara pada 5 November mendatang.
“Aktor-aktor asing – terutama Rusia, Iran, dan China – tetap berniat mengobarkan berbagai narasi yang memecah belah dan merusak kepercayaan rakyat Amerika terhadap sistem demokrasi Amerika Serikat yang sesuai dengan apa yang mereka anggap sebagai kepentingan mereka,” kata laporan tersebut.
Namun, laporan itu memperingatkan bahwa badan-badan intelijen AS “semakin yakin” Rusia mulai terlibat dalam rencana yang “bertujuan untuk menghasut kekerasan.”
Lebih lanjut, laporan itu juga menilai Iran juga “mungkin mencoba menghasut kekerasan.”
Kekhawatiran Pasca-penutupan Jajak Pendapat
Yang menjadi perhatian khusus adalah apa yang berkembang pada jam, hari, dan minggu setelah pemungutan suara ditutup, ketika pejabat pemilu negara bagian dan lokal mulai menghitung dan mengesahkan hasilnya.
BACA JUGA: Dukungan Serikat Pekerja Berperan Besar dalam Pilpres ASMusuh-musuh AS “mungkin akan dengan cepat membuat narasi palsu atau memperkuat konten yang mereka pikir akan menciptakan kebingungan tentang pemilu, seperti mengung gah klaim ketidakberesan pemilu,” kata seorang pejabat intelijen AS, yang memberikan pengarahan kepada para wartawan dengan syarat anonim untuk mendiskusikan penilaian tersebut secara lebih terperinci.
Pejabat itu mengatakan Rusia, Iran, dan China “mungkin melihat adanya celah kerentanan untuk mendorong disinformasi, atau memicu, atau memperkuat protes dan ancaman” yang dimulai ketika pusat-pusat pemungutan suara ditutup dan diperpanjang hingga 6 Januari, ketika hasil pemilihan presiden disahkan oleh sidang gabungan Kongres.
“Protes kekerasan yang didorong atau diperkuat pihak asing, kekerasan atau ancaman fisik terhadap petugas pemilu, atau pejabat negara bagian dan lokal, bisa menantang kemampuan pejabat tersebut untuk melaksanakan sertifikasi dan proses Electoral College,” kata pejabat itu.
“Terutama jika mereka mencegah akses fisik yang diperlukan ke fasilitas atau lokasi itu.”
Para pejabat intelijen AS sebelumnya telah memperingatkan bahwa Rusia dan Iran, khususnya, telah sangat aktif menjalankan berbagai operasi pengaruh yang menarget para pemilih AS; dengan kemungkinan besar akan berlanjut pascapemilu 5 November.
Rusia, menurut mereka, telah bekerja untuk meningkatkan peluang mantan presiden dan kandidat Partai Republik saat ini, Donald Trump, sementara Iran telah bekerja untuk mecegah upaya pemilihan kembali Trump; dan sebaliknya mendukung kampanye Wakil Presiden Kamala Harris, kandidat presiden dari Partai Demokrat.
Menurut pejabat intelijen AS, sejauh ini China tidak ikut campur dalam pemilihan presiden, dan memfokuskan upayanya pada kandidat kongres dan negara bagian serta lokal yang dianggap mempromosikan kebijakan yang merugikan kepentingan Beijing, termasuk mereka yang menyuarakan dukungan untuk Taiwan.
Para pejabat mengatakan pada Selasa, bahwa informasi intelijen baru telah menimbulkan kekhawatiran bahwa Moskow, terutama, akan mencoba mengobarkan kekerasan setelah pemungutan suara ditutup.
“Kami memperkirakan Rusia akan lebih agresif pada periode ini jika wakil presiden (Kamala Harris) memenangkan pemilihan,” kata pejabat intelijen tersebut. “Rusia akan lebih memilih mantan presiden yang menang, dan mereka akan berusaha untuk lebih agresif merongrong kepresidenan presiden terpilih saat itu.”
Rusia, China, dan Iran semuanya telah membantah tuduhan AS sebelumnya tentang campur tangan dalam pemilu.
Rusia dan Iran belum menanggapi permintaan VOA untuk memberikan komentar. Namun, China pada Selasa (22/10) kembali membantah temuan intelijen AS yang terbaru.
“Pemilihan presiden adalah urusan Amerika Serikat,” kata Liu Pengyu, juru bicara Kedutaan Besar China di Washington, kepada VOA melalui email.
“China tidak berniat dan tidak akan ikut campur.”
Namun, para pejabat intelijen AS menunjuk pada apa yang mereka gambarkan sebagai contoh meningkatnya niat jahat, terutama oleh Rusia dan Iran.
Operasi pengaruh
Dalam salah satu contoh, para pejabat mengatakan bahwa aktor-aktor yang terkait dengan Rusia bertanggung jawab atas sebuah unggahan di platform media sosial X pada awal bulan ini, yang berisi tuduhan palsu terhadap calon wakil presiden dari Partai Demokrat, Tim Walz.
“Ada beberapa indikator manipulasi yang konsisten dengan pengaruh, upaya, dan taktik aktor-aktor pengaruh Rusia dalam siklus ini,” ujar pejabat intelijen AS tersebut.
BACA JUGA: Pemungutan Awal di Georgia, Jumlah Pemilih Pecahkan RekorDalam kasus lain, para pejabat AS mengatakan bahwa sebuah unit intelijen Rusia berusaha merekrut orang Amerika yang mereka nilai kemungkinan besar tanpa sadar akan mengorganisir aksi unjuk rasa.
Mereka juga merujuk pada tindakan yang diambil bulan lalu oleh beberapa lembaga AS untuk melawan sejumlah pengaruh Rusia, termasuk penggunaan situs web palsu dan pembentukan perusahaan cangkang untuk menyalurkan dana sebesar $10 juta kepada perusahaan media AS guna mendorong propaganda pro-Rusia.
Bulan lalu, AS juga memberikan hadiah dan mengajukan tuntutan pidana terhadap tiga peretas Iran, yang semuanya dituduh berusaha merusak kampanye pemilihan kembali Trump.
Ada kekhawatiran bahwa operasi pengaruh yang sedang berlangsung seperti ini, yang sering kali berusaha mengeksploitasi isu-isu politik yang memecah belah, bisa menimbulkan masalah.
“Bahkan, jika kampanye disinformasi ini tidak secara khusus menyerukan kekerasan, taktik yang digunakan untuk melemahkan kepercayaan terhadap lembaga-lembaga demokratis bisa mengarah pada kekerasan, meskipun tidak secara sengaja diserukan,” ujar seorang pejabat senior di Badan Keamanan Siber dan Infrastruktur AS (CISA), yang sama seperti pejabat intelijen AS yang tidak mau disebutkan namanya.
Mengharapkan Gangguan
Meski para pejabat AS meyakini bahwa perlindungan telah tersedia untuk mencegah musuh-musuh AS menyerang, atau meretas sistem yang digunakan untuk merekam dan menghitung suara, ada kekhawatiran bahwa mereka akan menarget infrastruktur AS lainnya untuk mencoba menimbulkan kepanikan atau kekerasan.
“Itu adalah kemungkinan yang nyata,” kata pejabat CISA, dan menambahkan bahwa masyarakat AS harus, “mengandaikan adanya gangguan.”
“Kita akan melihat lokasi pemungutan suara kehilangan daya,” kata pejabat itu. “Kita akan melihat potensi dampak pada sistem transportasi. Kita akan melihat potensi serangan ransomware terhadap kantor pemilihan umum lokal.”
BACA JUGA: Pilpres Amerika Serikat Semakin Dekat, Media Fokus Menjaga Keamanan DiriPara pejabat CISA mengatakan bahwa mereka telah bekerja sama dengan pejabat pemilihan umum negara bagian dan lokal untuk memastikan bahwa mereka siap untuk menangani gangguan yang terjadi secara tiba-tiba; dan para pejabat negara bagian mengatakan bahwa mereka siap.
“Semua negara bagian menganggap infrastruktur pemilu dan sistem teknologi informasi mereka sebagai target potensial ancaman,” kata Steve Simon, sekretaris negara bagian Minnesota yang juga merupakan presiden Asosiasi Nasional Sekretaris Negara Bagian (NASS), dalam sebuah panggilan telepon dengan para wartawan pada Senin (21/10).
“Para pejabat pemilihan umum di seluruh Amerika Serikat telah bekerja dengan sungguh-sungguh tanpa lelah dan konsisten untuk mengurangi risiko pada sistem dan proses pemilihan umum kami,” kata Simon. [th/ns]