Intervensi Keluarga Mutlak untuk Atasi Kekerasan yang Melibatkan Anak

  • Petrus Riski

Anak-anak bermain bakiak raksasa. Permainan tradisional lebih menanamkan semangat kebersamaan, kesetiakawanan dan kegembiraan.

Fenomena meningkatnya aksi kekerasan yang dilakukan anak terhadap teman sebaya, menjadi keprihatinan masyarakat saat ini. Terutama setelah minggu lalu terungkap insiden seorang siswa SMA di Sampang, Madura, yang memukul gurunya sendiri hingga akhirnya meninggal. Intervensi keluarga dinilai merupakan keniscayaan untuk mengatasi maraknya aksi kekerasan yang melibatkan anak ini.

Maraknya aksi kekerasan yang melibatkan anak, baik sebagai pelaku maupun korban, kini menjadi fenomena yang meresahkan masyarakat. Data di Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jawa Timur menunjukkan selama 2017 telah terjadi 390 kasus kekerasan, dengan jumlah korban mencapai 466 orang, sementara jumlah melaku mencapai 570 orang. Angka ini memang mengalami penurunan dibanding tahun 2016 yang mencapai 523 kasus, tetapi tingkat aksi kekerasan yang terjadi tetap meresahkan masyarakat.

Menurut Sekretaris LPA Jawa Timur Isa Anshori, dari 38 kabupaten/kota di Jawa Timur, kota Surabaya menempati urutan teratas dengan 82 kasus, Malang 48 kasus, Gresik 24 kasus, Sampang 17 kasus, dan Sidoarjo 15 kasus. Banyaknya kasus kekerasan yang melibatkan anak menjadi bukti telah terjadi perubahan perilaku pada anak. Pendidikan karakter anak, baik lewat institusi pendidikan maupun keluarga, dinilai mengalami kemunduran. Ini tercermin dari satu kasus kekerasan anak terhadap guru di Sampang, Madura.

"Melawan guru sebetulnya sikap kurang bertanggungjawab, di situ terlihat bahwa mulai ada sikap tidak menghargai kepada siapa pun yang sejatinya berjasa kepada diri kita sendiri. Ini bagian dari catatan, bahwa kasus Sampang itu cacatan sebagai mundurnya pendidikan karakter di dunia pendidikan," jelas Isa.

Banyak faktor yang diduga menjadi penyebab perubahan perilaku pada anak yang mengarah ke kekerasan, antara lain pengaruh permainan di telepon genggam, tontonan televisi, YouTube, hingga sarana bermain online yang dapat diakses melalui warung internet yang jelas tanpa pengawasan. Tidak hanya di kota besar, pengaruh game kekerasan juga telah merambah kota kecil hingga di pedesaan. Hal ini diungkapkan Tutut Guntari, guru SMP Negeri 3 Tanjunganom, Kabupaten Nganjuk.

Your browser doesn’t support HTML5

Intervensi Keluarga Mutlak untuk Atasi Kekerasan yang Melibatkan Anak

"Selain pendidikan di rumah, tontonan di televisi juga, YouTube, kekerasan yang ada di game, terutama game-game online dan game yang bisa diakses di rental-rental itu, terutama kalau di desa-desa seperti playstation semacam itu. Game HP juga marak, apa saja yang ada di kota itu, di desa juga sekarang sangat mudah, seakan-akan itu informasi ada di jari-jari anak-anak itu, tinggal pencet, mereka tanpa pengawasan, tanpa bimbingan orang tua," paparnya.

Namun menurut Anang Waluyo, guru SD Katolik Santo Aloysius Surabaya, meskipun fenomena kekerasan saat ini ditengarai banyak dipicu tontonan dan permainan berbau kekerasan, aksi kekerasan yang dilakukan oleh anak sebenarnya telah terjadi jauh sebelum teknologi berkembang pesat seperti sekarang ini. Dan kini hal itu semakin memburuk.

Ia mengatakan, "Fenomena kekerasan ini tanpa diiringi oleh kemajuan teknologi yang seperti sekarang ini sebetulnya sudah cukup jamak terjadi, bagaimana anak-anak melihat orang tua mereka, masyarakat, membaca, melihat, bahwa budaya kekerasan ini menjadi jalan tengah untuk sebuah konflik yang terjadi, entah interpersonal, entah antar kelompak, menjadi sebuah fenomena penyelesaian. Nah, orang-orang yang punya tujuan ekonomi melihat ini sebagai sebuah kesempatan. Kekerasan, fenomena ini kemudian diciptakan."

Menurut Anang, hal ini sedianya menjadi perhatian serius semua pihak; tidak saja mereka yang ada di institusi pendidikan dan pengambil kebijakan di tingkat pusat dan daerah, tetapi juga keluarga. Orang tua, ujar Anang, sedianya menjadi teladan bagi anak-anak.

Salah satu game kekerasan yang dapat diunduh dengan mudah.

Ia menambahkan, "Bagaimana sekarang kita sebagai orang tua juga sadar sepenuh-penuhnya bahwa kondisi ini tidak menjadi sebuah jalan yang baik untuk anak-anak. Bagaimana orang tua menjadi titik tengah keseimbangan ini. Anak dengan segala kemajuannya, lewat aplikasi tertentu sudah bisa mendownload ini via handphone, itu bisa didownload dengan mudahnya. Apakah orang tua cukup memiliki waktu untuk bisa mendampingi anak, melihat bahwa apa yang mereka lakukan ini sebagai sesuatu yang baik atau tidak. Bagaimana orang tua menjadi contoh bahwa setiap perbuatan yang baik itu sesuatu yang menular menjadi sebuah perbuatan yang baik."

Agnes Rini, warga Surabaya, sekaligus orang tua yang memiliki anak usia sekolah, mengaku harus rajin memeriksa isi telepon genggam yang dibawa anaknya, termasuk ada atau tidaknya game kekerasan yang dimainkan anak-anaknya.

"Saya harus kontrol apa yang didowonload anak saya, otomatis kita harus tahu apa yang dia lihat, game apa yang dia mainkan itu harus dikontrol juga, karena game-game sekarang itu sudah gak layaklah, kalau untuk anak-anak usia-usia umpamanya TK, SD, sampai SMP, gak layaklah game-game itu," ujarnya.

Langkah yang dilakukan Agnes dan para orang tua yang peduli dengan masa tumbuh kembang anak itu – lepas dari masalah yang dihadapi masing-masing keluarga – dinilai penting bagi masa depan mereka. Hal ini disampaikan Evy Handajani, kader pekerja sosial masyarakat kota Surabaya.

Evy mengatakan, "Sebaik apa pun kita menangani, tetapi kalau dukungan dari keluarga kurang, itu nanti juga berpengaruh dalam proses recovery dia untuk balik ke tempat yang kita harapkan. Jadi ketika dukungan keluarga ini kurang, itu tidak efektif. Tapi kalau dukungan keluarga bagus, jadi kita juga bareng-bareng, kita jejaring dengan lintas sektor, itu nanti hasilnya juga bagus."

Selama ini banyak orang tua tidak mampu mendidik anak dengan baik, karena belum siap secara psikologis dan belum cukup pengetahuan untuk menjadi orang tua. Oleh karena itu Direktur Eksekutif Surabaya Children Crisis Center (SCCC) Edward Dewaruci menilai sudah saatnya pemerintah daerah melakukan intervensi untuk mendukung pembinaan dalam keluarga, terutama di daerah-daerah yang rawan kekerasan anak.

“"embangun ketahanan keluarga dengan intervensi dari pemerintah. Pemerintah kan bisa punya peta, jadi misalnya kalau ada kasus kekerasan muncul, misalnya kalau Jawa Timur, Sampang, Situbondo, itu kan petanya sudha jelas. Pemerintah Provinsi mengintervensi pemerintah Situbondo, mengintervensi pemerintah Sampang untuk dia masuk kepada keluarga-keluarga, bikin program kegiatan yang dibiayai APBD untuk penguatan dan ketahanan keluarga, sosialisasi tentang pendidikan keorangtuaan, parenting education yang seperti apa itu kan semestinya dibangun, dikasi anggaran untuk kemudian berkegiatan untuk menciptakan kota layak anaknya itu yang benar," kata Edward. [pr/em]