Presiden Iran mengajukan rencana anggaran tahun 2019 kepada parlemen hari Selasa (25/12). Ini adalah anggaran yang pertama diajukan sejak Amerika Serikat memberlakukan kembali sanksi-sanksi yang telah dicabut berdasarkan perjanjian nuklir.
Anggaran bernilai 47,5 miliar dolar itu tidak sampai separuh dari anggaran tahun sebelumnya, terutama karena depresiasi tajam mata uang Iran, setelah keputusan Presiden Donald Trump untuk keluar dari perjanjian nuklir 2015 dengan negara-negara berpengaruh lainnya. Nilai mata uang rial Iran telah merosot dari sekitar 42 ribu per dolar setahun silam menjadi sekitar 100 ribu sekarang ini.
Pemerintah berencana untuk mendanai 35 persen dari anggaran itu dengan penghasilan dari minyak, dengan memproyeksikan ekspor hingga 1,5 juta barel minyak per hari dengan harga maksimum 54 dolar per barel. Tidak disebutkan apakah pemerintah memproyeksikan defisit anggaran.
BACA JUGA: Di Tengah-tengah Sanksi AS, Iran Ancam akan Tutup Selat HormuzAmerika memberlakukan lagi sanksi-sanksi keras terhadap industri perminyakan yang penting bagi Iran pada November lalu, tetapi memberi dispensansi bagi sejumlah negara yang memungkinkan mereka terus mengimpor minyak Iran dengan imbalan komitmen untuk menguranginya secara bertahap.
Presiden Hassan Rouhani menyatakan sanksi-sanksi itu telah merugikan Iran tetapi tidak membuat Republik Islam itu ‘bertekuk lutut.’
Ia mengatakan sanksi-sanksi itu terutama akan sangat mengganggu pembangunan ekonomi Iran dan merugikan warga miskin Iran. Pemerintah mengalokasikan 14 miliar dolar untuk mengimpor obat-obatan, peralatan medis dan berbagai keperluan lainnya, naik sedikit dari 13 miliar dolar yang dialokasikan pada anggaran tahun sebelumnya.
Para anggota parlemen menginterupsi pidato Rouhani dalam dua kesempatan untuk memprotes kebijakan pemerintah mengenai air. Iran mengalami kemarau panjang selama satu dekade, dan kekurangan air telah memicu berbagai protes sepanjang tahun lalu. [uh]