Israel, Minggu (13/6), meresmikan pemerintahan baru, mengakhiri pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu selama 12 tahun dan menjadikan Naftali Bennett – seorang ketua partai kecil berhaluan ultranasionalis keagamaan – sebagai pemimpin baru negara Yahudi itu.
Berdasarkan perjanjian pembagian kekuasaan di antara delapan partai politik, Bennett akan menjadi perdana menteri selama dua tahun. Perjanjian itu semula hampir tidak mungkin tercapai karena hanya ada sedikit kesamaan di antara delapan partai tersebut, kecuali dalam hal mengakhiri masa jabatan Netanyahu yang penuh gejolak.
Bennett adalah mantan sekutu Netanyahu yang pernah menjabat sebagai menteri pertahanan pada 2019 dan 2020.
Yair Lapid Akan Gantikan Bennett
Selanjutnya Bennett, yang berusia 49 tahun, akan digantikan oleh Yair Lapid, yang berusia 57 tahun, untuk dua tahun berikutnya. Yair Lapid, yang pernah menjabat sebagai menteri keuangan, juga dikenal sebagai mantan pembawa berita televisi yang menengahi kesepakatan untuk menggulingkan Netanyahu. Dalam pemilu Israel Maret lalu – atau yang keempat dalam dua tahun terakhir – Yair Lapid meraih total suara terbesar kedua setelah Netanyahu dari Partai Likud.
Netanyahu, yang telah berusaha menggagalkan koalisi delapan partai yang menggulingkannya, akan tetap menjadi pemimpin oposisi. Namun, ia juga kan segera diadili atas tuduhan korupsi.
Biden Ucapkan Selamat
Presiden AS Joe Biden memberikan ucapan selamat kepada para pemimpin baru Israel dan menyatakan antusias untuk memperkuat "semua aspek kerja sama yang erat dan langgeng antara kedua negara."
“AS terus mendukung keamanan Israel," kata Biden dari Eropa. "Pemerintahan saya berkomitmen penuh untuk bekerja sama dengan pemerintahan baru Israel untuk memajukan keamanan, stabilitas dan perdamaian bagi bangsa Israel, Palestina, dan masyarakat di kawasan sekitarnya."
Partai Islam Ra'am
Koalisi pemerintahan baru ini menandai pertama kalinya sebuah partai Arab, yaitu Partai Islam Ra'am, bergabung dengan koalisi pemerintahan Israel. Partai Islam Ra'am ini berupaya mendapatkan bagian pendanaan dari program-program baru untuk warga Arab di Israel, yang jumlahnya mencapai 20 persen dari total populasi.
Pada saat yang sama, untuk pertama kalinya sejak 1977, ada dua pengecualian singkat. Pertama, partai ultra-Ortodoks tidak akan menjadi bagian dari pemerintah. Mereka selama ini telah membentuk fondasi yang kuat bagi pemerintahan Netanyahu dan ketidakikutsertaan mereka dapat menghalangi pengaruh para rabi ultra-Ortodoks dalam hal hukum agama dan keluarga. Kedua, pembebasan komunitas Yahudi-Ortodoks dari wajib militer.
BACA JUGA: Dilema Pemerintahan Biden Hadapi 'Koalisi Rapuh' di IsraelDalam peran penting terakhirnya sebagai pemimpin Israel, Netanyahu telah memonitor perang udara dengan Hamas di Gaza bulan lalu. Ada spekulasi di dalam Israel bahwa perang melawan Hamas, yang oleh Amerika telah dianggap sebagai organisasi teroris, dapat menggagalkan upaya untuk menggulingkan Netanyahu. Namun, partai-partai oposisi tetap melanjutkan perundingan untuk membentuk aliansi anti-Netanyahu tak lama setelah gencatan senjata pada 21 Mei.
Pengambilalihan kekuasaan oleh Bennett dapat menggeser pemerintah menuju haluan politik yang lebih ke tengah, di mana koalisi partai-partai yang berkuasa memiliki haluan yang beragam dari kiri, tengah dan kanan.
Menentang Koalisi
Dalam empat kali pemilu, Partai Likud pimpinan Netanyahu senantiasa memenangkan kursi paling banyak di parlemen Israel – yang dikenal sebagai Knessett – yang beranggotakan 120 orang, namun tidak pernah berhasil mengumpulkan 61 suara mayoritas untuk membentuk pemerintahan.
Netanyahu telah bertekad akan menentang koalisi pemerintahan yang baru dan mengatakan koalisi itu bisa bubar jika salah satu dari delapan partai itu menentang masalah utama apapun. [em/vm/lt]