Menkopolhukam Mahfud MD akhir Mei lalu memicu kemarahan aktivis-aktivis perempuan ketika ia mengeluarkan lelucon yang mengutip meme dari Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan tentang virus corona. Mahfud, dalam acara halal bi-halal Ikatan Keluarga Alumni Universitas Negeri Sebelas Maret UNS yang disiarkan di kanal YouTube 26 Mei itu, mengatakan mendapat meme dalam bahasa Inggris yang menganalogikan virus corona sebagai istri.
“Judulnya itu dalam bahasa Inggris. Corona is like your wife. Corona itu seperti istrimu, ketika kamu mau mengawini, kamu berpikir bisa menahklukannya, tetapi sesuah menjadi istrimu, kamu tidak bisa menahklukkan istrimu,” ujar Mahfud. Ia menambahkan bahwa analogi itu mirip dengan penanganan virus corona.
BACA JUGA: Perempuan dan Anak Bayar Harga Mahal di Masa PandemiPernyataan Mahfud, meskipun dianggapnya sebagai lelucon, memicu kecaman keras dari sejumlah organisasi perempuan. “Solidaritas Perempuan” dalam pernyataan tertulisnya mengatakan pernyataan Mahfud “tidak saja mencerminkan dangkalnya daya pikir pemerintah untuk memecahkan persoalan pandemi Covid-19, tetapi juga menunjukkan pola pikir seksis dan misoginis pejabat publik.”
Ditambahkan, “Pernyataan itu secara jelas mengandung kehendak untuk menguasai atau mengontrol istri dan/atau perempuan... menyamakan corona dengan perempuan atau isteri, juga menunjukan cara pikir patriarkis yang melihat perempuan sebagai objek, bukan sebagai subjek dan manusia secara utuh. Perempuan dianggap sebagai liyan (the other), atau the second sex, sehingga memiliki kedudukan yang tidak setara dengan laki-laki, bahkan dianggap objek hak milik laki-laki.”
Hal senada disampaikan “Komnas Perempuan” yang menilai “guyonan itu menempatkan perempuan sebagai bahan ejekan dan mengukuhkan stereotipe negatif terhadap perempuan atau relasi yang timpang antara laki-laki dan perempuan, serta memupuk budaya menyalahkan perempuan korban.” Dalam pernyataan tertulis 31 Mei itu, “Komnas Perempuan” mengatakan “pernyataan itu kontraproduktif dengan upaya membangun relasi yang setara antara suami dan istri dalam perkawinan.”
Bupati Lumajang: Janda 20 Tahun Jangan Diberi BLT, Dicarikan Suami Saja
Mahfud MD bukan satu-satunya pejabat publik yang mengeluarkan pernyataan yang dinilai meremehkan perempuan. Sebelumnya dalam suatu webinar tentang efisiensi distribusi dana bantuan langsung tunai BLT, Bupati Lumajang Thoriqul Haq juga mengeluarkan pernyataan yang memicu kritik banyak kalangan.
“Begitu orang protes, segera datang ke Balai Desa, apakah BLT ini tepat sasaran atau tidak. Kita tahu semua ada bantuan yang didistribusikan tidak tepat sasaran. Ada yang mampu masih dapat bantuan. Sementara ada janda 60 tahun dan hidup sebatang kara tidak dapat bantuan. Jika ini tidak dituntaskan maka akan menjadi masalah sosial. Kecuali janda yang usia 20-30, kecuali itu... Janda yang umur 20 tahun jangan dikasih BLT Dana Desa, dicarikan suami saja," ujarnya.
["Untuk Pak Bupati saja itu,"jawab peserta webinar itu, red].
PEKKA Sampaikan Keberatan pada Bupati Lumajang
Dihubungi VOA melalui telpon sehari setelah webinar bertajuk “Tadarus Anggaran: Praktik Pengawalan Pelaksanaan BLT Dana Desa” 9 Mei lalu, Ketua PEKKA (Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga), Nani Zulminarni menyampaikan kekecewaannya.
“Ketika berbicara pertama kali Bupati Thoriq menjelaskan bahwa di wilayahnya bantuan diperuntukkan bagi warga miskin, misalnya janda-janda yang berusia 60 tahun. Tetapi tidak untuk janda yang usianya masih 20 tahunan. Pernyataannya menggantung tapi tone-nya meremehkan. Saya di chat-room tulis, 'maksud Bapak apa dengan janda 20 tahun ini?' Nah pas acara tanya jawab moderator membacakan pertanyaan-pertanyaan yang masuk dan sang bupati ini merespon sambil ketawa-ketawa dengan mengatakan 'oh maksud saya kalau janda yang 20 tahun itu jangan dikasih BLT tapi dicarikan suami saja',” ujarnya.
Tim PEKKA yang ikut webinar itu langsung menyampaikan keberatan terhadap hal ini, tambah Nani, “karena jelas pejabat publik ini merendahkan perempuan dan janda yang menjadi kepala keluarga. Tidak sepantasnya ia bicara di ruang publik yang resmi, dalam isu yang resmi pula. Ia diundang dalam kapasitas resmi untuk membicarakan kebijakan resmi yang dibuatnya bagi masyarakatnya.”
Bupati Lumajang Minta Maaf
Dihubungi melalui telpon, Bupati Lumajang Thoriqul Haq kepada VOA menyampaikan permohonan maaf atas pernyataannya itu.
“Saya memohon maaf jika guyonan saya ketika itu menimbulkan ketidaknyaman atau dinilai meremehkan perempuan. Bukan itu maksud saya,” tukasnya.
Belum lagi hal ini mereda, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil pertengahan minggu ini juga berlaku serupa.
Mengomentari tingginya tingkat kehamilan di sejumlah daerah pada masa pandemi corona, Emil menulis di Instagram @ridwankamil “negatif Covid tapi positif hamil. Mohon para suami rada diselowkan dulu, jangan digaskeun teuing [mohon para suami agak dipelankan dulu, jangan terlalu sering.red].”
Lagi-lagi pernyataan yang dikomentari oleh lebih dari 10 ribu followernya ini dikecam banyak kalangan.
Banyak Pejabat Publik Tak Sensitif Gender?
Fenomena banyaknya pejabat publik yang tidak sensitif gender ini sangat memprihatinkan. Ketua PEKKA Nani Zulminarni mengatakan “kalau melihat hal ini memang menyedihkan, tapi kalau melihat sistem budaya patriarki di Indonesia, memang gak heran juga. Meskipun dari tahun ke tahun digenjot pendidikan, tetap saja sulit mengubah mindset [pola pikir.red] masyarakat, apalagi pemegang jabatan politis seperti mereka yang senantiasa menilai kepemimpinan politik ada di tangan laki-laki, juga otoritas moral atau hak sosial yang juga ada di tangan laki-laki.”
Anggota Ombudsman Dr. Ninik Rahayu juga menyayangkan hal ini. “Menurut saya ini jelas stigmatisasi pada janda. Padahal tidak sedikit diantara mereka yang berkedudukan sebagai kepala keluarga, yang mestinya mendapat penghormatan lebih, apalagi pada masa pandemi ini. Sebagai pejabat publik, mengeluarkan pernyataan bahwa perempuan janda dalam masa susah ini sebaiknya “dicarikan suami baru saja,” semakin menguatkan mitos bahwa perempuan janda adalah penggoda suami orang dan lainnya. Sebagai pejabat publik, ia sedianya menyebar empati pada masyarakat, bukan menambah penderitaan,” ujar Ninik melalui pesan teks.
BACA JUGA: Buya Syafii Maarif di Mata Dua Tokoh PerempuanDitambahkannya bahwa mereka yang menduduki posisi sebagai pejabat publik, apalagi berada dalam ruang publik, harus senantiasa mematuhi UUD 1945 yang menjamin kedudukan dan peran yang sama antara laki-laki dan perempuan.
“Juga janji mereka untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi pada perempuan, sebagaimana yang ada dalam konvensi tahun 1984 itu. Atau malah jangan-jangan belum pernah baca?,” tanya Ninik.
Sementara Nani Zulminarni, yang sejak sepuluh tahun terakhir ini memperjuangkan kemandirian perempuan janda, mencatat hal yang lebih miris lagi dari fenomena pejabat publik yang tidak sensitif gender ini.
“Yaitu ketika ada sebagian kalangan – termasuk perempuan – yang menilai itu sekadar guyonan. Ah cuma bercanda kok, kamu lebai banget!” begitu ujar mereka dalam webinar itu atau dalam keseharian kita. “Ini sangat menyedihkan karena Indonesia sebenarnya sudah memiliki begitu banyak instrumen, dalam konteks hukum dan perlindungan atas perempuan, di semua segi, termasuk Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan yang sudah diratifikasi tahun 1984. Ini sedianya harus jadi nafas dalam struktur formal juga,” tegasnya.
Komnas Perempuan menilai “jika budaya misoginis ini terus dipelihara dalam lingkaran pejabat publik maka upaya menghilangkan kekerasan terhadap perempuan akan terus mengalami hambatan.” [em/pp]