Presiden Joko Widodo menaruh perhatian besar pada Papua. Sejak menjabat 20 Oktober 2014, sudah delapan kali Jokowiberkunjung ke pulau di ujung timur Indonesia itu. Salah satu targetnya adalah membangun jalan yang menghubungkan semua kabupaten di Papua.
Jokowi juga mengambil kebijakan berani dengan menetapkan harga BBM di Papua sama dengan harga yang berlaku di pulau Jawa.
Meskipun demikian pembangunan sumber daya manusia di Papua, terutama di bidang kesehatan serta pendidikan, dan penyelesaian beragam kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM), masih menjadi sorotan dalam tiga tahun pemerintahan Jokowi.
Ketua Kelompok Kerja Papua Universitas Gadjah Mada, Bambang Purwoko, mengatakan cukup banyak masalah muncul di Papua, terutama pada 2008 karena berbagai aksi kekerasan. Meski kekerasan itu mulai berkurang dibandingkan pada masa Orde Baru,tetapi kesan bahwa aksi kekerasan masih terus terjadi menyulitkan tumbuhnya kepercayaan warga pada pemerintah.
Bambang mengusulkan desain pembangunan Papua baru berbasis lokalitas.
"Salah satunya juga karena tidak kompatibelnya desentralisasi pemerintahan dengan desentralisasi politik. Contoh kongkretnya, mengapa di Papua harus pilkada langsung seperti di Jakarta, Yogya, yang tingkat kedewasaan politiknya jelas berbeda," kata Bambang dalam diskusi bertajuk “Papua dalam Sorotan : Pendekatan Holistik untuk Papua” yang dilangsungkan di Jakarta, Kamis (28/12).
Bambang menekankan salah satu dampak pemilihan kepala daerah secara langsung adalah rusaknya pemerintahan daerah. Ia mencontohkan konflik berdarah di Tolikara, Puncak Jaya, dan Intan Jaya sehabis putusan Mahkamah Konstitusi tentang hasil pilkada.
Bambang juga menyoroti pembangunan ekonomi berbasis lokal yang sedianya menciptakan keamanan, keadilan, dan harus berkelanjutan. Ini dimulai dengan membangun kapasitas sumber daya manusianya.
Dalam kesempatan yang sama, mantan Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Ifdhal Kasim, mengatakan target menyelesaikan pelanggaran HAM di Papua sebenarnya terdapat dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Aturan hukum mengenai otonomi khususitu merupakan konsensus baru untuk menjawab beragam persoalan di Papua. Di dalam undang-undang tersebut ada tiga jalan untuk menyelesaikan masalah HAM di Papua.
"Yang pertama, jalan pengadilan dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaranHAM. Yang kedua,melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Untuk memperkuat perbaikan ke depan situasi HAM di Papua, maka diamanatkan untuk membentuk Komisi Hak Asasi Manusia Daerah di Papua," ujar Ifdhal.
Ifdhal menjelaskan ketika Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan dijabat oleh Luhut Binsar Panjaitan, ia telah membentuk sebuah tim untuk mempercepat penyelesaian kasus-kasus pelanggaranHAM di Papua. Tim ini kemudian menyepakati ada sebelas perkara yangperlu segera dituntaskan, ada yang melalui pengadilan pidana dan lewat pengadilan HAM.
Menurut Ifdhal, yang akan diselesaikan melalui pengadilan hak asasi manusia HAM ada tiga kasus, yakni Wasior, Wamena, dan Paniai. Sejauh ini kasus Wasior dan Wamena masih dalam tahap penyelidikanoleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia serta pendalaman di Kejaksaan Agung. Jika kedua perkara ini sudah sampai tahap penyidikan di Kejaksaan Agung, Presiden Joko Widodo menyatakan akan mengeluarkan kepres pembentukan pengadilan HAM bagi kedua kasus itu.
Sementara untuk kasus Paniai, menurut Ifdhal, proses penyelidikan oleh Komisi Nasional HAM belum rampung dan masih berjalan sehingga belum bisa diputuskan apakah terjadi pelanggaran HAM dalam kasus Paniai.
Mengenai pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, lanjut Ifdhal, belum mengalami kemajuan karena sampai sekarang belum ada peraturan daerah di Papua yang mengamanatkan pembentukan komisi tersebut. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi merupakan upaya penyelesaian seluruh kasus pelanggaranHAM di Papua pada masa lalu.
George Sea dari Lingkar Studi Papua di Inggris mengatakan ada tiga tantangan terkait dengan generasi muda Papua. Pertama, mereka kritis terhadap narasi sejarah tentang Papua. Kedua, ada stigma buruk tentang anak-anak muda Papua. Ketiga, besarnya arus migrasi orang non-Papua ke Papua yang membuat generasi muda Papua khawatir akan masa depan mereka.
"Kita membutuhkan bagaimana kita harusmenyiapkan pemuda Papua ini sehingga mereka bisa berkompetisi. Betul-betul disiapkan mampu berkompetisi," kata George Sea.
Jaleswari Pramodhawardani, Deputi V Kantor Staf Presiden, mengatakan Presiden Joko Widodo dalam Instruksi Presiden Nomor 17 yang dikeluarkan pekan lalu menegaskan perlunya percepatan pembangunan kesejahteraan di provinsi Papua dan Papua Barat, termasuk bidang kesehatan dan pendidikan, ekonomi lokal, infrastruktur.
"Presiden sudah meletakkan pondasi. Justru yang paling penting bagi kami adalah bagaimana kita mengisi pondasi yang sudah ada ini di mana kita sudah tahu bahwa presiden ini sebenarnya sudah pas hatinya untuk Papua," kata Jaleswari.
Sementara Profesor Bambang Shergi Laksmono dari Papua Center FISIP Universitas Indonesia mengatakan warga negara Indonesia harus memiliki kepedulian terhadap nasib rakyat Papua karena tidak ada Indonesia tanpa Papua.
Your browser doesn’t support HTML5