Direktur Dana Perimbangan, Kementerian Keuangan, Pramudjo, mengatakan dari sekitar 1,06 trilyun rupiah yang dialokasikan sebagai “Dana Bagi Hasil Cukai Tembakau”, lebih dari setengahnya diberikan untuk Jawa Timur, atau sekitar 52%. Namun, dana sebesar ini sebagian besar digunakan untuk mendanai peningkatan kualitas bahan baku serta pembinaan industri rokok.
Padahal, menurut peneliti dari Fakultas Kedokteran Airlangga Surabaya, Dr. Retna Siwi, dana itu seharusnya digunakan pula untuk pembinaan lingkungan sosial; seperti kampanye kesehatan dan peringatan bahaya merokok bagi kalangan muda. Hal ini disampaikannya dalam pemaparan hasil kajian Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, mengenai “Dana Bagi Hasil Cukai Tembakau”, di Kampus UI, Depok, Kamis lalu.
“Ada usulan persentasi yang lebih besar seharusnya di bidang kesehatan, bahaya rokok, dan mencegah perokok pemula, kemudian jangan diberikan untuk pembibitan (tembakau). Porsi terbesar tetap harus untuk kesehatan. Juga ada klausul (hasil kajian FK Airlangga) bahwa semua provinsi seharusnya punya dana seperti ini, bukan hanya di provinsi penghasil tembakau dan pemilik pabrik rokok saja,” jelas Dr. Retna Siwi.
Berdasarkan UU No. 39 Tahun 2007, disebutkan bahwa 2 persen pendapatan negara dari pajak tembakau akan didistribusikan kepada provinsi-provinsi penghasil tembakau terbanyak. Pada tahun 2008-2009, dana itu diberikan kepada lima provinsi penghasil tembakau terbesar di Indonesia, yaitu Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Persoalan lain, penerapan dana bagi hasil cukai tembakau itu juga tidak jelas pelaksanaannya.
“Mekanismenya tidak jelas, dan ada perbedaan apakah ini sumber pendanaan untuk APBD atau harus dipisah. Karena kalau dipisah, volume kegiatan meningkat dimana promosi kesehatan juga meningkat, tetapi kalau tidak berarti hanya sebagai anggaran rutin saja,” ungkap Dr. Retna Siwi.
Sementara itu, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Profesor Robert Simanjuntak, berpendapat pengenaan cukai hasil tembakau idealnya bukan untuk menambah pemasukan negara, tetapi untuk mengurangi konsumsi rokok di masyarakat. Ia menilai, dana bagi hasil cukai tembakau menjadi tidak jelas karena memang tidak diatur secara rinci dalam Undang-Undang.
“Ini dana hasil kompromi pemerintah (pusat) dan DPR, dana penyesuaian, ini sebetulnya kan tidak ada dalam UU, lalu dimasukkan ke dalam APBN agar nanti jadi ada dalam UU APBN, ini ad-hoc saja. Jawa Timur yang terbesar karena di sana paling banyak pabrik rokok. Tapi di masa datang, saya kira cukai rokok jangan dikenakan pada provinsi yang memiliki pabrik rokok, tetapi yang konsumsi rokoknya paling banyak,” jelas Profesor Robert Simanjuntak.
Dilihat dari pola konsumsi rokok sepanjang dua tahun terakhir, Profesor Simanjuntak mengatakan, konsumen rokok terbanyak justru berada di Jawa Barat, meskipun pabrik rokok terbanyak terletak di Jawa Timur dan Jawa Tengah.