Dalam diskusi menjelang pertemuan Parlemen G20, Rabu (15/6), Ketua Badan Kerjasama Antar Parlemen (BKSAP) Dewan Perwakilan Rakyat Fadli Zon menjelaskan dunia saat ini menghadapi dua tantangan, yakni pemulihan ekonomi pasca pandemi COVID-19 dan dampak dari perang di Ukraina setelah diinvasi Rusia 24 Februari lalu.
"Yaitu komoditas yang harganya semakin meningkat, kemudian ancaman krisis pangan. Di sisi yang lain, pasar saham terguncang, pertumbuhan ekonomi melambat disertai angka pengangguran yang tinggi," kata Fadli.
Menurut Fadli, dunia harus belajar dari pandemi COVID-19, yang sempat gagap ketika pertama kali merespon wabah global tersebut. Selama dua tahun terakhir, dampak pandemi COVID-19 telah memukul telak semua sendi kehidupan global.
Oxfam memperkirakan 263 juta orang akan mengalami kemiskinan ekstrem; juga kesenjangan global dan kelangkaan pangan.
Oleh karena itu sebagai Presidensi G20, Indonesia dituntut harus dapat beradaptasi dengan kondisi global saat ini secara cepat dan tepat. Juga melakukan terobosan efektif dan akomodatif dalam menanggapi tantangan dunia.
Fadli menekankan kepemimpinan Indonesia di G20 tidak hanya menunjukkan kapasitas Indonesia di tingkat internasional tetapi juga seharusnya bisa menjadi refleksi luhur konstitusi, yakni ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Menurutnya, Dewan Perwakilan Rakyat merupakan tandem utama pemerintah saat Indonesia menjadi ketua G20, di mana kerjasama dengan semua pihak menjadi kunci keberhasilan kepemimpinan Indonesia di G20.
Pakar : Barat Sedianya Belajar Memperbaiki Diplomasi Multilateral
Dalam diskusi tersebut, I Gede Wahyu Wicaksana, pengajar studi Hubungan Internasional di Universitas Airlangga Surabaya mengatakan pemerintah selama ini membuat proses tapi bukan kemajuan. Negara-negara Barat selalu menyalahkan negara-negara berkembang, Rusia, atau pun Myanmar sebagai penyebab kegaduhan. Tetapi, lanjutnya, pihak Barat tidak belajar bahwa pandemi COVID-19 dan Perang Ukraina mengajarkan perlunya memperbaiki diplomasi multilateral.
Wahyu menambahkan dari 1817 hingga 2017 terdapat sekitar 400 kerja sama global yang sudah diciptakan. Tetapi ratusan kerjasama itu tidak mampu mencegah Presiden Rusia Vladimir Putin menyerang Ukraina.
Dia menambahkan yang berhasil mengendalikan dunia sekarang ini adalah geopolitik, bukan tata kelola global. "Posisi Indonesia di mana sekarang? 10-20 tahun terakhir, kita fokus pada tata kelola global dan melalaikan geopolitik. Karena itu kiprah Indonesia hanya membuat proses tapi bukan kemajuan," ujar Wahyu.
Wahyu memperingatkan kepada semua pihak untuk bersiap memasuki era Perang Dingin yang berbeda. Dia menjelaskan bagaimana Jepang dan sekutu NATO merespon Perang Ukraina persis seperti ketika mereka menanggapi Uni Soviet dan China dalam Perang Korea.
Your browser doesn’t support HTML5
Perang Dingin yang berakhir lebih dari tiga dekade lalu, ujarnya, adalah Perang Dingin dalam konteks ideologi, antara liberalisme-kapitalisme melawan sosialisme-komunisme. Yang terjadi sekarang adalah Perang Dingin yang bersifat multidimensional, melibatkan agama, peradaban, ekonomi, dan bahkan agenda-agenda sosial. Dia mencontohkan pandemi COVID-19 berlarut karena ulah geopolitik. Ketika WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) dituntut untuk menyelidiki dari mana asal virus COVID-19, China menolak memberikan akses.
G20, tambahnya, adalah keberagaman sistem politik, dari yang otoritarian hingga liberal, dari budaya yang kosmopolitan hingga budaya timur yang konservatif.[fw/em]