Jika Dikelola Baik, Zakat Mampu Tekan Angka Kemiskinan

  • Iris Gera

Warga miskin di Jakarta. Pemanfaatan zakat dinilai masih untuk keperluan konsumtif bagi warga miskin, dan belum diarahkan ke yang lebih produktif yang mampu mengentaskan kemiskinan.

Hal tersebut disampaikan Guru Besar Sosiologi Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Bambang Pranowo.

Jika dikelola dengan baik dan melalui kerja sama sinergi antara pemerintah dan lembaga pengelola zakat maka kemiskinan di tanah air mampu ditekan.

Kepada VoA di Jakarta, Jumat, Guru Besar Sosiologi Islam, Bambang Pranowo berpendapat hingga saat ini pengelolaan zakat di Indonesia belum ideal. Menurutnya meski lembaga pengelola zakat semakin berkembang namun akan lebih baik jika zakat dikelola melalui kerjasama dengan pemerintah karena pemerintah memiliki data wilayah-wilayah di tanah air dengan pendukuk kurang mampu.

Bambang mengatakan, “Kalau idealnya kan sebetulnya harus ditangkap semangatnya itu untuk bisa menjadikan orang yang miskin menjadi tidak miskin, jadi sekarang masih arahnya konsumtif, yang diarahkan ke yang lebih produktif itu melalui lembaga-lembaga tertentu saja, seperti misalnya dompet dhuafa, lembaga zakatnya Muhammadiyah, mungkin NU juga, tetapi masih terbatas saya lihat laporan-laporannya ada yang sudah cukup bagus tetapi ada banyak yang masih lebih konsumtif dan memang mayoritas orang berzakat sendiri-sendiri.”

Jika selama ini banyak masyarakat mempertanyakan mana yang lebih baik apakah berzakat dengan cara langsung atau melalui lembaga pengelola zakat, Bambang Pranowo menjelaskan, kedua mekanisme itu sempurna meski menurutnya lagi akan lebih baik jika dilakukan dengan melibatkan keduanya.

“Orang kan hidup bertetangga, berkeluarga, kalau langsung ke badan zakat itu tentu kemudian bagaimana dengan tetangganya, bagaimana dengan keluarganya kalau yang miskin yang tidak dapat, jadi oleh karena itu kombinasi, sebagian melalui lembaga itu, sebagian dia yang tahu siapa orang terdekat yang layak menerima zakat,” ujar Bambang.

Semakin meningkatnya kesadaran masyarakat untuk berzakat menurut Bambang Pranowo seharusnya dimbangi dengan upaya pemerintah untuk lebih mampu mengelola zakat secara profesional.

Bambang menambahkan, “Kalau pemerintahnya itu bisa mendorong itu termasuk suatu cara untuk mengatasi kemiskinan, masyarakat kadang-kadang kenapa kok menyalurkan zakatnya ke lembaga karena dia lihat hasilnya kongkrit, jadi pemerintah ini mestinya harus membangun trust dari masyarakat”

Hal senada juga disampaikan Rini Supri Hartanti, pengeloa lembaga zakat Dompet Dhuafa.
“Saya rasa Indonesia harus punya pendekatan yang berbeda, sekarang yang perlu ditumbukan itu adalah kesadaran masyarakat untuk berzakat, bagaimana agar masyarakat percaya tentu dibutuhkan sistem, transparansi nya, accountability-nya , responsibility-nya,” ujar Rini.

Sebelumnya Badan Amil Zakat Nasional mencatat dengan mayoritas penduduk muslim dan perbaikan ekonomi masyarakat serta jika dikelola dengan baik, potensi zakat di Indonesia sebesar Rp 217 trilyun. Namun, hingga saat ini rata-rata per tahun yang mampu dihimpun Asosiasi lembaga zakat di Indonesia hanya sekitar Rp 1,2 hingga Rp 1,5 trilyun.



Jika dikelola dengan baik dan melalui kerja sama sinergi antara pemerintah dan lembaga pengelola zakat maka kemiskinan di tanah air mampu ditekan.

Kepada VoA di Jakarta, Jumat, Guru Besar Sosiologi Islam, Bambang Pranowo berpendapat hingga saat ini pengelolaan zakat di Indonesia belum ideal. Menurutnya meski lembaga pengelola zakat semakin berkembang namun akan lebih baik jika zakat dikelola melalui kerja sama dengan pemerintah karena pemerintah memiliki data wilayah-wilayah di tanah air dengan pendukuk kurang mampu.

Bambang mengatakan, “kalau idealnya kan sebetulnya harus ditangkap semangatnya itu untuk bisa menjadikan orang yang miskin menjadi tidak miskin, jadi sekarang masih arahnya konsumtif, yang diarahkan ke yang lebih produktif itu melalui lembaga-lembaga tertentu saja, seperti misalnya dompet dhuafa, lembaga zakatnya Muhammadiyah, mungkin NU juga, tetapi masih terbatas saya lihat laporan-laporannya ada yang sudah cukup bagus tetapi ada banyak yang masih lebih konsumtif dan memang mayoritas orang berzakat sendiri-sendiri”

Jika selama ini banyak masyarakat mempertanyakan mana yang lebih baik apakah berzakat dengan cara langsung atau melalui lembaga pengelola zakat?, Bamang Pranowo menjelaskan, kedua mekanisme itu sempurna meski menurutnya lagi akan lebih baik jika dilakukan dengan melibatkan keduanya.

“Orang kan hidup bertetangga ,berkeluarga, kalau langsung ke badan zakat itu tentu kemudian bagaimana dengan tetangganya, bagaimana dengan keluarganya kalau yang miskin yang tidak dapat, jadi oleh karena itu kombinasi, sebagian melalui lembaga itu, sebagian dia yang tahu siapa orang terdekat yang layak menerima zakat,” ujar Bambang.

Semakin meningkatnya kesadaran masyarakat untuk berzakat menurut Bambang Pranowo seharusnya dimbangi dengan upaya pemerintah untuk lebih mampu mengelola zakat secara profesional.

Bambang menambahkan, “Kalau pemerintahnya itu bisa mendorong itu termasuk suatu cara untuk mengatasi kemiskinan, masyarakat kadang-kadang kenapa kok menyalurkan zakatnya ke lembaga karena dia lihat hasilnya kongkrit, jadi pemerintah ini mestinya harus membangun trust dari masyarakat”

Hal senada juga disampaikan Rini Supri Hartanti, pengeloa lembaga zakat Dompet Dhuafa.
“Saya rasa Indonesia harus punya pendekatan yang berbeda, sekarang yang perlu ditumbukan itu adalah kesadaran masyarakat untuk berzakat, bagaimana agar masyarakat percaya tentu dibutuhkan sistem, transparansi nya, accountability-nya , responsibility-nya,” ujar Rini.

Sebelumnya Badan Amil Zakat Nasional mencatat dengan mayoritas penduduk muslim dan perbaikan ekonomi masyarakat serta jika dikelola dengan baik, potensi zakat di Indonesia sebesar Rp 217 trilyun. Namun, hingga saat ini rata-rata per tahun yang mampu dihimpun Asosiasi lembaga zakat di Indonesia hanya sekitar Rp 1,2 hingga Rp 1,5 trilyun.