Presiden Joko Widodo mengatakan ia kemungkinan akan meminta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merevisi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), karena dianggap banyak mengandung pasal-pasal karet yang dapat menimbulkan berbagai multitafsir dan ketidakadilan dalam penegakan hukum.
Jokowi mengatakan, fakta ini terlihat dari banyaknya peristiwa saling lapor antar sesama anggota masyarakat dengan menggunakan UU ITE tersebut.
“Kalau UU ITE tidak bisa memberikan rasa keadilan, ya saya akan minta kepada DPR untuk bersama-sama merevisi UU ITE ini. Karena di sinilah hulunya. Revisi. Terutama menghapus pasal-pasal karet yang penafsirannya bisa berbeda-beda yang mudah diinterpretasikan secara sepihak,” ungkap Jokowi dalam Rapat Pimpinan TNI/Polri di Istana Negara, Senin (15/2).
Ia juga memahami bahwa semangat UU ITE adalah untuk menjaga ruang digital Indonesia agar sehat, bersih, beretika dan bisa dimanfaatkan secara produktif. Oleh karena itu, untuk mencegah agar ketidakadilan ini tidak terjadi lagi, Jokowi memerintahkan Kapolri untuk lebih berhati-hati dalam menangani perkara yang terkait dengan UU tersebut.
“Oleh karena itu, saya minta kepada Kapolri agar jajarannya lebih selektif lagi, lebih selektif menyikapi dan menerima pelaporan pelanggaran UU ITE. Hati-hati pasal-pasal yang bisa menimbulkan multitafsir, harus diterjemahkan secara hati-hati, penuh dengan kehati-hatian. Buat pedoman interpretasi resmi terhadap pasal-pasal UU ITE biar jelas, dan Kapolri harus meningkatkan pengawasan agar implementasinya konsisten, akuntabel dan berkeadilan.” Jelasnya.
BACA JUGA: AJI: Kebebasan Pers di Indonesia “Mungkin” Belum MembaikMantan gubernur DKI Jakarta ini menegaskan bahwa Indonesia merupakan negara yang demokrasi, yang menghormati kebebasan berpendapat, dan berorganisasi. Selain itu, Indonesia merupakan negara hukum yang harus menjalankan hukum dengan seadil-adilnya.
“Melindungi kepentingan yang lebih luas, dan sekaligus menjamin rasa keadilan masyarakat," tuturnya.
Sementara itu, Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo mengungkapkan permasalahan UU ITE akan menjadi catatan penting ke depan bagi pihak kepolisian, untuk bisa melaksanakan penegakan hukum yang lebih selektif dalam menangani kasus.
“Dalam rangka untuk menjaga penggunaan pasal-pasal yang pasal karet di dalam UU ITE ini tentunya berpotensi untuk kemudian digunakan untuk saling melapor yang dikenal dengan istilah mengkriminalisasikan dengan UU ITE,” kata Listyo.
Ditambahkan ia, ke depan pihaknya akan lebih mengedepankan edukasi dan upaya persuasif, dan mengutamakan langkah-langkah yang bersifat restorative justice, sehingga penggunaan ruang siber dan digital bisa berjalan dengan lebih baik.
Keseriusan Jokowi Revisi UU ITE Diragukan
Sementara itu, peneliti Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Rivanlee Anandar, mengungkapkan, sebelum meminta DPR untuk melakukan revisi UU ITE, pemerintah harus memastikan kepada simpatisan atau pendukung untuk tidak mudah melapor dengan menggunakan UU ini. Selain itu, ia juga meminta agar Jokowi menginstruksikan kepada aparat penegak hukum untuk tidak mudah memproses kasus-kasus yang berkaitan dengan UU ITE.
BACA JUGA: Masyarakat Pertanyakan Sikap Pemerintah dalam Hadapi KritikMenurutnya, dalih pelaporan dengan menggunakan UU ITE belakangan ini sudah menjadi “kebiasaan” untuk membungkam seseorang.
“Tidak lama setelah ajakan kritik dari presiden, Novel Baswedan dilaporkan. Berat untuk langsung percaya agenda revisi UU ITE setelah banyak rencana yang mencederai kepercayaan publik. Maka saya sangsi jika presiden meminta revisi UU ITE,” ungkapnya kepada VOA.
Your browser doesn’t support HTML5
Keraguan tersebut, ujarnya, semakin terlihat dari berbagai respon pejabat publik yang menanggapi ajakan Jokowi agar masyarakat mengkritik pemerintah. Ia mencontohkan, respon dari Menko Polhukam Mahfud MD yang mengatakan tidak semua kritik dilaporkan atau diproses oleh pihak kepolisian. Ia pun tidak yakin, bahwa kriminalisasi terhadap masyarakat akan berkurang apabila memang UU ITE di revisi.
“Tidak jaminan, karena sudah menjadi ‘kebiasaan’ itu tadi. bisa saja dicari celah lain karena kultur yang terbangun itu,” pungkasnya. [gi/ab]