Presiden Joko Widodo mengungkapkan penyebab terjadinya banjir di Sintang, Kalimantan Barat sebagai akibat dari kerusakan lingkungan yang sudah terjadi sejak lama.
“Itu kan memang karena kerusakan catchment area atau daerah tangkapan hujan yang sudah berpuluh-puluh tahun dan itu yang harus kita hentikan, karena memang masalah utamanya ada di situ. Sehingga (sungai) Kapuasnya meluber karena daerah tangkapan hujannya rusak,” ungkap Jokowi ketika meresmikan Jalan Tol Serang-Panimbang Seksi 1- Ruas Serang-Rangkasbitung di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, Selasa (16/11).
Mantan Gubernur DKI Jakarta ini pun berjanji akan memperbaiki permasalahan banjir tersebut yang menurutnya akan dimulai pada tahun depan. Namun, dalam kesempatan ini, Jokowi tidak menyinggung apakah dirinya bakal mengunjungi lokasi-lokasi yang terdampak banjir tersebut.
“Nanti akan mulai, mungkin tahun depan kita bangun nursery, persemaian kemudian ada penghijauan kembali di daerah-daerah hulu. Di daerah tangkapan hujan di cathment area itu memang harus diperbaiki karena memang kerusakannya ada di situ. Dan yang kedua memang ada hujan yang lebih ekstrem dari biasanya,” jelasnya.
Ekploitasi Alam
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Kalimantan Barat (Kalbar) Nikodemus Ale mengatakan memang di Kalimantan Barat sendiri telah terjadi eksploitasi alam selama puluhan tahun, yang mengakibatkan terjadinya berbagai bencana termasuk banjir.
Your browser doesn’t support HTML5
Ia pun menyoroti berbagai penyimpangan yang terjadi di dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kalimantan Barat. Di dalamnya disebutkan bahwa dari total 14,7 juta hektare wilayah Kalbar, hanya 6,4 juta hektare yang boleh digunakan untuk kawasan produksi, seperti pertambangan, perkebunan kelapa sawit dan sebagainya. Sedangkan sisanya harus dibiarkan sebagai kawasan hutan non produksi, yang artinya tidak boleh dieksploitasi sama sekali. Namun, faktanya luasan wilayah yang dieksploitasi untuk kawasan industri jauh lebih besar.
“Kalau di awal sudah di plotkan 6,4 juta hekatre merupakan kawasan produksi yang boleh diotak-atik untuk kegiatan industri, faktanya sampai sekarang itu sudah diplotkan ada pengalihfungsian kawasan lahan seluas 12 juta hektare lebih, artinya dari perencanaan 6,4 juta hektare melonjak menjadi 12 juta hektare lebih itu kan artinya ada kesalahan 100 persen lebih dalam mengimplementasikan kawasan yang produksi tadi,” ungkap Niko kepada VOA.
Niko mencontohkan, untuk perkebunan kelapa sawit di Kalbar sampai dengan saat ini sudah mencapai 4,9 juta hektare. Padahal di dalam RTRW sebelumnya hanya boleh maksimal hingga 1,5 juta hektare. Angka tersebut juga menjadikan Kalbar sebagai salah satu dari tiga wilayah yang mempunyai perkebunan kelapa sawit terluas yang ada di Indonesia.
Lebih lanjut, Niko menjelaskan secara geografis wilayah Sintang berada tepat di pertemuan tiga daerah aliran sungai (DAS) yaitu sungai Kapuas, Melawi dan Ketungai di mana kondisi lingkungannya sudah sangat kritis karena menjadi kawasan ekspansi pengembangan perkebunan kelapa sawit dan pertambangan. Hal ini menjadikan daya dukung dan daya tampung lingkungan di Kalbar secara umum sudah tidak mampu lagi untuk menjamin keselamatan masyarakat yang tinggal di sekitar wilayah tersebut.
“Beralih fungsinya kawasan yang tadinya kawasan hutan heterogen menjadi kawasan monokultur merubah kondisi lingkungan sehingga kondisi lingkungan tidak siap untuk menghadapi perubahan iklim,” jelasnya.
Rekomendasi WALHI
Maka dari itu, WALHI pun merekomendasikan beberapa hal kepada pemerintah untuk mengatasi pemasalahan ini. Pertama, kata Niko adalah melakukan revisi RTRW, karena sebelumnya telah terjadi kesalahan sehingga eksploitasi lahan menjadi lebih besar dari yang seharusnya dilakukan. Kemudian, selanjutnya adalah melakukan penataan ulang izin investasi kepada berbagai perusahaan yang melakukan usaha berbasis hutan dan lahan.
“Ini bisa dilakukan oleh pemerintah ketika, contoh ada satu perusahaan, mendapatkan izin konsensi 15 ribu hektare, dan dari 15 ribu hektare itu ternyata 2000-3000 hektare masuk dalam status kawasan hutan, artinya dari 15 ribu yang mereka dapat harus dilakukan review perizinan harus segera dicabut izinnya, jangan sampai masuk kawasan hutan,” jelasnya.
WALHI pun, katanya meminta kepada pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah untuk menjadikan isu lingkungan, sebagai isu yang penting dalam konsep perencanaan pembangunan untuk menciptakan keamanan lingkungan bagi umat manusia ke depannya.
“Konsep perencanaan tata ruang yang dibuat ini sebenarnya bukan dalam konsep untuk berkelanjutan soal mampu menjamin keamanan. Tapi perspektif yang dibuat bagaimana perspektif keuntungan yang kaitannya dengan ekonomi. Bagaimana mengeksploitasi alam, secara besar-besaran dengan mendapatkan keuntungan tapi tidak bicara soal keamanan,” tuturnya,
“Kita gak masalah dengan pembangunan, wajib dilakukan pembangunan kalau tidak dilakukan engga maju Republik ini. Cuma konsep pembangunan bagaimana yang ideal dilakukan? Ok pembangunan silahkan dilakukan tapi harus ada perspektif lingkungan, sehingga antara konsep pembangunan dan konsep keberlanjutan pembangunan itu seiring, sejalan, berimbang, karena kita berusaha meminimilisir bencana ekologis,” tegasnya.
Terjadi Pembiaran
Sementara itu, Kepala Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Arie Rompas mengatakan konsep pembangunan yang terjadi di Indonesia sejak dulu selalu bertumpu kepada ekstraktif sumber daya alam (SDA) yang dilanjutkan oleh Presiden sebelumnya termasuk oleh Presiden Jokowi. Menurutnya, Jokowi seharusnya menyadari kesalahan itu dengan memberlakukan kebijakan yang lebih progresif untuk menyelesaikan masalah yang terjadi pada masa lalu. Namun, pihaknya melihat Jokowi sama sekali tidak melakukan hal tersebut.
“Selama dua periode sudah mau masuk tujuh tahun, upaya serius tidak dilakukan. Moratorium sawit yang sudah berakhir tahun ini itu juga tidak dilakukan upaya yang serius. Jadi kebijakannya hanya di atas kertas tapi tidak menghasilkan hasil yang progresif,” ungkapnya kepada VOA.
Menurutnya, hal ini diperparah dengan terbitnya Omnibus Law yang justru bertentangan dengan apa yang selalu diucapkan oleh Jokowi guna memperbaiki kerusakan lingkungan.
“Kalau dia mau memperbaiki kesalahan masa lalu, seharusnya dia punya kesempatan dengan dua kebijakan tadi, dan malah justru menambah parah dengan menerbitkan dan mengesahkan Omnibus Law. Banyak sekali pasal-pasal yang dengan jelas mengatakan bahwa ini untuk mempermudah investasi masuk. Investasi yang sama itu yang kemudian memberikan kesempatan kepada korporasi untuk mengeksploitasi SDA lebih luas. Artinya, statementnya justru berbalik 100 persen dengan upaya perbaikan yang akan dia lakukan,” pungkasnya. [gi/lt]