Suciwati, istri dari mendiang aktivis hak asasi manusia Munir, mengaku sangat kecewa dengan sikap pemerintah yang melempar tanggung jawab atas hilangnya dokumen hasil penyelidikan tim pencari fakta (TPF) kasus meninggalnya Munir. Suciwati menilai telah terjadi kelalaian dan ketidakpatuhan hukum di bawah administrasi pemerintahan Joko Widodo.
Sebelumnya, pemerintah mengatakan tidak menyimpan dokumen tersebut, meski mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah secara resmi menerima dokumen TPF setebal tiga ratusan halaman pada Juni 2005.
Untuk itu Suciwati menuntut pemerintah segera menemukan dokumen itu dan mengumumkan kepada masyarakat, sesuai putusan Komisi Informasi Pusat dikeluarkan 10 Oktober lalu. Komisi Informasi Pusat menyatakan dokumen TPF kasus meninggalnya Munir Said Thalib adalah informasi publik yang harus diumumkan kepada masyarakat.
"Kita pengen presiden tidak lagi terus membela diri dan melempar tanggung jawab. Sebagai kepala negara mau menegakkan hukum dan HAM, harusnya dia langsung ambil alih. Kemudian memerintahkan kepada bawahannya untuk mencari (dokumen TPF Kasus Munir). Kalau memang ada yang sengaja menyembunyikan dan bahkan menghilangkan, orang itu harus diusut," tuntut Suciwati.
Dugaan hilangnya dokumen investigasi TPF Kasus Munir muncul saat Komisi Informasi Pusat menanyakan kepada pemerintah melalui Kementerian Sekretariat Negara. Suciwati menjelaskan sesuai keputusan presiden yang menjadi dasar hukum pembentukan TPF kasus Munir, siapa pun presiden yang berkuasa, ia bertanggungjawab mengumumkan hasil investigasi yang dilakukan TPF Kasus Munir.
Kejaksaan Agung sebagai lembaga penegak hukum yang sedianya menindaklanjuti hasil investigasi TPF, telah menghubungi sejumlah anggota tim pencari fakta untuk meminta salinan dokumen TPF Kasus Munir. Namun permintaan itu ditolak dengan alasan dokumen sudah diserahkan kepada presiden pada 2005.
Dengan hilangnya dokumen hasil investigasi TPF Kasus Munir, Suciwati mempertanyakan kredibilitas kinerja lembaga negara. Suciwati juga menduga pemerintah tidak berniat mengusut tuntas kematian suaminya secara serius. Ditambahkannya, hilangnya dokumen TPF Kasus Munir merupakan pelanggaran serius.
Munir mengembuskan napas terakhir dalam penerbangan dari Singapura menuju Amsterdam, Belanda, pada 7 September 2004. Hasil penyelidikan menyimpulkan Munir diracun dengan arsenikum.
Sesuai Pasal 52, 53, 55 Undang-undang Nomor 14 tahun 2008, setiap badan publik atau seseorang yang tidak menyediakan informasi publik atau menghilangkan dokumen informasi publik, dapat dikenakan hukuman penjara 1-2 tahun dan atau denda Rp 5 juta hingga Rp 10 juta.
Terkait hilangnya dokumen TPF Kasus Munir, Wakil Koordinator Bidang Advokasi Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) Yati Andriani mengatakan pihaknya menemukan adanya kelalaian pemerintah dan ketidakpatuhan hukum atas putusan Komisi Informasi Pusat.
"Kelalaiannya dalam bentuk ketidakjelasan di mana dokumen itu berada, artinya sama dengan dokumen itu hilang. Artinya otoritas negara bertugas mengelola, menjaga dokumen itu tidak bertugas sebagai mana mestinya. Kedua, sampai sekarang belum ada pernyataan resmi dari presiden untuk menindaklanjuti putusan itu dengan mengumumkan segera," ujar Yati.
Yati menambahkan Kontras akan melaporkan Presiden Joko Widodo kepada polisi atas hilangnya dokumen TPF Kasus Munir karena TPF dibentuk lewat keputusan presiden, sementara Kementerian Sekretariat Negara berada di bawah tanggung awab presiden.
Sebelumnya Staf Khusus Menteri Sekretaris Negara, Alexander Lay mengatakan dokumen TPF kasus Munir telah diterima oleh mantan presiden SBY tahun 2005, namun diakuinya bahwa Kementerian Sekretariat Negara tidak memiliki hasil dokumen investigasi kasus Munir tersebut.
"Bahwa memang Sekretariat Negara pada tahun 2005 tidak pernah menerima laporan TPF dan itu dibuktikan oleh Sekretariat Negara dengan menghadirkan daftar surat masuk tahun 2005 dan memang tidak ada dokumen yang namanya TPF. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Mensesneg sebelumnya Yusril Ihza Mahendra bahwa beliau memang tidak menerima salinan TPF tersebut," kata Alexander. [fw/em]
Your browser doesn’t support HTML5