Isu dwi kewarganegaraan atau kewarganegaraan ganda senantiasa menjadi sorotan dalam lawatan Presiden Joko Widodo ke luar negeri, termasuk ke Amerika baru-baru ini. Dalam dialog dengan lebih dari 1.250 warga Indonesia dari 24 negara bagian di Amerika, Presiden Joko Widodo kembali didesak untuk menyelesaikan soal dwi-kewarganegaraan.
Hani White, nama khas seorang warga Indonesia yang sudah puluhan tahun tinggal di Philadelphia dan dikenal luas masyarakat di Amerika, menanyakan hal ini secara blak-blakan kepada presiden. Ditemui seusai acara itu, Hani mengatakan ia memberanikan diri menanyakan hal ini langsung kepada presiden karena khawatir akan nasib anaknya – dan juga anak-anak Indonesia lain yang lahir di luar negeri dan memiliki kewarganegaraan setempat.
“Yang saya sampaikan adalah curahan hati karena saya punya anak yang lahir di Amerika dan saya sangat takut jika anak saya tidak mendapat dwi-kewarganegaraan maka ia akan menjadi warga negara asing. Padahal saya dan suami sama-sama WNI, tetapi anak saya memang lahir disini sehingga ia berkewarganegaraan Amerika. Yang seperti saya ini banyak sekali. Mereka bingung. Padahal sesungguhnya mereka adalah aset bagi Indonesia karena mereka terbukti pandai, unggul di sekolah, menguasai satu atau lebih bahasa – seperti anak saya bisa bahasa Inggris, Mandarin, Arab – tapi tidak bisa menjadi warga negara Indonesia. Tetapi ada juga teman-teman yang sudah menjadi warga negara Amerika bukan karena apa-apa, tapi karena pekerjaan mereka menuntut harus menjadi warga negara Amerika. Sekarang mereka ingin pensiun, kembali tinggal dan meninggal di Indonesia. Mereka ini juga punya aset, network yang luas dan sebenarnya bisa membantu Indonesia maju lebih jauh,” ungkap Hani.
Dwi kewarganegaraan merupakan isu yang menjadi perhatian serius warga Indonesia di luar negeri. Menurut Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, setiap kali Presiden Joko Widodo melawat ke luar negeri dan berdialog dengan warga masyarakat, maka pertanyaan pertama yang muncul pasti soal dwi kewarganegaraan. Mengingat banyaknya desakan untuk membahas isu ini secara lebih serius, maka Menteri Hukum dan HAM telah mulai membahas hal ini. Retno Marsudi meminta warga Indonesia agar tidak pernah meragukan keberpihakan pemerintah untuk menyelesaikan masalah ini.
“Keberpihakan pemerintah terhadap diaspora Indonesia yang tinggal di luar negeri sangat besar karena kami mengetahui besarnya potensi bapak ibu untuk mendukung pembangunan nasional, sehingga harus dikelola dengan baik. Oleh karena itu kita sudah melakukan banyak kajian dan sudah ada di meja saya dan meja Menteri Hukum dan HAM. Pak Presiden bahkan sudah mengatakan arahnya kini sudah lebih jelas,” tutur Retno Marsudi.
UU No.12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan mengatur bahwa seorang anak keturunan Indonesia yang lahir di luar negeri harus memilih salah satu kewarganegaraan ketika ia berusia 18 tahun. Artinya dwi kewarganegaraan yang diakui Indonesia bersifat terbatas dan hanya diperuntukkan bagi anak di bawah 18 tahun.
Dalam beberapa tahun ini banyak warga negara Indonesia di luar negeri yang lebih giat memperjuangkan dwi kewarganegaraan. Tidak saja untuk memperjuangkan anak-anak yang ketika berusia 18 tahun harus menentukan status kewarganegaraannya, tetapi juga bagi mereka sempat melepas kewarganegaraan Indonesia-nya karena berbagai alasan dan kini ingin kembali menjadi warga negara Indonesia. Upaya ini sudah mendapat tanggapan positif dengan masuk dalam Prolegnas atau Program Legislasi Nasional, yang tenggatnya hingga tahun 2019.
Ketika dikejar VOA seusai pertemuan di Wisma Indonesia di Tilden itu, Presiden Joko Widodo memastikan komitmennya untuk mendorong pembahasan soal dwi kewarganegaraan itu ke DPR segera.
“Ini akan didorong karena sekarang masih proses di Menkumham, dan nanti akan kami dorong ke Dewan (DPR, red.),” tegas Jokowi.
Sebelumnya dalam dialog di KBRI Washington DC bulan Mei lalu, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengakui bahwa tantangan untuk melegalkan dwi kewarganageraan tidak mudah karena ini merupakan isu sensitif. Beberapa alasan yang membuat isu ini sulit dibahas antara lain soal keamanan dan nasionalisme.
Namun Hani White membantah keras hal ini.
“Tidak ada hubungannya antara dwi kewarganegaraan dan kurangnya rasa nasionalisme. Banyak orang Indonesia yang tinggal di luar negeri bertahun-tahun lebih Indonesia daripada orang Indonesia sendiri. Mereka menjadi sangat cinta pada Indonesia karena jauh dari tanah air. (Anda mungkin benar karena ketika kemarin warga Indonesia sama-sama menyanyikan lagu “Indonesia Raya”, saya lihat banyak yang menangis haru?) Jangankan mendengar lagu “Indonesia Raya”, mendengar dangdut di Amerika saja sudah nangis saya. Justru orang di Indonesia itu “taken for granted”, mereka paling bilang “hallah dengar Indonesia Raya aja kok nangis!”. Sementara kini di sini bisa mendengar atau menyanyikan “Indonesia Raya” atau melangsungkan Upacara 17 Agustus sambal menaikkan bendera Merah Putih di kantor Walikota Philadelphia, nangis kami semua. Jadi tidak ada hubungannya antara orang yang punya kewarganegaraan ganda dengan tidak adanya rasa nasionalisme. Begitu banyak orang Indonesia di Amerika yang setiap hari masih menggunakan Bahasa Indonesia, makan tempe atau meninabobokkan anaknya dengan lagu-lagu Indonesia,” tambah Hani.
Meskipun sudah masuk ke Prolegnas, belum jelas kapan soal dwi kewarganegaraan ini akan dibahas. Namun, pernyataan Presiden Joko Widodo di hadapan warga negara Indonesia di Amerika 25 Oktober lalu mungkin bisa memberi harapan terselesaikannya masalah ini segera. [em/jm]