Presiden Joko Widodo menyoroti krisis kemanusiaan yang terjadi di Afghanistan pasca Taliban mengambil alih kekuasaan. Indonesia, ujar Jokowi, siap untuk memberikan bantuan kepada rakyat di sana.
Hal tersebut disampaikan Presiden dalam sesi Retreat di acara KTT ASEM ke-13 yang dilaksanakan secara virtual dari Istana Kepresidenan Bogor, Jumat (26/11).
"Saat ini, pemerintahan inklusif belum terwujud. Situasi kemanusiaan memburuk. Sekitar 23 juta rakyat Afghanistan terancam krisis pangan. Bantuan kemanusiaan menjadi prioritas. Kami berkomitmen memberikan bantuan, termasuk untuk bantuan kapasitas," ungkap Jokowi.
Selain itu, ada dua isu utama lainnya yang menjadi perhatian Indonesia. Pertama adalah yang terkait dengan pemberdayaan kaum perempuan. Indonesia, ujar Jokowi, ingin berkontribusi agar janji Taliban mengenai penghormatan hak-hak perempuan di Afghanistan dapat segera diwujudkan.
Untuk itu, Indonesia siap memanfaatkan forum Indonesia-Afghanistan Women Solidarity Network untuk meningkatkan kerja sama pemberdayaan kaum perempuan di sana.
"Kami juga siap memberikan beasiswa pendidikan bagi perempuan Afghanistan. Kami akan terus lanjutkan upaya pemberdayaan perempuan Afghanistan melalui kerja sama dengan berbagai pihak," jelasnya.
Kedua, lanjut Jokowi, adalah terkait kerja sama antar-ulama. Ia memahami betul peran penting ulama di masyarakat. Pada tahun 2018, Indonesia pernah menjadi tuan rumah pertemuan trilateral ulama Afghanistan-Pakistan-Indonesia untuk mendukung proses perdamaian.
"Meskipun situasi Afghanistan sudah berbeda, namun ulama tetap berperan penting. Kami siap memfasilitasi dialog antara ulama, termasuk ulama Afghanistan," jelasnya.Ikut Membantu Afghanistan
Pengamat Hubungan Internasional Teuku Rezasyah menilai para pemimpin ASEM, terutama negara barat, harus ikut berkontribusi dalam upaya membantu krisis kemanusiaan yang ada di Afghanistan seperti yang disampaikan Jokowi.
Ia menilai, Indonesia merupakan satu-satunya negara yang mempunyai kemampuan untuk berhubungan dan berunding dengan pemerintah dan masyarakat Afghanistan dengan baik tanpa dimusuhi.
Hal tersebut mengacu kepada hubungan diplomatik antara Afghanistan dan Indonesia yang terjalin dengan cukup baik pada masa lalu.
BACA JUGA: Afghanistan Jadi Isu Utama dalam Sejumlah Pertemuan Menlu RIMaka dari itu, katanya, Eropa harus bisa memanfaatkan momentum yang ditawarkan oleh Indonesia untuk bisa ikut membantu permasalahan yang ada di Afghanistan. Sejatinya, Eropa menurut Reza, juga memiliki kepentingan untuk bisa menjalin hubungan yang cukup baik dengan Afghanistan, mengingat negara tersebut merupakan negara yang cukup kaya.
“Untuk itu Eropa harus siap dengan bantuan yang terprogram (misalnya) di bidang percepatan kaderisasi tersebut, karena wanita di sana merasa terpinggirkan karena dilarang bekerja, sekolah dan sebagainya," ungkap Reza kepada VOA.
"Stigma ini yang pelan-pelan diubah, dan saya pikir hanya Indonesia yang bisa bicara dengan tokoh keagamaan, pemerintah, oposisi Afghanistan. Kalau Barat mau ngomong itu gak akan bisa, Eropa itu kekuatan menjajah,” tambahnya.
Jika Eropa, kata Reza, tidak bisa memanfaatkan momentum ini dengan baik maka tidak menutup kemungkinan kesempatan untuk bisa bekerja sama dengan Afghanistan diambil oleh China.
“Kalau misalnya China pintar, deal sama Afghanistan bisa saja menciptakan bandara-bandara internasional yang secanggih bandara di Riyadh misalnya. Afghanistan kan kaya, ada pariwisata ada energi masa depan yang sangat mahal," ujarnya.
"Jadi bisa saja China mengimi-imingi Afghanistan dengan suatu proyek jangka panjang misalnya pelabuhan udara khusus pertambangan, khusus pariwisata, ini kan fantastis dan bisa menggoyang Eropa sedemikian rupa,” jelasnya.
BACA JUGA: EMA: Untuk Hentikan Lonjakan COVID-19, Eropa Harus Perkecil Kesenjangan VaksinasiKesenjangan Vaksinasi
Selain isu Afghanistan, Presiden juga menyoroti isu kesenjangan vaksinasi COVID-19 yang masih terjadi sampai detik ini.
Dalam telekonferensi pers usai acara, Menlu Retno LP Marsudi mengungkapkan kesenjangan vaksinasi COVID-19 antara negara kaya dan miskin semakin melebar. Retno menjelaskan sampai saat ini sebanyak 64,99 persen populasi negara kaya telah menerima setidaknya satu dosis vaksin COVID-19, sementara negara miskin baru 6,48 persen.
Jika hal ini terus dibiarkan, ujar Retno, maka target yang telah ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) agar setiap negara bisa melakukan vaksinasi dosis penuh sebanyak 40 persen dari populasinya pada akhir tahun 2021 tidak akan tercapai.
“Presiden menegaskan, pentingnya memastikan semua negara dapat mencapai target vaksinasi yang dicanangkan oleh WHO. Hal ini dapat dilakukan antara lain dengan realisasi komitmen dose sharing segera, peningkatan produksi vaksin global, dan penguatan kapasitas penyerapan negara penerima vaksin,” ungkap Retno.
Dalam jangka panjang, Jokowi, kata Retno, mengajak seluruh mitra ASEM untuk memperkuat tata kelola dan arsitektur kesehatan global, termasuk melalui traktat pandemi dan mekanisme baru pembiayaan kesehatan bagi negara berkembang. Retno memastikan isu penguatan arsitektur kesehatan global akan menjadi agenda utama Presidensi Indonesia di G20 pada tahun 2022.
BACA JUGA: Presidensi G20, Kesempatan Indonesia Promosikan Kemajuan PembangunanDi akhir acara, tidak lupa Jokowi menekankan kepada semua pemipin ASEM untuk meningkatkan kerja sama pada dua area, yakni transisi menuju energi baru dan terbarukan (EBT) melalui investasi dan alih teknologi, serta transisi digital yang inklusif. [gi/ah]