Jokowi Perintahkan Penguatan 'Green Economy' dan 'Blue Economy'

Presiden Jokowi dalam telekonferensi pers di Istana Merdeka, Jakarta ,Senin (26/4), memberikan penghargaan kenaikan pangkat kepada 53 awak KRI Nanggala 402 dan Kabinda Papua. (Foto: Courtesy/Biro Pers)

Presiden Joko Widodo menyatakan ekonomi hijau dan ekonomi biru bisa menjadi kekuatan perekonomian Indonesia yang cukup besar di masa depan.

Presiden Joko Widodo gencar mengumandangkan green economy atau ekonomi hijau di hampir semua kesempatan. Hal ini bukan tanpa sebab. Pasalnya seluruh dunia sudah mulai mengembangkan perekonomian hijau yang juga bisa berdampak baik bagi lingkungan di masa depan. Apalagi, menurut Jokowi, Indonesia bisa memperoleh manfaat yang cukup besar dari pengembangan ekonomi hijau tersebut karena Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai hutan tropis dan hutan bakau terbesar di dunia.

Presiden Jokowi dalam acara Musrembangnas Tahun 2021 di Istana Negara , Jakarta, Selasa (4/5) mengatakan Green dan Blue Economy bisa menjadi kekuatan ekonomi Indonesia di masa depan (Foto: Courtesy/Biro Setpres)

“Oleh sebab itu transformasi energi menuju energi baru dan terbarukan harus dimulai. Green economy, green technology dan green product harus diperkuat agar kita bisa bersaing di pasar global,” ungkap Jokowi dalam acara Pembukaan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional Tahun 2021, di Istana Negara, Jakarta, Selasa (4/5).

Pemerintah pun, kata Jokowi, sudah mempersiapkan pengembangan green economy tersebut dengan membangun green industrial park atau kawasan industri hijau di Kalimantan Utara, yang akan memanfaatkan hydro power dari Sungai Kayan yang nantinya akan menghasilkan energi hijau, serta energi baru dan terbarukan (EBT) yang akan disalurkan ke kawasan industri hijau ini.

“Sehingga muncul produk-produk hijau dari sana. Inilah kekuatan kita ke depan,” kata Jokowi.

Selain itu, Indonesia ujar Jokowi juga memiliki kekuatan di dalam blue economy atau ekonomi biru. Menurutnya, Indonesia merupakan negara terkaya dalam hal keanekaragaman hayati di laut. Maka dari itu, Indonesia harus bisa memanfaatkan berbagai anugerah Tuhan ini secara bijak, dengan tetap menjaga kelestarian alam, namun bisa melakukan keberlanjutan produksi dan mensejahterakan rakyat Indonesia.

BACA JUGA: Energi Nasional di Persimpangan Jalan: Nuklir vs EBT

Sustainable blue economy harus menjadi agenda yang harus diprioritasikan di seluruh wilayah pantai yang kita miliki,” paparnya.

Lebih jauh, Jokowi menjelaskan pertumbuhan ekonomi tanah air harus inklusif, dan bisa menjadi bagian penting bagi penyelesaian masalah pembangunan yang berkelanjutan atau suistainable development goals (SDGs). Pertumbuhan ekonomi, katanya, harus menjadi mesin bagi pemerataan pembangunan dan keadilan ekonomi baik antar daerah maupun antar desa dan kota, serta harus bisa meningkatkan kelas UMKM agar dapat semakin bersaing dengan produk-produk dari negara lain.

Potensi Besar Indonesia

Pengamat Ekonomi INDEF Bhima Yudistira mengatakan dengan sumber daya alam yang dimiliki, Indonesia sebenarnya berpotensi besar untuk bisa mengembangkan green dan blue economy ini pada masa yang akan datang.

Presiden Jokowi dalam acara Musrembangnas Tahun 2021 di Istana Negara , Jakarta, Selasa (4/5) mengatakan Green dan Blue Economy bisa menjadi kekuatan ekonomi Indonesia di masa depan (Foto: Courtesy/Biro Setpres)

“Potensinya ada di Indonesia semua, green economy kita punya cadangan hutan tropis yang besar, kemudian perikanan juga berkembang pesat. Jadi maksudnya kenapa Indonesia tidak punya komitmen yang spesifik disitu, karena kalau sudah punya komitmen itu artinya bisa mengurangi terhadap sektor-sektor yang justru kontradiksi dengan green economy itu sendiri,” ungkapnya kepada VOA.

Selain itu ada beberapa faktor penting mengapa Indonesia harus mengembangkan perekonomian berbasis lingkungan tersebut. Bhima menjelaskan mitra dagang terbesar Indonesia seperti Amerika Serikat, lalu negara-negara di Afrika dan Eropa sudah mulai concern dan fokus terhadap pembangunan yang berkelanjutan atau suistainable development yang sejalan dengan upaya pengurangan emisi.

Ekonom INDEF, Bhima Yudhistira Adhinegara. (Foto: screenshot)

Maka dari itu, Indonesia harus menerapkan standar yang tinggi dalam setiap rantai pasok industri maupun barang yang akan diekspor, seperti contohnya, bagaimana Indonesia harus bisa mengurangi ketergantungan terhadap komoditas, karena banyak komoditas yang sifatnya esktraktif.

“Karena memang ada standar global yang meningkat. Kalau Indonesia tidak mengikuti standar global itu, maka khawatirnya para investor dan juga para negara-negara maju itu akan mencari negara lain untuk menjadi mitra artinya ada kehilangan potensi ekonomi, kalau kita tidak menerapkan standar yang tinggi,” jelasnya.

Selain itu, katanya, pemerintah lewat BUMN harus bisa menciptakan insentif yang lebih besar untuk penggunaan energi baru dan terbarukan (EBT) seperti pengembangan mobil listrik. Menurutnya, ini menjadi salah satu hal yang sangat penting dalam upaya pengembangan green economy di Indonesia, karena pengembangan mobil listrik bisa juga menurunkan polusi udara. Kemudian dari segi perbankan, ujar Bhima, Bank BUMN harus mulai menurunkan porsi pembiayaan untuk sektor-sektor yang merusak lingkungan, dan lebih besar masuk ke dalam pembiayaan hijau atau green banking.

Burung terbang di atas unit pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) milik PT. Geo Dipa Energi (Persero) di kawasan pegunungan Dieng di Banjarnegara, Jawa Tengah, 15 November 2020. (Foto: REUTERS/Willy Kurniawan)

“Jadi sebelum menyuruh pelaku usaha lainnya pemerintah harus memberikan contoh, mulai dari anggarannya, BUMN-nya, kebijakannya. Jangan mau mendorong mobil listrik tapi yang diturunkan pajak atau PPNBM nya malah mobil dengan bahan bakar fosil. Itu juga kontradiksi,” jelasnya.

Ke depan, pemerintah perlu membuat suatu Undang-Undang (UU) khusus yang mengatur tentang green dan blue economy tersebut. UU tersebut, ujarnya harus bisa meningkatkan perlindungan terhadap lingkungan hidup.

Your browser doesn’t support HTML5

Jokowi Perintahkan Penguatan 'Green Economy' dan 'Blue Economy'

“Karena dengan UU Cipta Kerja kemarin banyak mendapatkan protes dan kritik bahwa safe guard lingkungan dikurangi untuk meningkatkan investasi padahal banyak investasi sekarang yang Namanya ESG atau environmental social governance. Jadi harusnya Indonesia mulai menargetkan kebijakan investasi yang berkualitas,” paparnya.

Investasi di Bidang Teknologi

Dalam kesempatan ini, Jokowi juga menyoroti penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) mutakhir yang tidak bisa dihindarkan khususnya ketika dunia dilanda pandemi COVID-19. Berbagai pelayanan seperti pelayanan pemerintahan, pendidikan, dan berbagai bisnis beralih dari luring menjadi daring. Dunia, kata Jokowi, berubah begitu cepat dan Indonesia harus bisa menghadapi kompetisi yang semakin ketat seiring dengan perkembangan teknologi tersebut.

BACA JUGA: Jokowi: Indonesia Harus Mampu Ciptakan Teknologi Canggih

Maka dari itu, Jokowi pun ingin Indonesia bisa menjadi bagian dari produsen teknologi itu sendiri, sehingga bisa memperoleh manfaat yang maksimal dari perkembangan teknologi yang cepat ini.

“Apalagi akan dimulainya konektivitas digital 5G. Hati-hati kita jangan hanya menjadi pengguna. Kita jangan hanya menjadi smart digital users, tetapi kita harus mampu mencetak smart digital specialist, mencetak para teknolog yang handal, yang mampu bersaing yang kompetitf, dan harus mengembangkan smart digital preneur yang mengembangkan kewirausahaan dan membuka lapangan kerja di dalam negeri,” ungkap Jokowi.

Jokowi menyebut, hampir semua perusahaan saat ini bergerak di bidang teknologi. Ia mencontohkan, di sektor keuangan banyak bermunculan perusahaan financial technology (fintech) yang mampu mengoperasikan bisnisnya dengan sangat efisien, sehingga industri keuangan sudah mulai bergeser ke dalam perusahaan yang mengandalkan teknologi dan inovasi.

BACA JUGA: Jokowi Mencari Jalan Tengah Bagi Hutan, Industri dan Konservasi

Lalu di bidang kesehatan, pengembangan juga semakin pesat sehingga memungkinkan untuk melakukan pemeriksaan atau konsultasi medis dengan jarak jauh serta pemanfaatan artificial intelligence atau kecerdasan buatan untuk diagnosis.

Menurutnya, semua perkembangan-perkembangan ini mencerminkan bahwa dunia berubah dengan sangat cepat. Maka dari itu semua pihak harus responsif dengan berbagai perkembangan IPTEK tersebut.

“Belanja teknologi harus diperlukan sebagai belanja investasi, kita garis bawahi ini harus jelas manfaatnya terutama manfaat publik, manfaat bagi masyarakat dan negara, tapi harus juga dihitung efisiensinya, harus dihitung kontribusinya untuk perkembangan teknologi di dalam negeri, harus dihitung return of investment-nya sehingga bisa berkelanjutan terus,” jelasnya. [gi/ab]