Presiden Joko Widodo mengatakan tantangan perekonomian global dan kawasan ASEAN ke depan diprediksi akan semakin berat di tengah ancaman resesi. Untuk menghadapi tantangan tersebut, Jokowi menyampaikan pandangannya tentang tiga fokus utama ASEAN.
Hal tersebut disampaikannya saat Presiden berbicara pada ASEAN Global Dialogue Ke-2: Post COVID-19 Comprehensive Recovery di Hotel Sokha, Phnom Penh, Minggu (13/11).
Menurut Jokowi, penguatan fiskal negara ASEAN dalah hal pertama yang perlu dipersiapkan. Presiden mendorong agar ruang fiskal harus diciptakan demi adanya stabilitas keuangan. Selain itu, efisiensi belanja dan pengalokasian kepada program mitigasi dampak krisis harus menjadi prioritas yang disertai dengan jaring pengaman sosial bagi rakyat yang kurang mampu.
“Dukungan pada sektor yang memiliki dampak terhadap ekonomi kawasan juga harus diprioritaskan. ADB (Asian Development Bank -red) telah mengidentifikasinya seperti pariwisata, agro-processing, dan tekstil. Sektor-sektor ini penting karena melibatkan UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah -red) yang wakili 90 persen dunia usaha ASEAN,” tuturnya.
Hal kedua yang menurut Jokowi tidak kalah penting adalah penguatan dukungan keuangan internasional. Ia menegaskan pentingnya peran lembaga keuangan internasional dalam merespon krisis dan meminimalisir dampak yang diakibatkan melalui berbagai instrumen keuangan yang fleksibel.
“Ada instrumen yang sifatnya darurat sehingga bisa cepat digunakan saat krisis, dan lebih penting dari itu perlu ada instrumen yang berfungsi mencegah krisis. Dukungan ini penting bagi ASEAN untuk antisipasi memburuknya krisis ke depan, salah satunya dengan perkuat infrastruktur keuangan di kawasan, termasuk sinergi kebijakan finansial,” jelasnya.
Ketiga, kata Jokowi, adalah perdagangan dunia harus diatur dengan mempertimbangkan hak pembangunan negara berkembang. Presiden menyoroti kesulitan yang dialami negara berkembang saat ingin melakukan hilirisasi.
“Apakah dengan mengeskpor bahan baku mentah negara berkembang dapatkan keuntungan yang memadai? Jawabannya tidak. Untuk itu, negara berkembang terus memperjuangkan hak untuk hilirisasi,” tegasnya.
Di akhir pengantarnya, Jokowi kembali menegaskan pentingnya berkolaborasi erat dan bekerja sama untuk menghadapi krisis yang terjadi saat ini.
Rekomendasi Tidak Tepat
Sementara itu, Ekonom CORE Indonesia Muhammad Faisal menuturkan berbagai rekomendasi yang disampaikan Jokowi, terutama yang terkait penguatan fiskal, lebih tepat disampaikan untuk Indonesia sendiri.
Faisal melihat arah kebijakan pemerintah di 2023 memiliki fiskal yang lebih ketat dari tahun-tahun sebelumnya. Hal tersebut, katanya, bisa dilihat dari struktur APBN 2023 yang menargetkan defisit di bawah tiga persen. Menurut Faisal, strategi ini menjadikan peluang fiskal yang ada lebih sempit dibandingkan masa pandemi.
“Program pemulihan ekonomi nasional (PEN) juga sudah tidak ada lagi di tahun depan, kemudian penerimaan dikejar, ditingkatkan untuk mencapai defiisit yang dibawah tiga persen, dan pada saat yang sama belanja malah direm. Insentif banyak juga yang dikurangi. Jadi sebetulnya nasihat itu lebih cocok untuk Indonesia,” tukasnya.
BACA JUGA: Membendung Perang Pengaruh AS-China di ASEAN"Saya belum mempelajari negara-negara ASEAN yang lain untuk tahun depan seperti apa strategi fiskalnya. Tapi kurang lebih ya sama seperti yang harus dilakukan oleh Indonesia karena setelah dampak pandemi belum selesai, masih ada scarring effect, kita menghadapi tantangan yang baru,” ungkap Faisal kepada VOA.
Meski begitu, kata Faisal, Indonesia merupakan negara yang relatif lebih siap dalam menghadapi berbagai tantangan ekonomi dalam beberapa waktu depan. Pasalnya, negara-negara anggota ASEAN seperti Thailand, Malaysia, Vietnam dan Singapura memiliki ketergantungan yang cukup tinggi terhadap ekspor perdagangan dunia. Negara-negara tersebut, katanya, akan memiliki kesulitan yang lebih tinggi, dengan adanya penurunan permintaan ekspor dari negara maju seperti Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa.
Sementara Indonesia dinilai masih memiliki bantalan yang cukup bagus di dalam negeri. Hal itu dibuktikan dengan pertumbuhan ekonomi nasional pada kuartal sebelumnya yang mencapai di atas lima persen.
“Jadi yang paling dikhawatirkan tahun depan sebenarnya adalah ekspor ke negara-negara maju seperti ke Eropa dan Amerika. Kalau China diprediksikan tahun ini terburuk, tahun depan diprediksikan akan lebih mending, berbeda dengan Amerika dan Uni Eropa yang diprediksikan tahun depan yang justru awan gelapnya terjadi lebih parah di tahun depan,” katanya.
Jadi, tambah Faisal, negara-negara ASEAN yang lebih rentan dari Indonesia harus menyiapkan stimulus atau kuda-kuda yang cukup untuk tahun depan karena faktor global. [gi/ah]