Presiden Joko Widodo menyoroti konflik Myanmar yang sampai detik ini terus memburuk. Dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN, di Kamboja, Jumat (11/10), Jokowi mengungkapkan rasa kecewanya atas tidak ada kemajuan yang signifikan dalam implementasi 5-point consensus (5PC) oleh junta militer Myanmar.
“Indonesia sangat kecewa dengan situasi Myanmar yang semakin buruk, tidak adanya progres yang signifikan dari implementasi 5PC. Sekaligus kita tidak melihat adanya komitmen dari junta militer untuk mengiplementasikannya,” ungkap Jokowi.
Jokowi juga mengungkapkan, ia menyampaikan beberapa poin penting pada sesi retreat KKT ASEAN ke-41 yang secara khusus membahas implementasi 5PC. “Pertama, penerapan 5PC tetap menjadi acuan utama bagi ASEAN dalam membantu Myanmar keluar dari krisis politiknya,” tuturnya.
Poin kedua, katanya, mempertegas kembali seruan penghentian kekerasan untuk segera menciptakan kondisi kondusif di Myanmar. “Ketiga, mengusulkan penugasan Sekjen ASEAN dan AHA Centre untuk terus mengupayakan akses agar Comprehensive Needs Assesment dapat segera diselesaikan,” tuturnya.
Jokowi mengatakan, bantuan kemanusiaan untuk mendukung keberlanjutan kehidupan menjadi lebih penting artinya saat ini.
Poin ke-4 yang disampaikannya adalah keterwakilan nonpolitik Myanmar harus diberlakukan selain untuk AMM (annual minesterial meeting) dan KTT.
“Kelima, engagement ASEAN dengan semua stakeholders Myanmar harus segera dilakukan. Karena hanya dengan membuka dialog dengan semua pihak, maka ASEAN akan dapat memfasilitasi dialog nasional yang dimandatkan oleh 5PC,” tutur Presiden.
Poin penting selanjutnya yang disampaikan oleh Jokowi adalah menghormati prinsip tidak campur tangan (non-interference).
“Kita memiliki tanggung jawab kepada rakyat ASEAN dan dunia. Jika kita tidak bertindak tepat, maka kredibilitas dan relevansi ASEAN menjadi taruhannya,” pungkasnya.
Sementara itu, pakar masalah ASEAN Adriana Elizabeth mengungkapkan dalam konflik Myanmar memang harus diakui bahwa ASEAN tidak pernah bisa mendesak Junta Myanmar, karena permasalahan ini merupakan konflik di dalam negara itu sendiri. Menurutnya, sejauh ini, yang bisa dilakukan oleh ASEAN hanya sebatas memberikan himbauan kepada mereka yang sedang berkonflik.
“Jadi sekali lagi prinsip non interference itu juga sangat dihormati di ASEAN. Kita boleh menyatakan kekecewaan, tetapi yang menyelesaikan ini ya Myanmar sendiri, apalagi kalau dilihat analisa konflik dan perdamaian. Yang bisa menyelesaikan konflik, ya yang berkonflik. Kita hanya bisa menyampaikan concern, kemudian kita ingin Myanmar mengikuti komitmen ASEAN dan sebagainya. But in the end of the day, Myanmar sendiri yang memang harus memutuskan mau menyelesaikan ini seperti apa,” ungkap Adriana kepada VOA.
Menurutnya, posisi ASEAN dalam hal ini memang serba dilematis. Namun, dikarenakan hal ini adalah permasalahan domestik dari Myanmar itu sendiri, ASEAN tidak bisa berbuat banyak. Persoalan semacam ini, katanya, juga pernah terjadi ketika Indonesia menghadapi permasalahan dengan Timor Leste dimana tidak ada negara anggota ASEAN yang ikut campur lebih dalam.
Lebih jauh, Adriana mengatakan, ia tidak bisa memprediksi kapan konflik di Myanmar ini akan berakhir. Menurutnya, persoalan di setiap negara berbeda-beda tergantung daripada karakteristik konflik dan siapa saja aktor yang terlibat di dalamnya. ASEAN, kata Adriana, selama ini selalu berupaya menjaga agar jangan sampai konflik-konflik ini tidak berlangsung lama dari tidak berdampak secara regional.
“Apa sih yang dikonflikkan selama ini? Apa sih interest-nya? Apa sih posisinya, konteksnya, kemudian perspektifnya selama ini? Kan salah satunya juga karena perbedaan perspektif antara pemerintah dengan kelompok bersenjata di sana. Itu saja sudah sangat rumit. Kita memahaminya. Kemudian mau berapa lama itu diselesaikan ya bergantung yang berkonflik. Mau cepat atau lama, again lets say kalau pihak luar atau misalkan fasilitator atau mediator sekalipun tidak bisa menentukan konflik itu akan selesai kapan. Yang harus menentukan ya pihak berkonflik,” pungkasnya. [gi/ab]