Dalam laporan tahunannya, Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP) mencatat sepanjang 2022 terjadi 53 kasus kekerasan, di mana enam kasus terjadi di Papua Barat dan 47 kasus di Papua.
ALDP menyebut jumlah kasus kekerasan di Papua turun karena pada 2021 ada 63 kasus kekerasan terjadi. Namun, catatan ini juga menyebut bahwa jumlah korbannya justru lebih banyak dan beragam, dari segi usia, profesi dan etnis. Antoni Ibra, peneliti di ALDP menyatakan, konflik menyebabkan ruang publik semakin sempit karena digunakan sebagai arena perang.
“Konflik bersenjata tidak saja terjadi di pos-pos, tetapi juga terjadi di pasar, di jalan-jalan utama dan tempat fasilitas layanan publik, dalam durasi yang cukup lama. Beberapa peristiwa bahkan mengorban rakyat sipil dalam jumlah besar atau dengan cara yang sadis atau tidak manusiawi,” papar Ibra dalam paparan Laporan Tahunan 2022 oleh ALDP, Senin (27/2) petang.
Secara rinci, di provinsi Papua terjadi 47 kasus kekerasan dengan 50 meninggal. Sedangkan di provinsi Papua Barat terdapat enam kasus kekerasan, dengan 14 korban meninggal, sehingga total korban meninggal pada 2022 adalah 64 orang. Sementara di tahun 2021, di mana 63 kasus kekerasan terjadi di dua provinsi, korban meninggal tercatat total 50 orang.
ALDP juga menegaskan, tidak ada upaya perlindungan dan jaminan keamanan bagi masyarakat sipil, kelompok rentan atau minoritas dari konflik bersenjata. Kelompok korban ini bahkan menjadi target tindakan represif dan eksesif, yang dilakukan baik oleh TNI/POLRI maupun Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB).
Sejumlah daerah yang memiliki kasus cukup menonjol antara lain adalah kabupaten Puncak, Intan Jaya, Pegunungan Bintang, Nduga, Yahukimo, Wamena, dan Yalimo.
Secara khusus, ALDP juga mencatat adanya korban dari kelompok anak, dengan total 14 korban.
“Tujuh anak mengalami penganiayaan di kabupaten Puncak oleh TNI, satu di antaranya meninggal dunia. Satu anak mengalami penganiayaan di Yalimo oleh orang tidak dikenal, tiga anak korban penganiayaan di Keerom oleh TNI, satu anak mengalami luka tembak di Intan Jaya oleh TNI dan dua anak mengalami luka tembak di Mappi oleh oknum aparat,” rinci Ibra.
Sepanjang 2022 juga terjadi enam peristiwa penembakan terhadap masyarakat sipil yang profesi sebagai tukang ojek, supir dan pekerja bangunan. Pelakunya adalah TPNPB yang menuduh mereka sebagai intelejen aparat keamanan. Namun, TNI dan Polri selalu membantah klaim TPNPB itu. Tiga penembakan terjadi di kabupaten Puncak, dan masing-masing satu di Yahukimo, Pegunungan Bintang dan Maybrat.
“Ada tiga peristiwa melibatkan sesama aparat TNI yakni satu di Wamena, satu di Lanny Jaya dan satu di Merauke. Adapun antara TNI dan Polri terjadi satu kali di Merauke,” tambahnya.
Sedangkan aksi kekerasan dan konflik bersenjata dalam bentuk merusak atau membakar fasilitas umum atau alat transportasi seperti sekolah, puskesmas, rumah warga dan pesawat ada delapan peristiwa. Rinciannya tiga peristiwa di Puncak, dan masing-masing satu di Yalimo, Yahukimo, Dogiyai, Paniai dan Nduga.
Versi Polisi Berbeda
Dalam laporan tahunan yang disampaikan akhir tahun lalu, Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Papua, Mathius D Fakhiri menyebut angka yang berbeda dari laporan ALDP ini. Mathius menyebut, aksi Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) tahun 2022 adalah 90 kasus, turun dari 106 kasus pada 2021. Lokasi aksi kekerasan ini terjadi di Kabupaten Yahukimo, Intan Jaya, Puncak, Puncak Jaya, Nduga, Pegunungan Bintang, Yalimo, Jayawijaya dan Kabupaten Kepulauan Yapen.
Data polisi menyebut, sepanjang 2022 ada 10 anggota TNI meninggal dunia dan 14 orang luka. Empat anggota Polri meninggal dunia dan tiga mengalami luka. Di kelompok masyarakat, ada 39 orang meninggal dunia dan luka 10 orang. Sementara korban dari KKB adalah lima orang.
“Kelompok Kriminal Bersenjata masih menjadi ancaman yang menimbulkan ketakutan bagi warga masyarakat, khususnya pendatang. Aparat keamanan tetap mengedepankan pendekatan kesejahteraan dalam penanganan KKB,” kata Fakhiri dalam pernyataan resminya.
Terkait operasi, Polda Papua telah melaksanakan 11 Operasi Kepolisian terpusat maupun kewilayahan. Polisi juga memetakan potensi konflik tahun 2023 setidaknya ada di Kabupaten Puncak, Intan Jaya, Nduga, Pegunungan Bintang, Mimika dan Yahukimo.
Enam Isu Utama Papua 2022
Aksi kekerasan hanya satu dari enam peristiwa utama di Papua yang mendapat sorotan sepanjang 2022. ALDP melaporkan, lima peristiwa lain yang menonjol adalah Pengadilan HAM Paniai, penyelesaian kasus HAM secara non yudisial, pemekaran wilayah, penyelenggaraan pemerintahan, serta dialog dan jeda kemanusiaan.
Latifah Buswarimba Alhamid merinci, kasus Pelanggaran HAM berat Paniai disidangkan di Pengadilan Negeri Makasar sejak 21 September hingga 8 Desember 2022. Terdakwanya tunggal, yaitu Mayor (Purn) Isak Sattu yang ketika peristiwa itu terjadi pada 2014 menjabat sebagai perwira penghubung di Kodim Paniai.
“Tepat delapan tahun setelah peristiwa itu terjadi, putusan pengadilan menyebut bahwa terbukti terpenuhi unsur sistematis pelanggaran HAM Paniai sebagai peristiwa pelanggaran HAM berat. Namun pelaku yang diajukan saat ini bebas, karena diangap tidak memiliki pertanggunjawaban komando,” beber Latifah.
Selain itu, rencana penyelesaian kasus pelanggaran HAM di Papua melalui jalur non yudisial juga menyita perhatian sepanjang 2022. ALDP memberi catatan, jika mekanisme non yudisial digunakan maka harus memuat pengakuan dan permohonan maaf dari pelaku sesuai dengan aspirasi korban. Selain itu, upaya ini juga harus mencegah praktik impunitas, dan kearifan adat dalam bentuk denda atau ganti rugi, tidak boleh dieksploitasi oleh pelaku.
Your browser doesn’t support HTML5
“Perlu ada diskusi terbuka mengenai mekanisme penyelesaian non yudisial, khususnya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dalam konteks Papua, sesuai UU Otsus,” tambah Latifah.
Isu lain adalah soal pemekaran yang dinilai sebagai strategi pemerintah pusat untuk meredam nasionalisme Papua dan politik Papua merdeka. Catatan ALDP terkait ini adalah bahwa kebijakan ini sangat sentralistis, belum melewati evaluasi terkait pemekaran yang sudah dilakukan sebelumnya, dan masyarakat yang belum siap yang membuat akses sumber daya manusia harus diambil dari luar.
Pemekaran juga menimbulkan permasalahan otoritas dan keuangan, perebutan kekuasaan dan janji-janji politik hingga meningkatkan persoalan keamanan di Papua.
BACA JUGA: Konflik Pemekaran: Ibu Kota, Wilayah Adat, ASN hingga Migrasi ke PapuaPenyelenggaraan pemerintahan juga menjadi pusat perhatian, terutama karena berjalan di luar kontrol atau aturan dan munculnya dugaan korupsi sejumlah pimpinan daerah. Menuju pemilu 2024, di Papua juga akan terjadi perebutan jabatan pemerintahan sehingga sulit fokus pada penyelenggaraan pemerintahan dan pemenuhan hak-hak rakyat
Sementara terkait dialog dan jeda kemanusiaan, didasarkan pada kesepakatan Jenewa 11 November 2022 antara United Liberation Movement for Papua (ULMWP), Komnas HAM RI dan Majelis Rakyat Papua (MRP). Sayangnya, upaya ini dilakukan tanpa mekanisme terbuka dan gagal diimplementasikan.
“Pernyataan Komnas HAM yang menarik diri dari kesepakatan ini menunjukkan integritas Komnas HAM sebagai lembaga negara sangat lemah otoritasnya dan rapuh secara internal,” kata Latifah.
Rekomendasi ALDP
Sejumlah rekomendasi dikeluarkan ALDP, di antaranya adalah agar Kejaksaan Agung membuka ulang kasus Paniai 2014 untuk mengadili para pelaku dan segera menyatakan berkap lengkap untuk kasus Wasior 2001 dan Wamena 2003. Pembahasan penyelesaian pelanggaran HAM melalui yudisial dan non yudisial harus didiskusikan secara terbuka, termasuk pembentukan KKR dengan merujuk pada Pasal 46 UU Otsus.
BACA JUGA: Aktivis: Kasus Mutilasi oleh Aparat TNI di Papua Jadi Tamparan Keras dalam Penyelesaian KonflikSelain itu, perlu investigasi independen terhadap aksi kekerasan dan konflik bersenjata yang telah mengorbankan masyarakat sipil. Kebijakan keamanan di Papua juga perlu ditinjau ulang. Dalam isu pemekaran, pemerintah provinsi harus memperhatikan hak-hak dasar orang asli Papua (OAP), situasi sosial, budaya setempat agar berkorelasi langsung terhadap peningkatan kualitas pendidikan.
Pemerintah juga harus meninjau ulang izin-izin pengelolaan sumber daya alam di Papua. Diperlukan pula konsolidasi antara masyarakat sipil, OAP serta non OAP, dengan mendepankan sikap non diskriminasi, tanpa stigma dan menghilangkan aksi-aksi provokatif ataupun persekusi. Sementara aparat TNI/POLRI dan TPNPB diminta menghentikan aksi kekerasan bersenjata. [ns/ab]