Teriakan dari salah satu koordinator aksi, mendesak pimpinan Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk menindak tegas pelaku tindak kekerasan terhadap seorang jurnalis televisi di Madiun, pada hari Minggu (2/10).
Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Surabaya, Hari Tambayong mengatakan, aksi kekerasan harus diusut tuntas dan sanksi hukum harus dijatuhkan terhadap oknum anggota TNI yang melakukannya. Selain itu Dewan Pers harus menerjunkan Satgas Antikekerasan untuk mengusut kasus ini sesuai dengan Undang-undang Pers nomor 40 tahun 1999.
“Dewan Pers khususnya kalau bisa menurunkan satgas, Satgas Antikekerasan yang ada di lapangan untuk melihat apa sih kejadian sebenarnya di Madiun. Kalau itu memang ada kesalahan dari mereka (oknum anggota TNI AD), ada Undang-undang Pers yang harus dilakukan disitu, kenapa, Undang-undang Pers jelas kalau ada yang menghalangi, bahkan itu merampas, itu juga cukup menyedihkan bagi kita, apakah mereka tidak tahu kerja kita seperti apa,” kata Hari Tambayong, Ketua IJTI Surabaya.
Kekerasan menimpa jurnalis televisi nasional Soni Misdananto, saat meliput konvoi peringatan 1 Suro yang diikuti anggota perguruan silat di Madiun. Saat itu rombongan konvoi menabrak pengendara jalan di depan markas TNI, yang berujung pada pemukulan massa konvoi oleh anggota TNI. Soni menjadi korban kekerasan dan kamera kerjanya dirusak, meski telah menunjukkan identitasnya sebagai seorang jurnalis.
Aliansi Jurnalistik Independen (AJI) Surabaya, mengecam aksi kekerasan yang dilakukan aparat TNI Angkatan Darat dari Yonif 501 Rider di Madiun, terhadap jurnalis sehingga terpkasa harus menjalani perawatan di rumah sakit. Ketua AJI Surabaya, Prasto Wardoyo mengatakan, cara-cara kekerasan yang masih dilakukan oleh oknum anggota TNI telah melanggar Undang-undang Kebebasan Pers dan hak masyarakat untuk memperoleh informasi.
“Dia (jurnalis) memenuhi hak publik untuk mendapatkan informasi dan tentu saja kebebasan untuk berekspresi ini, kebebasan untuk mendapatkan informasi, kebebasan untuk masyarakat memperoleh informasi, itu adalah ekspresi dari demokrasi yang sudah kita kembangkan selama ini. Jadi kalau kemudian terjadi kekerasan, menghambat jalan kerja jurnalistik, ini tentu saja kemunduran bagi spirit reformasi,” kata Prasto Wardoyo.
Aksi kekerasan oleh oknum anggota TNI ini,menurut Prasto, menciderai semangat Panglima TNI yang menyerukan slogan Bersama Rakyat TNI Kuat pada peringatan Hari Ulang Tahun TNI pada 5 Oktober mendatang.
“Sangat tidak dibenarkan, ketika Panglima TNI itu justru mencanangkan Peringatan Hari TNI itu, TNI bersama rakyat itu kuat, justru anak buah yang di lapangan itu melakukan tindakan kekerasan, itu tentu saja snagat bertentangan dengan spirit yang dibangun,” imbuhnya.
AJI Surabaya mendorong semua pihak mengawasi kasus kekerasan ini, agar tidak sampai dibiarkan tanpa penyelesaian, seperti kasus-kasus kekerasan serupa yang menimpa jurnalis.
Your browser doesn’t support HTML5
“Kita akan mendorong, supaya kasus ini tidak di-peti es-kan. Kita akan terus mendorong supaya kasus ini tidak dibiarkan berlalu saja, karena apa, jika terjadi pembiaran kekerasan terhadap jurnalis ketika dia menjalankan tugas jurnalistik, ini akan menjadi preseden yang sangat buruk, dan akan selalu berulang, akan selalu berulang di tempat dan di lokasi yang berbeda. Itu sangat berbahaya bagi menjamin tegaknya proses demokrasi bagi kehidupan kita bersama,” lanjut Prasto Wardoyo.
Selain kekerasan yang menimpa jurnalis televisi di Madiun oleh oknum anggota TNI, dalam satu minggu terakhir juga terjadi aksi kekerasan terhadap wartawan surat kabar lokal di Bangkalan, Madura, oleh oknum Pegawai Negeri Sipil Dua aksi kekerasan itumenambahpanjang daftar aksi kekerasan terhadap jurnalis sejak reformasi. [pr/ab]