Isu terorisme masih menjadi topik hangat dalam rapat kerja pertama antara Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat dengan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Idham Azis di kompleks DPR/MPR, Senayan, Jakarta. Dalam rapat kerja itu, Kapolri Idham Azis didampingi kepala kepolisian daerah dari seluruh Indonesia.
Dalam pemaparannya, Idham menjelaskan serangan teroris menurun sebanyak 57 persen menjadi delapan kejadian sepanjang 2019, dari 19 kejadian tindakan yang dilakukan teroris pada 2018.. Selama tahun ini, polisi telah menangkap 275 tersangka terorisme. Rinciannya, dua orang telah divonis di pengadilan, 42 dalam proses persidangan, dan 220 dalam proses penyidikan. Sebanyak delapan orang meninggal karena melawan petugas, dua orang meninggal dalam aksi teror, dan satu orang meninggal karena sakit.
Dia menambahkan polisi berhasil mengungkap peristiwa penusukan terhadap Wiranto, ketika itu menjabat Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, di alun-alun Kecamatan Menes, Kabupaten Pandeglang, Banten, pada 10 Oktober lalu. Dua pelaku berhasi ditangkap serta sedang menjalani proses penyidikan. Polisi juga menangkap enam tersangka lainnya terkait penusukan atas Wiranto.
Idham mengatakan polisi juga berhasil mengungkap serangan bunuh diri di Markas Kepolisian Resor Kota Besar Medan, Sumatera Utara, pada 13 November lalu.
"Selain mengungkap identitas pelaku bom bunun diri, dalam delapan hari setelah peristiwa tersebut, Polri juga telah berhasil menangkap 74 orang tersangka jaringan teror di sepuluh wilayah," kata Idham.
Your browser doesn’t support HTML5
Mereka ditangkap di Sumatera Utara (30 orang), Jawa Barat (11 orang), Jawa tengah (11 orang). Riau (5 orang), Banten (5 orang), Kalimantan Timur (4 orang), Jakarta (3 orang), Aceh (2 orang), Jawa Timur (2 orang), dan Sulawesi Selatan (1 orang). Dia menambahkan Detasemen Khusus 88 Antiteror masih terus bekerja mendeteksi sekaligus mengenali pelaku terorisme.
Menurut Idham, berdasarkan hasil penyidikan terhadap kasus penusukan atas Wiranto dan bom bunuh diri di Medan, para pelaku merupakan anggota kelompok Jamaah Ansharud Daulah (JAD) yang berafiliasi pada ISIS (Negara islam Irak dan Suriah). Mereka terpapar paham radikal dan teroris melalui media sosial.
Dalam rapat kerja terpisah dengan Komisi III DPR pada Kamis (21/11), Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Suhardi Alius menegaskan pihaknya mengedepankan pendekatan lunak, yakni pencegahan dan penegakan hukum dalam menangani terorisme di Indonesia. Dia menambahkan BNPT juga terus meningkatkan koordinasi dan sinergitas dengan kementerian dan lembaga terkait dalam memerangi terorisme.
BACA JUGA: Polisi Geledah Rumah Pelaku Bom Bunuh Diri di Medan, 3 Orang Turut DibawaTerkait adanya penyebaran paham ekstremis dan teroris dalam penjara, lanjutnya, BNPT telah berkoordinasi dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia agar kementerian tersebut melakukan pembinaan terhadap narapidana terorisme. BNPT juga berkoordinasi dengan berbagai lembaga, termasuk Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kejaksaan, Detasemen Khusus 88, dalam penempatan narapidana terorisme sesuai level ideologi terorismenya.
Suhardi menjelaskan terdapat empat level teroris, yakni hardcore, militan, pendukung, dan simpatisan.
"Karena perlakuannya akan berbeda-beda, ini yang kami kerjakan di BNPT. Hal ini juga sudah dimulai dengan revitalisasi lembaga pemasyarakatan tentang pembinaan narapidanan terorisme berdasarkan klasifikasi. Sehingga secara bertahap pembinaan narapidana teroris dapat tersentralisasi dan tidak lagi bercampur dengan narapidana umum," ujar Suhardi.
Untuk narapidana kategori hardcore, menurut Suhardi, mereka ditempatkan di sejumlah lembaga pemasyarakatan, termasuk LP Gunung Sindur di Bogor. Namun karena keterbatasan jumlah lembaga pemasyarakatan, narapidana terorisme masih dicampur dengan narapidana umum.
BACA JUGA: Pasca Bom Bunuh Diri di Medan Sejumlah Tempat Jadi Sasaran Tim Densus 88Namun BNPT sudah meminta kepada Direktorat Jenderal Pemasyarakatan untuk memberlakukan sistem blok dengan jadwal dan sipir terpisah supaya narapidana terorisme tidak dapat berbaur dengan narapidana umum.
Suhardi mengatakan BNPT pada Juli 2016 telah menyerahkan kepada Kementerian dalam negeri daftar 600 orang mantan teroris, kemudian diteruskan kepada masing-masing kepala daerah. Sehingga pemerintah daerah tahu persis ada mantan-mantan teroris yang harus dibina bukan dipinggirkan.[fw/ft]