Empat anak pelaku bom bunuh diri di Surabaya, hingga saat ini masih menjalani perawatan medis di Rumah Sakit Bhayangkara Polda Jawa Timur. Menurut rencana, pasca perawatan medis, anak-anak itu juga akan diberi perawatan mental psikologis, akibat trauma maupun kekhawatiran adanya stigmatisasi sebagai anak teroris atau yang terlibat dalam aksi terorisme.
Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Seto Mulyadi mengatakan, meskipun terlibat atau dilibatkan dalam aksi kekerasan dan terorisme, anak-anak tidak dapat disebut sebagai pelaku melainkan sebagai korban. Masyarakat terutama media massa diminta untuk mengubah pandangan yang keliru itu, agar anak mendapatkan haknya untuk bertumbuh menjadi lebih baik.
“Dalam konteks Undang-Undang Perlindungan Anak, Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, tentu tidak bisa disalahkan anak ini. Jadi mohon diubah suatu pandangan keliru, seolah-olah anak ini adalah pelaku dalam terorisme ini. Anak-anak adalah tetap korban, anak-anak yang dikorbankan oleh orang tuanya, dikorbankan oleh mungkin lingkungan dari para pelaku itu, dan ini tentu sangat merugikan perkembangan jiwa anak. Jadi kalau mungkin ada istilah, ditemukan atau dijumpai tiga pelaku terorisme, dua di antaranya anak-anak, nah ini mohon dikoreksi karena yang dua (anak-anak itu) bukan pelaku terorisme itu,” kata Seto.
Baca juga: Perempuan dan Anak Pemantik Detonator
Seto Mulyadi ketika datang ke Mapolda Jawa Timur, Rabu (16/5) mengatakan, anak-anak pelaku bom bunuh diri sebenarnya merupakan korban orang tua dan lingkungan yang kurang baik, sehingga mereka sedianya mendapatkan pendampingan dan pelayanan psikologis untuk mengembalikan ke arah yang baik.
“Dalam hal ini mungkin yang paling penting adalah treatment psikologis, terapi terhadap korban ini, dan ini tentu negara harus hadir, jadi apakah ini bidang dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia melalui Dinas Kesehatan di masing-masing Provinsi atau Kabupaten Kota, untuk memberikan treatment, dan ini tentu juga bantuan dari HIMPSI, Himpunan Psikologi Indonesia, mungkin juga dari psikiater, semuanya tentu diupayakan secara maksimal. Artinya sesuatu yang dengan mudah bisa diarahkan ke negatif, itu dengan cara yang tepat juga bisa diarahkan kembali ke arah positif, dan memang harus diciptakan lingkungan yang kondusif terhadap para korban-korban ini,” tambahnya.
Baca juga: Keluarga Bom Bunuh Diri di Balik Sejumlah Serangan di Surabaya
Sementara itu, Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak (KPA) Arist Merdeka Sirait, mengatakan akan meminta pemerintah melalui Kementerian Pendidikan untuk menyiapkan program deradikalisasi pada anak melalui lembaga pendidikan. Selama ini anak-anak pelaku terorisme lebih banyak terpapar ajaran radikalime yang lebih banyak dibanding ajaran mengenai nasionalisme, kebangsaan dan kemajemukan.
“Kita akan mengusulkan kepada Menteri Pendidikan supaya ada program-progam apa yang disebut dengan deradikalisasi, mengembalikan fungsi semangat nasionalisme dengan mengedepankan kemajemukan, nilai-nilai kebangsaan dan toleransi,” ujar Arist.
Your browser doesn’t support HTML5
Arist juga mendukung rencana Presiden Joko Widodo yang akan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk mengatasi masalah terorisme, agar upaya pemberantasan dapat lebih efektif dan tidak ada lagi anak yang menjadi korban atau dikorbankan.
“Dengan situasi yang ini sudah bisa dinyatakan ikhwal darurat teroris, dan membuat kekacauan atau ketidak tenteraman di tengah-tengah masyarakat, maka Komnas Perlindungan Anak mau tidak mau mendukung segera mungkin gagasan Presiden untuk mengeluarkan Perppu, jika DPR itu masih lambat untuk melakukan itu, dan berhentilah untuk mendiskusikan mana yang dimaksud engan teroris dan sebagainya. Tetapi yang terpenting adalah, bahwa dalam kasus yang melibatkan anak-anak, yang dipaparkan dengan kasus-kasus kekerasan ini, dia menggunakan Undang-Undang Perlindungan Anak, bukan menggunakan Undang-Undang Teroris,” imbuhnya. [pr/wm]