Berbeda dengan kelas coding (pemograman komputer) pada umumnya, "Coding Mum Difabel" di Bandung, Jawa Barat, diikuti oleh para penyandang disabilitas muda. Dengan lincah mereka mengetik di komputer sambil sesekali berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat.
Salah satu peserta disabilitas tuli, Rahayu Putri Solehah, mengatakan coding adalah hal baru baginya.
“Pertama yang kemarin, apa coding itu. Aku pikir belum pernah, cobain belajar, caranya gimana masukin form sheet. Terus belajar lagi lama-lama ‘oh baru tahu sedikit sedikit’,” ujarnya ketika ditemui di Art Center Widyatama, Rabu (17/7) sore.
Perempuan yang berkuliah desain grafis sambil berbisnis online ini mengaku ingin belajar lebih. Dia ingin belajar membuat situs belanja online.
“Susah, tapi nggak apa-apa. Tetap belajar biar lama-lama bisa, Insya Allah,” imbuhnya.
Lain lagi kisah Krisna Nugraha, yang juga disabilitas tuli. Dia terinspirasi situs-situs olahraga.
“Kayak aku mencari di Google (pemain sepakbola) Neymar, website itu keren. Saya ingin seperti itu,” ujarnya yang juga Sekretaris Gerakan untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia (Gerkatin) DPC Sumedang.
"Coding Mum Difabel" digelar oleh Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) untuk mempersiapkan kelompok disabilitas masuk era digital. Dalam kelas seminggu ini, para peserta beragam disabilitas belajar bahasa pemrograman dan mempresentasikan hasil karya mereka. Mereka diharapkan dapat menjadi pengembang web atau pemasar internet di masa depan.
Your browser doesn’t support HTML5
Program yang digagas 2018 ini juga digelar di Jakarta, Semarang, dan Surabaya.
Era Digital Buka Kesempatan Baru bagi Disabilitas
Di Kota Bandung, Bekraf bekerjasama dengan Art Therapy Center Universitas Widyatama yang menyediakan pendidikan diploma bagi disabilitas.
Firli Herdiana, ketua jurusan Desain Grafis mengatakan selama ini disabilitas hanya diberi akses pekerjaan yang sedikit. Namun, era digital membuka peluang baru.
BACA JUGA: Zonasi Sekolah, Angin Segar Bagi Difabel“Basic-nya sih anak-anak di art therapy itu desain. Tapi dengan peluang sekarang yang ada e-commerce banyak desain yang online sekarang, ini bisa jadi peluang buat anak-anak difabel. Bahwa mereka bisa mandiri, berkarya, dari rumah malah,” jelasnya yang tengah menempuh pendidikan S2 Seni Rupa ITB ini.
Firli berharap, ketrampilan digital membuat masa depan mereka lebih luas.
“Ini jadi peluang kerja bagi mereka setelah lulus. Setelah menyelesaikan pendidikan, mereka bisa mendapatkan klien. Bukan tidak mungkin bahwa order membuat website akan semakin banyak ke depan. Termasuk untuk UMKM, personal, portfolio sendiri lewat online,” imbuhnya.
Sementara itu, Head of Education Kolla Prayudi Utomo, mengatakan pelatihan ini jadi cara untuk melihat potensi disabilitas muda.
“Nanti setelah mereka selesai, nanti kita arahkan. ‘Oh saya mau jadi digital marketing’, lewat sini. ‘Saya mau jadi programmer yang lebih lanjut’, lewat sini. Jadi ini semacam pintu gerbang saja,” ujarnya yang ikut merancang kurikulum dan melatih peserta ini.
Selama menjadi pelatih di beberapa kota, Yudi menyaksikan para muridnya melesat maju.
BACA JUGA: Hari Tari Dunia, Anak Difabel Tuna Netra dan Tuna Rungu, Menari dalam Sunyi dan Gelap“Mereka kita ajarin coding oh ternyata ketemu dia lebih suka ke desain atau copywriting. Karena di coding diajarin semua, kita ajarin teori warna, copywriting, tata letak, coding. Bahkan ketika presentasi websitenya jelek, presentasinya bagus. Oh kita menemukan public speaker,” kisahnya.
Dia berharap semakin banyak disabilitas muda yang makin cakap di era digital.
“Jadi keliahatan spektrumnya ke mana saja, dan itu nggak disangka-sangka sejak awal,” pungkasnya. (rt/ab)