Insiden antara pendukung "Jokowi Tetap Dua Periode" dengan relawan "2019 Ganti Presiden" akhir pekan lalu, memaksa Kepolisian Daerah Metro Jakarta Raya dan Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta melarang kedua kubu memanfaatkan kawasan bebas kendaraan bermotor di sepanjang Jalan Sudirman dan Thamrin di jantung Ibu Kota Jakarta, untuk aksi bernuansa politik.
Oleh karena itu meskipun datang dan memadati jalan, para relawan "2019 Ganti Presiden" yang mengenakan kaos bertuliskan pesan politik itu, pekan ini tidak bisa masuk ke arena bebas kendaraan bermotor tersebut. VOA menyaksikan langsung bagaimana perdebatan antara sepasang suami istri berkaus putih bertulisan "2019 Ganti Presiden" dengan anggota Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi DKI Jakarta. Keduanya memaksa ingin berjalan kaki memasuki kawasan bebas kendaraan bermotor, namun dihadang.
Inisiator Car Free Day Alfred Sitorus meminta para pendukung dari kedua kubu tidak menjadikan hari bebas kendaraan bermotor untuk melakukan kegiatan politik praktis. Dia menyayangkan insiden yang terjadi pekan lalu.
Your browser doesn’t support HTML5
"Mari kita kembali legowo semuanya untuk tidak menjadikan car free day ini sebagai kawasan politik praktis dan kegiatan partai politik," katanya.
Meski demikian acara deklarasi relawan "2019 Ganti Presiden" tetap dilangsungkan pada Minggu (6/5) di pelataran Monas dekat Patung Arjuna Wiwaha, Jakarta Pusat. Ratusan orang yang mengenakan kaus bertulisan 2019 Ganti Presiden menghadiri acara yang dipimpin oleh politikus Partai Keadilan Sejahtera Mardani Ali Sera, artis Neno Warisman, dan Abu Jibril. Dalam sambutannya, Mardani menekankan gerakan "2019 Ganti Presiden" adalah legal, sah, dan konstitusional karena dalam pasal 28 E ayat 2 dan 3 disebutkan setiap orang berhak berkumpul dan berserikat. Setiap orang berhak menyatakan pendapat, tegasnya.
Lebih jauh Mardani mengatakan hak berkumpul dan berserikat, serta hak menyatakan pendapat merupakan salah satu hak dasar sebagai warga negara. Jika pemerintah berupaya membungkam gerakan "2019 Ganti Presiden" maka pihaknya siap melawan. Mardani juga mengatakan gerakan "2019 Ganti Presiden" merupakan bagian dari pendidikan politik.
"Cukup sudah pencitraan, cukup sudah pembohongan, cukup sudah upaya membodohi masyarakat. Masyarakat disuruh ternak kalajengking, apa itu cerdas? Masyarakat disuruh masuk gorong-gorong, apa itu cerdas?" ujarnya.
Lebih lanjut Mardani mengatakan gerakan "2019 Ganti Presiden" ini terbuka bagi semua suku, ras, dan agama; dan senantiasa dilakukan dengan cara santun.
Baca juga: Insiden Persekusi Car Free Day: Mengapa Para Tokoh Bungkam?
Pada kesempatan itu, Mardani memimpin pembacaan pernyataan sikap dan aspirasi relawan nasional gerakan "2019 Ganti Presiden," yang antara lain berisi keprihatinan terhadap kemiskinan, ketidakadilan, ketidakberpihakan, dan ancaman atas kedaulatan serta krisis kepemimpinan yang terjadi saat ini di Indonesia. Para relawan, ujar Mardani, bertekad berjuang bersama seluruh rakyat untuk mewujudkan Indonesia yang lebih baik, berdaulat, bermartabat, adil, makmur, dan berakhlak mulia.
"Kami siap mengawal jalannya proses pemilu yang jujur, adil, dan bebas dari segala bentuk kecurangan hingga terwujudnya 2019 ganti presiden secara sah dan konstitusional pada tanggal 17 April 2019," katanya.
Ironisnya ketika didesak wartawan siapa yang pantas menjadi presiden baru periode 2019-2024, Mardani mengatakan relawan "2019 Ganti Presiden" baru akan menyampaikan sikap setelah pendaftaran pasangan calon presiden dan wakil presiden pada Agustus mendatang. Ia mengklaim relawannya telah tersebar di 34 provinsi.
Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto menilai gerakan "2019 Ganti Presiden" bukan sebuah aspirasi rakyat dan menuding gerakan itu merupakan manuver politik kubu oposisi. Hasto setuju dengan pernyataan Presiden Joko Widodo dalam Konvensi Nasional 2018 di Bogor pada 7 April lalu, bahwa "pergantian presiden berada di tangan rakyat dan Tuhan," dan karenanya atribut seperti kaos dan gelang tidak bisa mendorong pergantian presiden. [fw/em]