Sekitar 70-75 persen pasien yang ditangani di ruang perawatan intensif (ICU) rumah sakit, diperkirakan meninggal dunia akibat resistensi bakteri terhadap antibiotik. Bahkan secara global kematian akibat antimikroba resisten tercatat sebanyak 1,27 juta orang.
Hal ini diungkapkan Ketua Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba dr.Harry Parathon dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya dengan World Organisation of Animal Health di Surabaya baru-baru ini.
Menurutnya, resistensi antimikroba ini memicu terjadinya kematian karena penyakit yang diobati tidak kunjung sembuh akibat kebalnya kuman atau bakteri terhadap antibiotik.
Berdasarkan hasil penilaian 1.273 resep dokter di beberapa rumah sakit, kebanyakan pasien diberi resep yang tidak tepat dosis, atau diresepkan antibiotik, meskipun sebenarnya tidak membutuhkan antibiotik.
“Data penggunaan antibiotik yang berlebihan itu, kita me-review resep dokter, resep-resep dokter dari beberapa rumah sakit kita kumpulkan, kita lihat. Dan mereka memang ada dua, yang overused, jenis antibiotiknya betul tetapi memakainya, dosisnya terlalu besar, terlalu lama. Yang kedua, ada mis-used namanya, tidak ada indikasi, tetapi mereka harus minum antibiotik,” ujar Harry.
BACA JUGA: 2020, Kematian Akibat Bakteri 'Superbug' yang Kebal Antibiotik di AS Naik 15%Lebih jauh Harry Parathon mengatakan, sekitar 70-80 persen peresepan di Indonesia perlu diperbaiki, khususnya peresepan antibiotik. Badan Kesehatan Dunia WHO, tambahnya, saat ini sedang menghitung penggunaan antibiotik yang tidak tepat atau berlebihan, karena masalah ini juga menjadi masalah di banyak negara.
Warga masyarakat harus diberi pendidikan untuk tidak menjadikan antibiotik sebagai obat semua penyakit, tambahnya.
“Ya pemahaman bahwa antibiotik itu obat yang punya dua efek. Satu, dia menguntungkan, bisa menyembuhkan, tetapi sekaligus dia bisa memicu terjadinya resistensi bakteri. Kalau pas sembuh tidak apa-apa, tetapi kalau kena yang bakteri menjadi resisten di tubuh kita, kondisi tubuh kita tidak prima, jadi mereka orang tua, bayi, pascaoperasi, punya sakit-sakit komorbid, itu yang akan terancam akibat bakteri resisten,” tukasnya.
Resistensi antimokroba merupakan bentuk kekebalan atau pertahanan suatu kuman atau bakteri terhadap obat. Kuman atau bakteri penyebab penyakit yang seharusnya mati oleh antibiotik dengan dosis yang tepat dan waktu tertentu, ternyata tidak mati oleh antibiotik yang diberikan.
BACA JUGA: Kasus Jamur Superbug Meningkat Tajam Selama PandemiHal ini mencemaskan karena konsumsi antibiotik secara serampangan masih terjadi di banyak tempat. Seorang apoteker di Sidoarjo, Riki Rinjani, mengatakan masih ada warga yang membeli antibiotik di apotek tanpa resep, atau tanpa indikasi penyakit yang membutuhkan antibiotik.
“Masyarakat ini bisa membeli di apotek tanpa indikasi yang tepat, jadi mereka cuma batuk pilek biasa itu sudah beli antibiotik. Atau bahkan yang lebih konyol lagi, misalkan, oh saya pegal linu, saya beli amoksilin misalkan, itu masih banyak yang seperti itu di apotek,” kata Riki.
Riki menegaskan bahwa apotek tidak melayani pembelian antibiotik tanpa resep dokter, dan mereka yang tidak memiliki resep dokter tetap ingin mendapatkan obat pereda sakit, akan selalu diberi alternatif obat yang tepat sesuai diagnosa sakit yang dirasakan. Riki menegaskan, penggunaan antibiotik tidak akan bermasalah bila sesuai dengan indikasi sakit, dosis, serta waktu pengunaan yang tepat.
Your browser doesn’t support HTML5
“Selama masyarakat menggunakan dengan benar, bisa jadi tidak akan ada apa-apa. Tetapi, lebih seringnya itu masyarakat tidak menggunakan dengan benar. Kalau dia minum pagi, siang dan sore, dia tidak memperhitungkan malamnya, sehingga ada satu periode malam hari ketika antibiotik dalam tubuh itu kosong,” imbuhnya.
Warga Sidoarjo, Dinie Wardhani, mengaku baru memahami bahwa tidak semua penyakit harus diberikan antibiotik. Namun, ada pula dokter praktik di klinik yang meresepkan antibiotik agar pasien cepat sembuh.
“Pernah sih waktu anakku sakit dan harus berobat di tempat yang lain, itu diberi antibiotik. Nah, itu sempat tanya, kan sakitnya karena virus bukan karena bakteri, tapi dokternya bilang gini sih, iya biar cepat sembuh. Cuma kan saya juga kembali lagi, kadang kala dokter kan juga punya pertimbangan sendiri untuk memberi antibiotik,” tutur Dinie.
Harry Parathon mengatakan kekebalan penyakit terhadap antibiotik dapat menyebabkan penyakit tidak kunjung sembuh, bahkan dapat mengakibatkan kematian. Dokter maupun masyarakat diminta untuk lebih bijak dalam menggunakan antibiotik, untuk mencegah hadirnya era di mana penyakit tidak dapat disembuhkan oleh antibiotik jenis apapun. [pr/em]