Hari Sabtu, 7 Maret 2020 sore, Rektor Universitas Muhammadiyah Yogyakarta mengundang jurnalis ke kantornya. Undangan itu muncul, karena pagi harinya, tersebar salinan surat seputar pemeriksaan seorang dosen yang juga Kepala Lembaga Kerja Sama (LKS) UMY. Surat itu berisi kronologis kasus kekerasan verbal kepala lembaga itu kepada enam staf perempuan. Keenam staf itu terdiri dua staf mahasiswi magang dan empat staf temporer.
Dalam salinan surat itu, enam staf perempuan di LKS UMY melapokan atasan mereka, berinisial EPP. Menurut para staf itu, EEP kerap melakukan kekerasan verbal. Kekerasan sudah terjadi lebih dari setahun namun tidak dilapokan karena staf berstatus mahasiswi takut, laporan itu berpengaruh pada kelulusan mereka. Karena itulah, laporan dilakukan setelah yudisium.
Rektor UMY, Gunawan Budianto membenarkan peristiwa itu. “Mereka merasa direndahkan, harga dirinya. Dikatakan idiot, goblok, kucluk, itu selalu. Kalau ada kesalahan. Ya, biasalah kadang kala dalam berbahasa Inggris itu kan tidak selancar yang kita inginkan. Kadangkala salah ketik itu dia enggak mau tolerir,” kata Gunawan.
Ada tiga staf laki-laki di kantor yang sama, tetapi menurut rektor, ketiganya tidak menerima intimidasi serupa.
Tindakan lain yang meresahkan para staf perempuan ini, adalah karena atasan mereka itu, sering melakukan pangggilan video melalui aplikasi di telepon, pada malam hari.
“Ternyata kesalahannya adalah, dia video call itu jam 9 malam. Itu yang bersangkutan memang keberatan. Dengan apapun alasannya, itu melanggar kesusilaan,” tambah Gunawan.
BACA JUGA: Ribuan Orang Aksi IWD di Tengah Pelemahan PerempuanWakil Rektor Bidang Sumber Daya Manusia UMY, Nano Prawoto menyebut, universitas tidak toleran terhadap pelanggaran kode etik.
“Setiap ada pelanggaran tentu ada proses. Kita menyatakan di UMY zero tolerance terhadap pelangaran etik. EPP telah melakukan pelanggaran, dan telah diberi sanksi pencopotan dari Kepala LKS,” kata Nano.
Relasi Kuasa Atasan
Aktivis dan advokat hak perempuan, Sukiratnasari kepada VOA menyebut, kasus ini terkait dengan relasi kuasa. Kasus ini disimpan para staf karena posisi atasan mereka yang juga dosen. Sesuai pengakuan, penyintas takut jika melapor justru dampaknya akan berbalik.
Perempuan yang akrab dipanggil Kiki ini menambahkan, status penyintas sebagai mahasiswi membawa ketakutan terkait kelulusan. Sementara dalam status staf magang dan temporer, lanjut penilaian atasan sangat berdampak bagi karir mereka selanjutnya.
"Nah, itu kan pertimbangan-pertimbangan yang cukup memberatkan penyintas untuk untuk mengungkapkan kasus. Saya bisa bayangkan misalnya dia berkedudukan sebagai mahasiswi saja, misalnya menerima perlakuan seperti itu sudah down banget," ujar Kiki.
Kiki juga meyakini, penyintas ketakutan beban sosial atau sanksi sosial jika membongkar tindakan pelaku sejak awal. Dalam banyak kasus, penyintas justru disudutkan oleh rekan kerja atau para pimpinan, karena dinilai mencemarkan nama baik lembaga. Dia takut, laporannya akan berdampak pada kesempatan kerja yang mungkin didapatkan di lembaga terkait.
"Artinya memang, perspektif terhadap penyintas ini kan memang belum terbangun. Budaya-budaya semacam ini kan belum terbangun di instansi manapun. Yang dipikirkan lebih pada harmonisasi di instansi itu sendiri," jelasnya.
BACA JUGA: Ketidaksetaraan Gender Masih Tinggi di IndonesiaKiki mengingatkan, terbongkarnya satu kasus di sebuah lembaga justru akan memperbaiki kualitas mereka. Apalagi, jika diikuti dengan perbaikan instrumen pencegahan maupun pelaporan tindak pelanggaran. Jika sebuah lembaga bisa menyelesaikan kasus kekerasan terhadap perempuan dengan tepat, nama baiknya akan terjaga dan masyarakat memberikan apresiasi.
"Ini dengan sendirinya memperbaiki iklim kerja di situ, sehingga semuanya merasa nyaman bekerja, kemudian ada penegakan etika atau penegakan aturan yang jelas, ketika ada orang yang melakukan kekerasan," tambahnya.
Lepas dari kasus di UMY, Kiki mengatakan tindak kekerasan atasan pada staf perempuan masih terus terjadi. Umumnya dalam kasus ini perempuan menjadi korban dan posisi mereka lebih lemah. Pelaku biasanya memiliki pengaruh atau dianggap berjasa oleh lembaga di mana dia bekerja, sehingga sanksi yang diberikan tidak maksimal.
Dalam kasus kekerasan seksual beberapa tahun lalu di sebuah universitas negeri ternama di Yogyakarta, butuh waktu sangat panjang untuk proses penyelesaian. Ada alasan bahwa pelaku, yang juga menjadi dosen ternama, dinilai cukup berjasa bagi lembaganya. Akhir dari kasus ini bahkan belum jelas sampai sekarang.
Kiki yang turut mengawal kasus itu mengaku prihatin. Dengan memberi tempat pada pelaku, universitas itu membuka peluang munculnya kasus serupa di masa depan.
Umum di Dunia Kerja
Imelda Zuhiada, Direktur Mitra Wacana WRC Yogyakarta menyebut, dunia kerja secara umum memang belum ramah bagi perempuan. Dalam berbagai kasus, pekerja perempuan masih menjadi obyek pelecehan dan diskriminasi. Mitra Wacana WRC adalah lembaga berbasis di Yogyakarta yang memfokuskan advokasinya pada isu perempuan dan anak.
“Misalnya saat mereka menggunakan make up yang menyolok. Sangat mungkin dikomentari, baik sesama perempuan maupun laki-laki. Kemudian body shaming. Berjalan di depan laki-laki dan mereka akan berkomentar. Diskriminasi, pelabelan, kemudian perbedaan hak itu sangat besar di Indonesia," papar Imelda.
Perempuan yang bekerja di perkantoran, kondisinya lebih baik dibanding mereka yang ada di sektor lain seperti manufaktur.
Di lingkungan kerja tertentu, seperti pabrik dan karyawan toko, tindak-tindak yang mengarah ke pelecehan relatif sering terjadi. Laki-laki sebagai pelaku, sering beralasan bahwa hubungan akrab antarpekerja memungkinkan itu. Para pekerja perempuan cenderung tidak bereaksi dengan semestinya, karena mereka kadang tidak sadar berhak melakukan pembelaan.
“Seandainya terjadi pada perempuan yang sadar akan haknya tentu dia akan mengatakan bahwa dia tidak suka diperlakukan seperti itu," imbuh Imelda.
Your browser doesn’t support HTML5
Di lingkungan pekerja kantoran, menurut Imelda tingkat pelecehan lebih sedikit, tetapi diskiminasi tetap tinggi. Dalam budaya patriarki, perempuan lebih sering mengasuh anak, apalagi ketika sakit. Namun, ketika perempuan datang terlambat ke kantor karena kondisi itu, lingkungan kerja tidak bisa menerima. Di lingkungan ini, perempuan juga masih menerima diskiminasi, karena sering tidak dihargai prestasinya dengan cukup.
Faktor pendidikan juga memegang peranan dalam kasus semacam ini. Semakin tinggi pendidikan dan semakin banyak infomasi dia peroleh tentang kesetaraan hak, perempuan akan semakin berani melawan diskriminasi dan tindak pelecehan di tempat kerja.
BACA JUGA: Dalam 12 Tahun, Kekerasan Terhadap Perempuan Naik Hampir 8 Kali Lipat“Dari segmen pendidikan, iya. Di satu sisi budaya patriarki masih ada. Jadi, faktornya budaya, pendidikan, kemudian bagaimana perempuan sendiri memandang dirinya sebagai pribadi yang harus dihargai," tambah Imelda.
Hingga saat ini, banyak perempuan Indonesia di berbagai sektor profesi menyimpan erat kekerasan yang menimpa mereka. Takut karir akan berakhir, dominasi atasan laki-laki yang begitu kuat, hingga kurangnya pemahaman tentang hak membela diri menjadi sebagian faktornya. Akibatnya, banyak kasus itu tersimpan rapat bertahun-tahun, bahkan selamanya, di laci-laci meja kerja mereka. [ns/ab]