Terlempar dari puncak kekuasaan ke jalanan, kelompok Ikhwanul Muslimin di Mesir berjuang untuk tetap eksis dan tidak memiliki strategi jelas untuk masa depan.
KAIRO —
Kelompok Muslim Brotherhood atau Ikhwanul Muslimin sedang berjuang untuk eksistensinya, namun kurang memiliki kemampuan dalam mengkonfrontasi militer Mesir yang telah menumbangkannya. Dari puncak kekuasaan ke kemah-kemah di jalanan Kairo, yang bisa dilakukan oleh kelompok ini sepertinya adalah menangisi kematiannya sendiri.
Kematian 51 pendukung kelompok ini karena tembakan militer pada Senin merupakan pukulan terakhir dan paling berdarah bagi kelompok tersebut, yang gontai karena terjungkalnya Presiden Mohamed Morsi dari kekuasaan di tangan para jenderal.
Saat ditanya apa yang akan terjadi setelah kematian para pendukung, juru bicara Ikhwanul Muslimin Gehad El-Haddad mengatakan: “Lebih banyak kemarahan. Kemarahan dan lebih banyak penderitaan.”
Ikhwanul menyerukan unjuk rasa yang lebih besar pada Selasa (9/7). Anggota tim keamanan Ikhwanul, Mohamed Wahab, 32, mengatakan ia siap menghadapi serangan angkatan darat.
“Jika mereka mau datang, kami ada di sini. Jika mereka ingin membunuh kami, kami siap mati,” ujarnya.
“Tapi kami tidak akan pernah berhenti bersikap damai. Bahkan jika mereka menembak kita, bahkan jika kita mati.”
Banyak orang luar yang meragukan kepemimpinan Ikhwanul dapat membalikkan strategi tanpa kekerasan. Namun langkah angkatan darat melawan Morsi yang dipilih secara demokratis juga meningkatkan risiko tersebut, disuarakan oleh para pemimpin Ikhwanul yang mengatakan bahwa beberapa kelompok Islamis sekarang akan menyimpulkan bahwa langkah menuju kekuasaan adalah melalui bom dan peluru, bukan kotak suara.
"Brotherhood tidak memiliki pikiran yang jernih untuk melihat masa depan. Apa yang mereka lakukan sekarang adalah upaya terakhir untuk mempertahankan solidaritas,” ujar Khalil al-Anani, ahli Ikhwanul Muslimin.
“Persatuan kelompok ini sedang terancam.”
Menyebut mereka yang tewas Senin sebagai “martir” menawarkan gerakan tersebut kesempatan untuk menghimpun basisnya, ujar Anani.
“Ini peluang yang sangat baik bagi mereka untuk meningkatkan dukungan publik dan untuk meningkatkan peringkat mereka,” ujarnya.
Namun melawan militer bukanlah suatu pilihan.
“Mereka tahu bahwa mereka tidak dapat menantang angkatan darat Mesir. Mereka hanya mencoba untuk memberi tekanan lebih pada militer,” ujar Anani.
Untuk saat ini, para pemimpin Ikhwanul Muslimin hanya mengatakan bahwa mereka berencana tetap tinggal di jalan sampai militer mengembalikan kekuasaan pada Morsi, sebuah tuntutan yang jauh dari realitas namun dilihat sebagai bagian strategi jangka pendek untuk mengelola krisis.
Dalam jangka panjang, kelompok ini menghadapi pilihan-pilihan kritis, seperti apakah akan maju dalam pemilihan umum lagi. Melihat sikap pragmatis kelompok ini di masa lalu, kelompok yang sangat erat ini akan melakukan hal yang perlu dilakukan untuk menjamin kelangsungan hidupnya.
“Saya kira mereka akan mengulur waktu dan mundur,” ujar Joshua Stacher, analis politik dari Kent State University di AS.
"Mereka jauh lebih rapuh saat ini dibandingkan ketika di bawah rezim (Hosni) Mubarak. Rezim Mubarak tidak pernah memiliki kekuasaan atau otoritas untuk melakukan apa yang dilakukan militer pada mereka sekarang.” (Reuters/Tom Perry)
Kematian 51 pendukung kelompok ini karena tembakan militer pada Senin merupakan pukulan terakhir dan paling berdarah bagi kelompok tersebut, yang gontai karena terjungkalnya Presiden Mohamed Morsi dari kekuasaan di tangan para jenderal.
Saat ditanya apa yang akan terjadi setelah kematian para pendukung, juru bicara Ikhwanul Muslimin Gehad El-Haddad mengatakan: “Lebih banyak kemarahan. Kemarahan dan lebih banyak penderitaan.”
Ikhwanul menyerukan unjuk rasa yang lebih besar pada Selasa (9/7). Anggota tim keamanan Ikhwanul, Mohamed Wahab, 32, mengatakan ia siap menghadapi serangan angkatan darat.
“Jika mereka mau datang, kami ada di sini. Jika mereka ingin membunuh kami, kami siap mati,” ujarnya.
“Tapi kami tidak akan pernah berhenti bersikap damai. Bahkan jika mereka menembak kita, bahkan jika kita mati.”
Banyak orang luar yang meragukan kepemimpinan Ikhwanul dapat membalikkan strategi tanpa kekerasan. Namun langkah angkatan darat melawan Morsi yang dipilih secara demokratis juga meningkatkan risiko tersebut, disuarakan oleh para pemimpin Ikhwanul yang mengatakan bahwa beberapa kelompok Islamis sekarang akan menyimpulkan bahwa langkah menuju kekuasaan adalah melalui bom dan peluru, bukan kotak suara.
"Brotherhood tidak memiliki pikiran yang jernih untuk melihat masa depan. Apa yang mereka lakukan sekarang adalah upaya terakhir untuk mempertahankan solidaritas,” ujar Khalil al-Anani, ahli Ikhwanul Muslimin.
“Persatuan kelompok ini sedang terancam.”
Menyebut mereka yang tewas Senin sebagai “martir” menawarkan gerakan tersebut kesempatan untuk menghimpun basisnya, ujar Anani.
“Ini peluang yang sangat baik bagi mereka untuk meningkatkan dukungan publik dan untuk meningkatkan peringkat mereka,” ujarnya.
Namun melawan militer bukanlah suatu pilihan.
“Mereka tahu bahwa mereka tidak dapat menantang angkatan darat Mesir. Mereka hanya mencoba untuk memberi tekanan lebih pada militer,” ujar Anani.
Untuk saat ini, para pemimpin Ikhwanul Muslimin hanya mengatakan bahwa mereka berencana tetap tinggal di jalan sampai militer mengembalikan kekuasaan pada Morsi, sebuah tuntutan yang jauh dari realitas namun dilihat sebagai bagian strategi jangka pendek untuk mengelola krisis.
Dalam jangka panjang, kelompok ini menghadapi pilihan-pilihan kritis, seperti apakah akan maju dalam pemilihan umum lagi. Melihat sikap pragmatis kelompok ini di masa lalu, kelompok yang sangat erat ini akan melakukan hal yang perlu dilakukan untuk menjamin kelangsungan hidupnya.
“Saya kira mereka akan mengulur waktu dan mundur,” ujar Joshua Stacher, analis politik dari Kent State University di AS.
"Mereka jauh lebih rapuh saat ini dibandingkan ketika di bawah rezim (Hosni) Mubarak. Rezim Mubarak tidak pernah memiliki kekuasaan atau otoritas untuk melakukan apa yang dilakukan militer pada mereka sekarang.” (Reuters/Tom Perry)