Mahkamah Agung Amerika, Jumat lalu (21/6) menguatkan undang-undang pengendalian senjata api federal untuk melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga.
Tempat penampungan korban KDRT “Family Place” di Dallas memuji keputusan tersebut. Penjabat CEO “Family Place” Tiffany Tate-McDaniel mengatakan, “Keputusan MA ini memberikan kesempatan yang lebih besar bagi korban untuk mendapat perlindungan. Statistik menunjukkan Anda 500 kali lebih mungkin dibunuh dalam situasi KDRT di mana terdapat senjata api. Tujuh puluh persen korban KDRT yang dibunuh pada tahun 2022, dibunuh dengan menggunakan senjata api. Jadi, keputusan MA yang menolak permohonan Rahimi untuk tetap memiliki senjata api sangat, sangat bagus untuk para penyintas dan keselamatan."
Delapan Hakim Pertegas Aturan Yang Tak Ijinkan Pelaku KDRT Punya Senjata
Delapan hakim di Mahkamah Agung Amerika berpihak pada aturan hukum tahun 1994 yang melarang siapapun yang dikenai “restraining order” atau perintah untuk menjauhi pasangan mereka atau ditahan aparat, untuk memiliki senjata api. Hanya satu hakim yang menentang. Keputusan MA ini membatalkan putusan pengadilan banding federal di New Orleans yang sebelumnya membatalkan aturan tahun 1994 itu.
Ini adalah kasus Amandemen Kedua yang pertama bagi para hakim Mahkamah Agung sejak mereka memperluas hak kepemilikan senjata api pada Juni 2022. Kasus ini berawal dari tindakan seorang laki-laki Texas, Zackey Rahimi, yang pada Desember 2019 dituduh telah memukuli pacarnya saat bertengkar di tempat parkir dan kemudian mengancam akan menembaknya. Tembakan yang diarahkan Rahimi ke pacarnya meleset dan mengenai satu orang lainnya yang menderita luka serius.
Tak Diizinkan Punya Senjata, Pelaku KDRT Ajukan Gugatan ke Pengadilan
Pada Februari 2020 mantan pacar Rahimi mendapat jaminan “restraining order” yang melarang Rahimi mendekati dirinya selama dua tahun, dan sekaligus membekukan ijin kepemilikan senjata api dan melarang laki-laki itu membeli atau memiliki senjata api.
Rahimi sempat ditahan karena melanggar perintah perlindungan itu dan didakwa pasal serangan dengan menggunakan senjata mematikan ketika ia mengancam seorang perempuan lain dengan senjata api. Rahimi juga terlibat dalam sedikitnya lima insiden penembakan yang berujung pada dakwaan federal karena ia tetap dapat memiliki senjata api meskipun dikenai “restraining order.”
Gunakan Amandemen Kedua, Pengadilan Banding Kembalikan Hak Rahimi untuk Punya Senjata
Setelah Mahkamah Agung memperluas undang-undang kepemilikan senjata api tahun 2022, sebuah pengadilan banding mendengar kembali kasus Rahimi dan memutuskan bahwa “meskipun Rahimi bukan contoh warga negara (yang baik) tetapi hak-haknya sesuai Amandemen Kedua Konstitusi AS tetap harus dijamin.”
The New Orleans Fifth Circuit Court of Appeals yang merupakan pengadilan banding, memutuskan bahwa larangan untuk memiliki senjata api yang diberlakukan terhadap Rahimi harus dicabut karena tidak ada tradisi seperti itu dalam sejarah larangan senjata api di AS.
Biden Minta MA Kaji Ulang Kasus Rahimi
Tak tinggal diam, pemerintahan Biden meminta Mahkamah Agung mengkaji kasus ini. Jaksa Agung Elizabeth Prelogar yang mewakili pemerintah, dalam sebuah pernyataan singkat mengatakan “pemerintah telah sejak lama melucuti senjata dari individu yang mengancam keselamatan orang lain, dan Pasal 922 (g) (8) termasuk dalam tradisi itu.” Dan Jumat lalu (21/6), Mahkamah Agung menguatkan undang-undang pengendalian senjata api federal yang melarang pelaku KDRT untuk memiliki senjata api.
Penyintas KDRT Merasa Lega dengan Keputusan MA
Para penyintas, aktivis dan keluarga korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) menyambut dengan gembira keputusan itu dan menyampaikan kelegaan mereka. Bagi keluarga korban yang terbunuh karena penggunaan senjata api dalam KDRT, mereka ingin orang-orang memahami bahwa ini benar-benar masalah hidup atau mati. Dan banyak dari mereka telah menjadi aktivis, memperjuangkan undang-undang yang melindungi korban di masa depan sehingga tidak ada lagi keluarga yang perlu bergabung dengan mereka karena kesedihan yang sama.
Wapres AS dan Aktivis Perempuan: Perjuangan Belum Berakhir
Wakil Presiden Kamala Harris memuji keputusan Mahkamah Agung yang disebutnya “menjadi perlindungan penting terhadap KDRT.” Tetapi Kamala, yang selama ini dikenal sebagai aktivis yang gigih memperjuangkan aturan yang lebih keta terhadap kepemilikan senjata api, menegaskan bahwa “perjuangan untuk melindungi langkah keamanan senjata api yang masuk akal belum berakhir.”
CEO National Domestic Violence Hotline Katie Ray-Jones mencuit di X bahwa keputusan yang melarang pelaku KDRT memiliki senjata api ini merupakan keputusan yang masuk akal, menyelamatkan jiwa dan konstitusional.
Hal senada disampaikan National Indigenous Women’s Resource Center.
Sementara Penjabat CEO “Family Place” Tiffany Tate-McDaniel mengatakan,
“Ancaman senjata api saja sudah sangat kejam. Jadi ketika ada situasi di mana seorang pelaku KDRT memiliki senjata api di rumah dan dapat sewaktu-waktu menggunakannya untuk melawan Anda, ini melecehkan akal sehat. Keputusan MA ini jelas akan membantu secara signifikan untuk mengurangi insiden pembunuhan dan konsekuensi lain yang mungkin terjadi karena pelaku memiliki senjata api.”
Satu Hakim MA Tetap Pertahankan Hak Rahimi Untuk Punya Senjata
Hakim Agung John Roberts, yang menulis keputusan akhir itu, mengatakan undang-undang yang dikuatkan lewat keputusan tersebut menggunakan "akal sehat" dan hanya berlaku "setelah hakim menentukan bahwa seseorang diyakini akan menimbulkan ancaman" kekerasan fisik.
Hakim Clarence Thomas, penulis keputusan penting Bruen tahun 2022 dalam kasus di New York, merupakan satu-satunya hakim yang berbeda pendapat dengan delapan hakim lainnya.
Gugatan hukum ini telah diawasi dengan seksama karena berpotensi mempengaruhi kasus-kasus lain yang ikut mempertanyakan undang-undang kepemilikan senjata api lainnya, termasuk dalam penuntutan terhadap Hunter Biden. Putra Presiden Joe Biden itu divonis bersalah karena berbohong dalam formulir untuk membeli senjata api saat dia kecanduan narkoba. Pengacaranya telah mengisyaratkan bahwa mereka akan mengajukan banding.
Tujuh dari sembilan hakim menuliskan pandangan mereka dalam kasus setebal 94 halaman itu, yang sebagian besar berfokus pada kajian sejarah yang tepat untuk mengevaluasi pembatasan senjata api dan pembatasan lain terhadap hak-hak konstitusional.
CDC: Tahun 2020, 57 Persen Pelaku KDRT Bunuh Pasangan dengan Senjata
Data dari Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit CDC menunjukkan senjata api adalah senjata yang paling sering digunakan dalam kasus pembunuhan pasangan, pasangan intim, anak-anak atau kerabat dalam beberapa tahun terakhir.
Saat perebakan luas pandemi virus corona tahun 2020, di mana terjadi lonjakan luar biasa KDRT lebih dari 57 persen kasus KDRT yang berakhir dengan pembunuhan pasangan menggunakan senjata api.
Kelompok pengawas senjata api “Everytown for Gun Safety” mencatat selama tahun 2020 itu, sekitar 70 perempuan tewas dalam satu bulan, yang rata-rata ditembak oleh pasangannya sendiri.
Meskipun demikian kelompok-kelompok hak-hak kepemilikan senjata api mendukung Rahimi, dengan alasan bahwa keputusan pengadilan banding New Orleans sudah tepat, dan bahwa tidak ada alasan untuk membatasi hak warga negara untuk memiliki senjata api. [em/jm]