Kelompok Penyintas Tak Hadiri Pertemuan ‘Mantan Teroris-Korban’

Chusnul Chotimah (kiri), penyintas bom Bali 2002, berbicara dalam pertemuan antara mantan teroris dan para penyintas di Jakarta, 28 Februari 2018.

Sekelompok penyintas serangan teror memilih tidak menghadiri pertemuan pertama antara mantan pelaku teror dan korban pada Kamis (28/2), kantor berita AFP melaporkan. Pemboikotan itu mengecewakan acara yang tadinya dipuji sebagai langkah kunci menuju rekonsiliasi.

Pertemuan yang diadakan oleh pemerintah ini mempertemukan 124 pelaku kejahatan teroris dan 51 penyintas atau anggota keluarga korban tewas dalam serangan.

Baca: BNPT Akan Pertemukan Mantan Teroris Dengan Korban Teror

Namun dua kelompok pembela hak-hak korban memutuskan tidak menghadiri pertemuan yang diselenggarakan di sebuah hotel di Jakarta. Mereka beralasan pertemuan tersebut tidak direncanakan dengan baik.

“Ada banyak mantan pelaku di ruangan itu. Kami tidak siap secara psikologis,” kata Ni Luh Erniati, penasihat Yayasan Penyintas Indonesia (YPI). Dia tidak menghadiri pertemuan itu.

“Kami telah memaafkan mereka, tapi kami tidak bisa memperkirakan apa yang terjadi, jika emosi kami tersulut.”

Indonesia telah mengalami serangkaian serangan teroris, termasuk bom Bali 2002, yang menewaskan 200 orang. Sebanyak 38 warga Indonesia tewas dalam bom Bali, yang memakan korban paling banyak dari kalangan turis asing.

Para pejabat pemerintah, mantan militan, dan penyintas serangan teror menghadiri pertemuan antara mantan pelaku teror dengan para penyintas di Jakarta, 28 Februari 2018.

Suami Erniati tewas dalam serangan bom Bali. Erniati kemudian mendirikan Yayasan Isana Dewata bagi keluarga korban tewas dalam serangan itu.

Yayasan Isana Dewata dan Yayasan Penyintas Indonesia tidak menghadiri pertemuan pada Rabu.

“Kami sudah mencoba dengan acara yang berskala lebih kecil. Namun tetap saja berat,” kata Erniati. “Beberapa penyintas sangat emosional dan mereka mengungkapkan kemarahan kepada para mantan militant.”

Febby Firmansyah, penyintas serangan bom hotel JW Marriott di Jakarta pada 2003, menolak menyimpan dendam, meski bom mengoyak tangannya dan meninggalkan bekas luka permanen di sekujur tubuhnya.

Baca: Pemerintah Perlu Evaluasi Program Deradikalisasi di Lapas

“Jika saya menyerah pada kebencian, saya tidak beda dengan mereka,” kata Febby kepada AFP pada saat pertemuan.

“Saya tidak bisa memaksa para penyintas lain untuk memaafkan pelaku secepat yang saya lakukan…jadi, saya memperingatkan kepada mereka: Jangan datang kalau kamu tidak siap.”

Sumarno yang menjalani hukuman empat tahun penjara karena mengirim dan membantu membungkus bahan peledak yang digunakan dalam serangan bom bali, mengatakan serangan teror harus berhenti.

“Saya merasa berat dan sedih melihat para penyintas yang sekarang menderita cacat permanen,” kata mantan militant.

“Saya tidak menyangka dampaknya akan demikian. Saya menyesal dan telah meminta maaf kepada mereka.”

Baca: Indonesia Siapkan Penjara Khusus Bagi Teroris Berbahaya

Dia menambahkan pertemuan mungkin membantu mengurangi “diskriminasi” terhadap terpidana militan, yang sekaran kesulitan mencari pekerjaan dan menyesuaikan kembali dengan kehidupan masyarakat.

Pertemuan hari ini adalah yang hari terakhir dari acara yang berlangsung tiga hari, termasuk pidato dari para menteri, pejabat dari pendidikan, urusan sosial dan agama.

Hanya para militan terpidana yang mengikuti kelas mengenai toleransi dan keberagaman yang diselenggarakan awal minggu ini. [ft]