Keluarga Sesalkan Pemerintah Tak Bantu Pulangkan Korban Kecelakaan PMI

  • Nurhadi Sucahyo

Pemulangan jenazah Anis Platin, Pekerja Migran Indonesia, 7 Juli 2018. (Foto: Keluarga Anis Platin/dok). Pemulangan jenazah ini tidak dibiayai pemerintah karena statusnya masih diperdebatkan.

Dari lima korban perahu tenggelam pembawa Pekerja Migran Indonesia (PMI) asal NTT di Nunukan, hanya tiga jenazah yang biaya pemulangannya ditanggung pemerintah. Keluarga seorang korban lainnya memprotes.

Hilarius Platin masih belum paham, mengapa pemerintah tidak mau membantu keluarga besarnya membawa Anis Platin dari Nunukan ke Flores, Nusa Tenggara Timur. Padahal, Anis Platin adalah korban kecelakaan perahu pengangkut Pekerja Migran Indonesia (PMI) di perairan Sebatik, Nunukan 29 Juni lalu.

Dari lima warga NTTyang menjadi korban dalam kecelakaan itu, tiga dipulangkan dengan biaya pemerintah. satu, seorang bayi dikebumikan di Nunukan karena kondisi jenazah yang rusak, dan satu lagi, yaitu Anis Platin, dipulangkan dengan biaya dari keluarganya.

Pemerintah daerah tidak mau menanggung biaya pemulangan jenazah karena menganggap Anis Platin bukan PMI tapi bekerja di Nunukan. Keluarga Anis membantah dan bersikukuh mengatakan Anis memegang paspor dan bekerja di Malaysia.

Hilarius, keponakan Anis Platin bercerita, keluarga besar mereka akhirnya memutuskan untuk bergotong royong menanggung biaya pemulangan jenazah yang kemudian dikebumikan pada Sabtu, 7 Juli lalu setelah tiba di Bandara Maumere.

“Dari keluarga sendiri yang membiayai. Sampai saat ini belum ada bantuan dari pemerintah. Tidak dibantu karena berdasarkan keterangan dari BP3TKI Nunukan, bahwa Bapak Anis Platin bukan TKI. Itu alasan dalam surat keterangan yang dibawa petugas yang mengantar jenazah dari Nunukan. Kita hanya soal kemanusiaan dan keadilan, karena bapak juga warga negara Indonesia, paspornya ada, bapak kan TKI,” kata Hilarius Platin.

Dalam perkembangan lain, kecelakaan kapal pengangkut PMI kembali terjadi 2 Juli 2018 lalu di perairan Johor Bahru, Malaysia. Hingga dihentikannya upaya pencarian korban oleh pemerintah Malaysia pada 6 Juli 2018 lalu, dari 44 penumpang, 11 diantaranya ditemukan dalam keadaan tewas dan 11 lainnya dinyatakan hilang.

Konsulat Jenderal RI (KJRI) Johor Bahru dalam keterangan resmi menyatakan, kapal karam ini berada 6,5 Mil Laut Timur Tanjung Balau, Kota Tinggi, Johor. Kapal diduga membawa WNI yang akan masuk secara ilegal ke Malaysia melalui Tanjung Penawar. Tim Satgas Perlindungan WNI KJRI Johor Bahru telah berkoordinasi dengan aparat setempat untuk memantau penanganan korban.

Berdasarkan catatan KJRI Johor Bahru, sepanjang 2016 terjadi dua peristiwa sejenis dengan korban meninggal 37 orang. Pada 2017, ada tiga kecelakaan perahu dengan korban meninggal 50 orang. Kapal-kapal yang membawa WNI masuk ke Malaysia secara ilegal biasanya melalui jalur tikus dan sering mengalami kecelakaan karena cuaca buruk, kelebihan muatan, dan tidak memiliki standar pengamanan yang memadai .

Direktur Padma Indonesia, Gabriel Goa kepada VOA mengatakan, pemerintah daerah NTT tidak dapat diharapkan mampu berbuat banyak dalam kasus perdagangan manusia. Karena itulah, dia mendesak pemerintah pusat untuk turun tangan langsung mengatasi masalah ini.

“Bareskrim Mabes Polri, KPK, Komnas HAM, DPR, Ombudsman, Kemenaker dan BNP2TKI harus turun langsung untuk menyelidiki dugaan tindak perdagangan manusia. Karena unsurnya banyak, ada korupsi, pelanggaran hukum dan HAM, dan penyelewengan administrasi,” ujar Gabriel Goa.

Dia juga mendesak lembaga di luar pemerintah, terutama gereja, masjid dan LSM bergerak aktif dalam isu ini mengingat kasusnya sudah masuk kategori luar biasa di NTT. Jika tidak, wilayah itu akan terus kedatangan jenazah-jenazah pekerja migran korban perdagangan manusia.

Juru bicara Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Servulus Bobo Riti menyebut, pemulangan jenazah pekerja migran merupakan kewajiban mendasar pemerintah. Meski, ujarnya, dalam kasus tertentu, ada cukup banyak PMI yang meninggal di negara penempatan terpaksa dikuburkan di sana karena tidak adanya dokumen yang mengungkap jelas identitas korban atau tidak adanya keluarga yang bisa dihubungi.

Keluarga, kerabat dan tetangga Anis Platin mengelilingi peti jenazahnya di Desa Bandona, Tanjung Bunga, Flores Timur, Sabtu 7 Juli 2018. (Foto: Keluarga Anis Platin/dok)

“Pada umumnya, merupakan kewajiban negara untuk membiayai semua hal terkait pemulangan jenazah Pekerja Migran Indonesia tanpa melihat apakah legal atau ilegal. Kedua, kalau PMI meninggal di negara penempatan ada klausul yang mengatur bahwa pemulangan jenazah merupakan tanggung jawab dari pihak agen yang menempatkan PMI. Sepanjang dokumen itu semua diproses, pasti akan dipulangkan. Negara akan mengusahakan yang terbaik,” kata Servulus Bobo Riti.

Pemerintah, kata Servulus, terus melakukan upaya menekan penyelundupan manusia ke Malaysia. Tetapi, yang terbaik, menurutnya, adalah menyadarkan para calon pekerja migran untuk menempuh jalur resmi.

Your browser doesn’t support HTML5

Keluarga Sesalkan Pemerintah Tak Bantu Pulangkan Jenazah PMI Korban Kecelakaan Laut

“Kenapa jalur illegal itu tetap ada, disamping karena keterbatasan daya jangkau pengawasan BNP2TKI, juga karena ada mekanisme pasar. Ada demand di negara tujuan lalu ada suplai dari dalam negeri, sehingga muncul pasar gelap. Tetapi dari tahun ke tahun itu berkurang. Sosialisasi prosedural itu paling kongkrit, walaupun memakan waktu,” tambah Servulus.

BNP2TKI juga mengatakan, pemerintah, dalam hal ini Polisi Perairan dan Angkatan Laut, telah sering melakukan penangkapan kapal yang beroperasi di jalur gelap. [ns/ab]