Dua perahu cepat bertabrakan di perairan Pulau Sebatik, Kalimantan Utara, Jumat malam, 29 Juni 2018 lalu. Tiga belas penumpang selamat, lima dinyatakan tewas, empat di antara mereka dipastikan pekerja migran asal Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Kecelakaan itu melibatkan perahu asal Indonesia dan Filipina, di sebuah kawasan yang disebut sebagai jalur samping, jalur tak resmi penyeberangan ke Malaysia. Kecelakaan ini bukan hanya persoalan transportasi, tetapi menggambarkan betapa memprihatinkannya pergadangan manusia.
Kapal itu bertabrakan karena keduanya tidak menyalakan lampu. Karena mengangkut pekerja ilegal, operator kapal itu berusaha sedemikian rupa agar kapalnya tidak terdeteksi petugas patroli. Akibatnya, kedua perahu saling tidak melihat, dan bertabrakan di tengah laut.
Sebatik adalah salah satu pintu gerbang utama penyelundupan pekerja ilegal dari Indonesia ke Tawau, Sabah, Malaysia. Menurut data LSM Padma Indonesia, yang gencar menekan praktik ini di NTT, sudah ada jalur tradisional perdagangan manusia yang terbentuk sejak tahun 1950-an.
Kepada VOA, Krisantus M Kwen, Perwakilan Padma Indonesia di Flores Timur menyatakan, jalur ini menarik minat ribuan warga NTT dan menjauhkan mereka dari proses resmi.
“Bagi orang NTT atau Flores khususnya, berangkat ke luar negeri, sudah semacam tradisi, orang menganggap ke Malaysia itu ada jalur khusus yang dipakai. Sehingga hal-hal yang menyangkut prosedur itu diabaikan. Di perbatasan itu, pemain-pemain lama, orang kita juga. Baik orang NTT maupun orang asli sana. Tahun-tahun ini sudah berkurang, tetapi anggapan itu masih ada. Tenggelamnya speed boat ini bukti adanya perjalanan ilegal,” ungkap Kwen.
Yang mengherankan, kata Kwen, pulangnya peti mati yang terus membanjiri NTT tidak menyurutkan minat warga untuk pergi ke Malaysia melalui jalur gelap. Alasannya, proses resmi selain memakan waktu, juga membutuhkan biaya. Kwen mendesak pemerintah menjadikan Balai Latihan Kerja (BLK) di NTT sebagai benteng pencegah perdagangan manusia. Caranya, menurut Kwen, adalah dengan membebaskan biaya pengurusan surat-surat resmi, membekali keterampilan, dan mempermudah proses pengurusan imigrasi ke negara tujuan.
“Pengalaman kita membantu pekerja migran ilegal yang beralih menjadi legal, mereka tenyata punya dokumen pribadi di Nunukan. KTP maupun Kartu Keluarga mereka dari sana. Karena itu, yang harus kita bantu adalah pengurusan dokumen mulai dari desa, kabupaten sampai visa yang asli dari NTT,” tambah Kwen.
Jika tidak, praktik ini akan langgeng karena jaringan pendukung tersedia lengkap. Di Nunukan misalnya, kata Kwen, ada jaringan yang dikelola baik oleh warga NTT maupun penduduk lokal, untuk mengurus Kartu Keluarga (KK) dan KTP setempat. Begitupun di Malaysia, karena aktivitas ilegal itu sudah lama eksis, ada sebagian warga keturunan NTT yang telah menjadi warga negara Malaysia juga menjadi bagian dari jaringan tersebut.
Siwa, Pelaksana Tugas Kepala Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) NTT kepada VOA menyebut, tahun lalu ada 62 pekerja migran yang pulang dalam peti mati. Tahun ini hanya dalam enam bulan, sudah tercatat 49 peti jenazah yang datang. Ada kemungkinan tambahan satu lagi, menggenapinya menjadi 50 korban, jika satu jenazah terakhir yang masih ada di Nunukan adalah benar pekerja migran asal NTT. Dari angka itu, hanya satu pekerja migran yang berangkat memakai jalur resmi. Sisanya adalah korban sindikat perdagangan manusia.
“Tahun 2017 ada 206 kasus terkait buruh migran, hampir 90 persen korbannya berangkat non prosedural. Tahun 2016 ada 298 kasus, 2015 ada 404 kasus. Tahun ini sudah seratus lebih, termasuk yang meninggal. Ini kasus-kasus ketenagakerjaan maupun nonketenagakerjaan ,seperti soal gaji, putus komunikasi, juga kasus meninggal seperti saat ini,” demikian ujar Siwa. [ns/ab]