Kerajaan Palsu: Delusi Keagungan Hingga Ratu Adil

  • Nurhadi Sucahyo

Bergelar perdana menteri agung, Nasri Banks berorasi di depan anggota Sunda Empire dalam postingan bertanggal 14 Juni 2019. (Foto: Esa Monetary Fund (ESA) Nusantara @esa_emf)

Beberapa pekan terakhir, Indonesia dihebohkan dengan munculnya sejumlah kerajaan palsu. Fenomena ini berulang, dan selalu ada tokoh baru serta masyarakat yang tertipu. Mengapa bisa terjadi?

Munculnya kerajaan baru, komunitas tertentu, disertai tokoh utama yang dinilai punya kelebihan khusus, bukan hal yang baru di Indonesia. Sejarah membuktikan, bahkan sejak penjajahan Belanda, tokoh semacam ini datang silih berganti.

Pada tahun 1997, Arief Kusno Saputro, seorang pria di Malang mengaku dirinya sebagai titisan Soekarno sang proklamator. Lengkap dengan penampilan yang dimirip-miripkan.Pendukungnya bahkan membentuk Brigade X Pengawal Revolusi. Dia kemudian dipenjarakan oleh pemerintah Orde Baru dan bebas pada 1999.

Beberapa tahun kemudian, dia diketahui hidup bersama ratusan pengikut di lereng Gunung Merapi, Magelang, Jawa Tengah. Sekitar tahun 2005, pria yang sama pindah ke Yogyakarta, dan kerap mengadakan parade di jalan-jalan kota bersama sekitar seribu pendukungnya dengan seragam mirip militer. Pendukungnya punya keyakinan yang sama, bahwa Arief Kusno adalah Soekarno dan memiliki harta melimpah di Bank Swiss.

BACA JUGA: Kasus Dugaan Penipuan dalam Maraknya Klaim Keraton Baru di Indonesia

Munculnya pemimpin kharismatik dan pengikut setia juga terjadi dalam kasus Kerajaan Ubur-Ubur di Banten pada 2008, Satria Piningit Weteng Buwono di Jakarta sekitar 2002-2008, dan Kerajaan Jipang di Blora, Jawa Tengah, 2014 sampai sekarang. Sekitar 4 tahun lalu muncul Dimas Kanjeng di Jawa Timur yang memiliki ribuan pengikut dan dianggap bisa menggandakan uang. Lalu, muncul Kerajaan Agung Sejagat di Purworejo dan Sunda Empire di Bandung, yang menjadi heboh hingga saat ini.

Semua kisah itu memiliki benang merah, di mana seseorang yang dijadikan pemimpin dianggap memiliki berbagai kelebihan. Di sisi lain,para pengikutnya yang setia menganggap orang itu bisa membawa mereka keluar dari berbagai persoalan hidup.

Delusi Keagungan dan Mimpi Jabatan

Koentjoro, guru besar dan psikolog di Universitas Gadjah Mada, menilai kelompok-kelompok semacam ini ada karena delusi keagungan ataugrandiose delusion. Pemimpin atau rajanya, kata Koentjoro, tidak bisa membedakan antara yang nyata dan tidak. Impian nampak seperti kenyataan.

“Ketika dia bersemangat dalam satu kumpulan massa, dan mengemukakan cerita-ceritanya dengan simbol-simbol tertentu, itu menjadi semacam hipnose. Itulah kekuatan psikologi massa. Sehingga orang dengan mudah percaya, dengan apa yang dia kemukakan,” kata Koentjoro.

Simbol selalu menjadi unsur penting dalam fenomena ini. Tidak mengherankan, dalam setiap kasus selalu ada pataka, bendera, mahkota, tongkat atau tombak, dan tentu saja seragam atau pakaian kebesaran khusus. Ada pula istana atau bangunan sejenis yang dipakai untuk berkumpul dan ritual atau acara-acara tertentu.Simbol semacam itu, kata Koentjoro, turut mendorong masyarakat untuk percaya.

BACA JUGA: Kerajaan “Sunda Empire” Mulai Didalami Polda Jabar

Koentjoro menyebut, setidaknya ada 3 faktor yang menjadi penyebab seseorang rela bergabung menjadi pengikut di kelompok atau kerajaan tidak jelas ini.

Post-power syndrome, banyak di antara mereka orang-orang tua yang barangkali dulu punya jabatan-jabatan tertentu yang tidak terlalu tinggi dan ketika pensiun, di rumah sudah tidak ada siapa-siapa yang bisa diperintah. Kedua, ini memprihatinkan, barangkali KBKS, kurang belaian kasih sayang. Bapak-bapak kita itu kurang perhatian dari anaknya, sehingga mereka mencari keluar,” kata Koentjoro.

Penyebab ketiga, lanjutnya, terkait dengan faktor simbol tadi. Simbol seperti seragam dan tanda pangkat yang ditiru dari masa kerajaan, membawa angan-angan pada jabatan semacam pegawai negeri. Posisi sebagai pejabat ini dirindukan banyak orang. Ketika muncul kerajaan baru yang menawarkan posisi tertentu, mereka terdorong untuk menerima karena menginginkan jabatan itu yang mungkin tidak dimiliki di dunia nyata.

Tidak mengherankan, kata Koentjoro, para pengikut biasanya mau membayar untuk bisa bergabung di dalamnya. Dalam komunitas semacam ini, bertemu dua kepentingan. Satu pihak, seorang raja atau pemimpin yang menderita delusi keagungan, dan di pihak lain para pengikut yang merindukan jabatan penting.

Mimpi Abadi Ratu Adil

Dalam berbagai versi, kemunculan tokoh dan pengikut setianya di Indonesia, khususnya Jawa, sebenarnya telah terjadi selama ratusan tahun dan terus berulang. Budayawan muda Irfan Afifi menyebut ini bagian dari gejala Milenarianisme, apa pula yang menyebut Mahdiisme.

Milenarianisme adalah keyakinan kelompok atau gerakan keagamaan, sosial, atau politik tentang transformasi besar masyarakat. Perubahan itu bisa ke arah positif, bisa negatif, bisa juga tidak jelas. Dalam prosesnya, pemimpin selalu memaparkan bahwa dekadensi moral sudah terjadi, kiamat sudah dekat, sistem yang sekarang akan berakhir dan sejenisnya. Solusinya, dibutuhkan kehadiran pemimpin kuat, atau golongan yang peduli. Isu inilah yang mengikat pengikut kelompok sehingga menjadi sangat setia pada pimpinan maupun organisasinya.

Budayawan dan penulis buku, Irfan Afifi. (foto: dok. pribadi)

“Dalam struktur hirarkis masyarakat Jawa, memang konsepsi Ratu Adil itu mengemuka gara-gara perubahan sejarah itu harus dimulai dari sumbunya, atau pakunya. Masyarakat Jawa, karena masyarakatnya hierarkis, itu selalu yang harus memulai perubahan adalah yang paling atas. Entah raja, entah sosok yang dirajakan, entah sosok lain yang dianggap linuwih,” ujar Irfan yang juga penulis buku Saya, Jawa dan Islam.

Mimpi datangnya Ratu Adil, atau konsep lain sejenis, hidup selama ratusan tahun karena masyarakat selalu menghadapi kondisi yang tidak ideal. Di masa penjajahan, kepercayaan ini kuat karena meyakini Ratu Adil akan datang membebaskan bangsa. Setelah merdeka, sosok Ratu Adil didambakan karena selalu ada keinginan hidup di negara yang adil, makmur, dan ideal.

Ketika seorang tokoh hadir, lalu memaparkan masa lalu yang indah dan menjanjikan masa depan lebih baik, sebagian masyarakat percaya. Menurut Irfan, kondisi ini adalah bagian dari upaya pencarian identitas diri masyarakat.

“Bangsa ini kira-kira tidak mengenal dirinya sendiri. Orang gamang di tengah transisi terus-menerus, sehingga muncul solusi-solusi ekstrem. Kemunculan kerajaan-kerajaan tadi, adalah glorifikasi akan masa lalu. Banyak sekali yang percaya, karena memang ada kecenderungan kerinduan ke masa-masa itu,” tambah Irfan.

Jika terus berulang, Irfan mengingatkan bahwa fenomena semacam itu adalah alarm bagi bangsa ini. Masyarakat harus didorong untuk mengenal identitas dirinya, dan mengenali akar budaya sendiri.

“Pada saat bersamaan, akar budaya kita itu membantu untuk memproyeksi ke masa depan, bukan untuk dibangkitkan kembali secara harafiah,” tandasnya.

Antropologis-Sosiologis, Bukan Sejarah

Sejarawan dari Fakultas Ilmu Budaya UGM, Agus Suwignya kepada VOA menyebut, fenomena kerajaan palsu tidak selalu terkait dengan urusan sejarah. Diskusi di kalangan sejarawan cenderung sepakat memasukkan itu bersifat antropologis-sosiologis. Di luar soal penipuan yang terjadi, kelompok itu sebenarnya melakukan kegiatan budaya.

Agus Suwignyo, Sejarawan dari FIB UGM (foto: dok pribadi).

Kelompok semacam ini biasanya mencari legitimasi dengan narasi sejarah. Namun diakui oleh Agus itu terjadi pada siapapun, bahkan dilakukan juga oleh Indonesia sebagai republik. Untuk membangun persatuan, para pendiri bangsa mencari akar republik ini hingga ke masa Sriwijaya dan Majapahit.

“Artinya upaya menggali dan mencari titik masa lalu, itu sebenarnya bukan unik dari kelompok-kelompok itu. Konstruksi dasar Indonesia adalah mencari legitimasi di masa lalu. Mengapa harus mencari jauh-jauh ke abad ke-7 atau 8, sementara Indonesia merdeka baru 1945. Itu kan sebenarnya praktik umum dan tidak hanya di Indonesia, hampir semua kesatuan negara bangsa dibangun dengan mencari legitimasi di masa lalu,” ujar Agus.

Proses pencarian legitimasi ke masa lalu, juga tidak hanya dilakukan para pemimpin atau raja palsu. Para politisi Indonesia masa kini termasuk rajin melakukannya dengan menarik garis keturunan. Ada yang mengaku sebagai anak keturunan Amangkurat atau Diponegoro. Bahkan ada pula pencarian legitimasi magis, menurut Agus, Presiden Soekarno dan Soeharto termasuk cukup dikenal dengan kisah mengenai upaya mereka menemukan wangsit dalam memimpin bangsa.

Dipaparkan lebih jauh oleh Agus, ada dua macam sejarah, yaitu sejarah di ruang kelas dan sejarah di toko buku atau internet. Di ruang kelas, sejarah diuraikan menurut Sejarah Nasional Indonesia (SNI) atau Indonesia Dalam Arus Sejarah. Keduanya dianggap sebagai induk narasi resmi sejarah yang disusun negara. Namun di luar itu, penulisan sejarah juga berkembang. Toko buku maupun tulisan di internet menyajikan sejarah yang kadang berbeda dengan versi resmi dari negara.

“Di toko buku belum lama ini saya menemukan versi baru dari Serat Centhini. Jadi, pluralisasi narasi ini sudah terjadi, dalam bentuk narasi teks, aktivitas, pencarian legitimasi, buku-buku dan yang lain,” papar Agus.

Your browser doesn’t support HTML5

Kerajaan Palsu: Delusi Keagungan Hingga Ratu Adil


Kelompok-kelompok yang kini muncul, sebenarnya adalah pertemuan dari mereka yang ingin merasa nyaman dengan sejarah dalam kesamaan trah sosial atau asal-usul. Upaya mereka mencari legitimasi sejarah harus diberi tempat, meski substansinya perlu direspons, misalnya Sunda Empire yang berbagai klaimnya sangat bertentangan dengan sejarah yang ada.

“Lha, sebelumnya sudah ada juga buku Borobudur Peninggalan Nabi Sulaiman, yang juga ngawur dari segi fakta sejarah. Jika cakupan target klaim itu kelompok masing-masing, menurut saya biarkan saja. Tetapi perlu juga respons untuk mengajak masyarakat mencari sejarahnya sendiri dengan metode dan fakta sejarah yang sesuai. Ini tantangannya,” lanjut Agus.

Agus mengingatkan, semua orang pada dasarnya ingin menulis sejarahnya sendiri-sendiri. Pada satu sisi , yang terjadi adalah perebutan tempat dalam sejarah resmi nasional. Sedangkan di sisi yang lain, sejarah nasional Indonesia telah disusun dengan perspektif yang berpusat pada negara. Barangkali, kata Agus, sejarah harus didekati ulang dengan memberi tempat lebih kepada prosesnation building dan interaksi antarwarga.

“Tetapi kita lebih sepakat kalau terkait keraton dan Sunda Empire ini adalah peristiwa antropologis-sosiologis, bukan soal terkait sejarah,” pungkasnya. (ns/uh)