Nevada, yang berpenduduk 3,1 juta jiwa, barangkali paling dikenal karena salah satu kota-nya adalah Las Vegas, atau Sin City.
Pakar demokrasi dan kewiraan di Arizona State University, Prof. Thom Reily mengatakan, “Nevada sedikit paradoks. Maksud saya, dalam beberapa hal Nevada mungkin dipandang sebagai negara bagian liberal karena merupakan negara bagian pertama yang benar-benar mendorong no-fault divorce atau perceraian yang tidak mengharuskan salah satu pasangan membuktikan bahwa pasangannya bersalah atas keretakan pernikahan mereka. Beberapa daerah di negara bagian ini memiliki perjudian dan mengizinkan prostitusi, namun ada juga arus bawah yang dalam beberapa hal sangat konservatif.”
Dari akhir tahun 1960-an hingga awal tahun 2000-an, Nevada secara konsisten memilih Partai Republik. Namun kemudian negara bagian ini secara teratur berpindah-pindah di antara dua partai politik.
Jumlah penduduk Nevada telah bertambah lebih dari tiga kali lipat sejak tahun 1980. Banyak pendatang baru yang berasal dari California, yang umumnya liberal.
Pakar ilmu politik di University of Nevada, Prof. Ken Miller mengatakan, “Apa yang terjadi adalah 72% pemilih di negara bagian Nevada, tinggal di Clark County. Jadi, apa yang telah terjadi di Nevada adalah apa yang dulunya merupakan negara bagian Mountain West yang pedesaan, dan kini telah menjadi negara bagian Pantai Barat yang perkotaan.
BACA JUGA: Semakin Banyak Perempuan Muda Anggap Hak Aborsi Isu Utama Pemilu Amerika SerikatDavid Cardenas, salah seorang mahasiswa di Nevada, mencermati perpecahan politik di negara bagian itu. “Ada Las Vegas, dan kemudian ada seluruh bagian Nevada. Sepengetahuan saya, Vegas cenderung lebih ke sisi Partai Demokrat, sementara wilayah Nevada lainnya lebih ke Partai Republik. Tetapi sebagian besar penduduk Nevada tinggal di Las Vegas.”
Alih-alih terjadi ledakan jumlah penduduk, Nevada tetap memiliki kelas pekerja yang tinggi, dengan banyak penduduknya yang melakukan pekerjaan kasar.
Kembali Prof. Ken Miller. “Jadi hal-hal seperti upah, tingkat pengangguran, keterjangkauan harga rumah, dan inflasi secara umum – hal-hal seperti bahan bakar dll – semuanya lebih mempengaruhi orang-orang di Nevada daripada di negara bagian lain,” imbuhnya.
Para mahasiswa di University of Nevada di Las Vegas menguraikan isu-isu utama mereka. Sebagian di antara mereka akan memberikan suara untuk pertama kalinya setelah mereka mencapai usia 18 tahun.
Seperti Samantha Adame. “Tentu saja isu-isu seperti aborsi, ekonomi, apa lagi yaa… Hmmm...."
David menambahkan, “Kondisi perekonomian. Dan mungkin soal perbatasan.”
Dan Charles Davis. “Saya mahasiswa yang kurang mampu. Saya hanya ingin bisa membeli makanan yang lebih terjangkau. Saya ingin memiliki pekerjaan yang gajinya cukup untuk memenuhi semua kebutuhan saya.”
Ketika mereka memberikan suara dalam pemilihan umum tanggal 5 November nanti, warga Nevada juga akan sekaligus memberikan suara soal apakah mereka akan mencantumkan hak untuk melakukan aborsi dalam konstitusi negara bagian itu.
Direktur Women’s Research Institute of Nevada, Rebecca Gill, mengatakan, “Isu ini secara keseluruhan telah terbukti menjadi pendorong besar, motivator besar, (yang menarik) jumlah pemilih pada pemilu-pemilu sebelumnya. Dan saya rasa pemilu kali ini tidak akan berbeda.”
Namun Prof. Ken Miller mengatakan seharusnya tidak satu orang pun meremehkan potensi mantan Presiden Donald Trump untuk memenangkan Nevada.
“Saya pikir Trump dianggap sebagai kandidat yang tidak mungkin memenangkan Nevada hanya karena dia belum pernah memenangkan negara bagian ini dalam dua pilpres terakhir. Saya tidak akan mengabaikan pentingnya masalah ekonomi sebagai faktor yang mendorong keputusan para pemilih di negara bagian ini (untuk memilih Trump).”
Peran penting Nevada sebagai “battleground state” bagi kedua calon presiden – Donald Trump dan Kamala Harris – adalah alasan mengapa keduanya menghabiskan waktu di Nevada. Karena pada akhirnya, apa yang terjadi di Las Vegas dapat menentukan siapa yang akan memimpin Amerika selama empat tahun ke depan. [em/ab]