Aktivis mendorong investigasi mendalam atas faktor-faktor penyebab kerusuhan, bukannya langkah-langkah yang menindas, kejam dan merusak harga diri pekerja migran.
SINGAPURA —
Sebuah kerusuhan yang dibuat oleh para pekerja Asia Selatan memaksa Singapura mengkaji kembali bagaimana cara menghadapi kehadiran hampir satu juta pekerja asing berupah rendah di negara kota yang makmur tersebut.
Sekitar 400 pekerja mengamuk pada 8 Desember di sebuah daerah yang dikenal dengan Little India, melukai 39 orang, termasuk polisi, dan menghancurkan 25 kendaraan.
Kerusuhan tersebut, pertama kalinya dalam lebih dari 40 tahun di negara tersebut, meledak setelah seorang pria India tewas akibat sebuah bus di daerah itu, tempat puluhan ribu pekerja berkumpul pada akhir pekan.
Perdana Menteri Lee Hsien Loong telah memerintahkan penyelidikan atas penyebab kekerasan tersebut, termasuk kajian langkah-langkah untuk mengelola daerah-daerah tempat pekerja asing berkumpul.
Polisi telah memeriksa hampur 4.000 pekerja dan menjatuhkan tuduhan terhadap sedikitnya 33 warga negara India dalam kasus tersebut.
“Kita memerlukan pekerja asing,” ujar Lee pekan lalu, mengacu pada kritikan dari beberapa warga Singapura yang melihat mereka sebagai masalah.
“Jika tidak ada mereka, kita tidak dapat mewujudkan rencana-rencana perumahan atau transportasi publik, dan penduduk Singapura akan sangat terimbas.”
Singapura memiliki populasi 5,4 juta, namun hanya 3,84 juta yang merupakan warga negara dan penduduk tempat.
Dari populasi warga asing sebanyak 1,55 juta, sekitar 700.000 adalah pemegang izin kerja yang bekerja dalam bidang konstruksi atau sektor lain yang tidak diinginkan oleh warga Singapura, dengan lebih dari 200.000 lainnya bekerja sebagai pembantu rumah tangga.
Data resmi terakhir yang tersedia menunjukkan bahwa warga asing dan perusahaan asing berkontribusi total 44 persen pada pertumbuhan domestik bruto (PDB) Singapura yang mencapai S$334,1 miliar (US$266 miliar) pada 2011. PDB tersebut mencapai S$345,6 miliar pada 2012.
Eugene Tan, asisten profesor hukum di Singapore Management University, mengatakan bahwa “ada tantangan yang lebih besar sekarang ini untuk mempertahankan tenaga kerja asing yang besar.”
Tan, yang juga anggota parlemen mengatakan: “Ada harapan publik untuk mengurangi jumlah tenaga kerja asing.”
Partai yang lama berkuasa, Partai Aksi Masyarakat (PAP) telah menghadapi tekanan publik yang intens mengenai gelombang pekerja asing pada tahun-tahun terakhir.
Pada pemilihan umum Mei 2011, PAP menghadapi hasil terburuk setelah kehadiran pekerja asing menjadi isu hangat.
Pemerintah sejak itu sedikit-demi sedikit melakukan berbagai langkah untuk menjaga arus pekerja asing.
Pihak berwajib sejauh ini menyebut kerusuhan tersebut, yang pertama di Singapura sejak konflik ras pada 1969, sebuah insiden terisolasi yang melibatkan kelompok orang mabuk di Little India. Polisi sementara ini melarang penjualan dan konsumsi alkohol di wilayah yang menghadapi kerusuhan.
Shelley Thio, aktivis dari kelompok bantuan Pekerja Sementara Juga Berharta (TWC2), mengatakan ide bahwa alkohol adalah sebab utama kekerasan merupakan “reaksi kagetan.”
“Ada ekspatriat dari berbagai etnisitas yang mabuk di pub-pub dan bar di kota ini pada akhir pekan, tapi tidak ada yang membuat kerusuhan di jalan,” ujarnya.
“Jawaban dari kerusuhan itu seharusnya bukan yang melibatkan langkah-langkah yang menindas dan kejam yang kemudian merusak harga diri para pekerja migran, namun melalui investigasi faktor-faktor yang lebih dalam dan tak terlihat kasat mata,” tambahnya.
Menurut TWC2, para pekerja migran di Singapura menghadapi bermacam masalah, termasuk perlakuan tak baik dari majikan dan kondisi tempat tinggal yang buruk.
Kerusuhan di Little India terjadi setahun setelah pemogokan supir bis China yang menuntut upah lebih tinggi dari perusahaan transportasi negara, sebuah pemogokan industri pertama di negara pulau itu sejak 1986.
Asrama yang dipenuhi kutu merupakan salah satu kekesalan mereka. Sebagian besar asrama pekerja terletak jauh dari daerah perumahan, mempertajam pemisahan pekerja dari masyarakat umum.
Upah rata-rata pekerja bangunan adalah S$900 (Rp 8,7 juta) per bulan, menurut data resmi, namun banyak dari mereka berhutang banyak pada agen di negara asal dan mitra Singapura mereka.
Singapura sendiri memiliki pendapatan per kapita S$65.048, membuatnya salah satu populasi terkaya di dunia.
Meski banyak kesulitan, para pekerja mengatakan mereka menganggap Singapura salah satu tempat bekerja terbaik.
“Tidak mudah bekerja di Singapura, tapi paling tidak kita mendapat uang lebih dibandingkan di Malaysia atau Dubai,” ujar pekerja konstruksi Chinnaiyah Maarimuthu asal India.
“Saya harap warga Singapura tidak mendiskriminasi para pekerja hanya karena insiden ini. Kami semua di sini mencari uang untuk membuat keluarga kami hidup lebih baik,” ujarnya. (AFP/ Bhavan Jaipragas)
Sekitar 400 pekerja mengamuk pada 8 Desember di sebuah daerah yang dikenal dengan Little India, melukai 39 orang, termasuk polisi, dan menghancurkan 25 kendaraan.
Kerusuhan tersebut, pertama kalinya dalam lebih dari 40 tahun di negara tersebut, meledak setelah seorang pria India tewas akibat sebuah bus di daerah itu, tempat puluhan ribu pekerja berkumpul pada akhir pekan.
Perdana Menteri Lee Hsien Loong telah memerintahkan penyelidikan atas penyebab kekerasan tersebut, termasuk kajian langkah-langkah untuk mengelola daerah-daerah tempat pekerja asing berkumpul.
Polisi telah memeriksa hampur 4.000 pekerja dan menjatuhkan tuduhan terhadap sedikitnya 33 warga negara India dalam kasus tersebut.
“Kita memerlukan pekerja asing,” ujar Lee pekan lalu, mengacu pada kritikan dari beberapa warga Singapura yang melihat mereka sebagai masalah.
“Jika tidak ada mereka, kita tidak dapat mewujudkan rencana-rencana perumahan atau transportasi publik, dan penduduk Singapura akan sangat terimbas.”
Singapura memiliki populasi 5,4 juta, namun hanya 3,84 juta yang merupakan warga negara dan penduduk tempat.
Dari populasi warga asing sebanyak 1,55 juta, sekitar 700.000 adalah pemegang izin kerja yang bekerja dalam bidang konstruksi atau sektor lain yang tidak diinginkan oleh warga Singapura, dengan lebih dari 200.000 lainnya bekerja sebagai pembantu rumah tangga.
Data resmi terakhir yang tersedia menunjukkan bahwa warga asing dan perusahaan asing berkontribusi total 44 persen pada pertumbuhan domestik bruto (PDB) Singapura yang mencapai S$334,1 miliar (US$266 miliar) pada 2011. PDB tersebut mencapai S$345,6 miliar pada 2012.
Eugene Tan, asisten profesor hukum di Singapore Management University, mengatakan bahwa “ada tantangan yang lebih besar sekarang ini untuk mempertahankan tenaga kerja asing yang besar.”
Tan, yang juga anggota parlemen mengatakan: “Ada harapan publik untuk mengurangi jumlah tenaga kerja asing.”
Partai yang lama berkuasa, Partai Aksi Masyarakat (PAP) telah menghadapi tekanan publik yang intens mengenai gelombang pekerja asing pada tahun-tahun terakhir.
Pada pemilihan umum Mei 2011, PAP menghadapi hasil terburuk setelah kehadiran pekerja asing menjadi isu hangat.
Pemerintah sejak itu sedikit-demi sedikit melakukan berbagai langkah untuk menjaga arus pekerja asing.
Pihak berwajib sejauh ini menyebut kerusuhan tersebut, yang pertama di Singapura sejak konflik ras pada 1969, sebuah insiden terisolasi yang melibatkan kelompok orang mabuk di Little India. Polisi sementara ini melarang penjualan dan konsumsi alkohol di wilayah yang menghadapi kerusuhan.
Shelley Thio, aktivis dari kelompok bantuan Pekerja Sementara Juga Berharta (TWC2), mengatakan ide bahwa alkohol adalah sebab utama kekerasan merupakan “reaksi kagetan.”
“Ada ekspatriat dari berbagai etnisitas yang mabuk di pub-pub dan bar di kota ini pada akhir pekan, tapi tidak ada yang membuat kerusuhan di jalan,” ujarnya.
“Jawaban dari kerusuhan itu seharusnya bukan yang melibatkan langkah-langkah yang menindas dan kejam yang kemudian merusak harga diri para pekerja migran, namun melalui investigasi faktor-faktor yang lebih dalam dan tak terlihat kasat mata,” tambahnya.
Menurut TWC2, para pekerja migran di Singapura menghadapi bermacam masalah, termasuk perlakuan tak baik dari majikan dan kondisi tempat tinggal yang buruk.
Kerusuhan di Little India terjadi setahun setelah pemogokan supir bis China yang menuntut upah lebih tinggi dari perusahaan transportasi negara, sebuah pemogokan industri pertama di negara pulau itu sejak 1986.
Asrama yang dipenuhi kutu merupakan salah satu kekesalan mereka. Sebagian besar asrama pekerja terletak jauh dari daerah perumahan, mempertajam pemisahan pekerja dari masyarakat umum.
Upah rata-rata pekerja bangunan adalah S$900 (Rp 8,7 juta) per bulan, menurut data resmi, namun banyak dari mereka berhutang banyak pada agen di negara asal dan mitra Singapura mereka.
Singapura sendiri memiliki pendapatan per kapita S$65.048, membuatnya salah satu populasi terkaya di dunia.
Meski banyak kesulitan, para pekerja mengatakan mereka menganggap Singapura salah satu tempat bekerja terbaik.
“Tidak mudah bekerja di Singapura, tapi paling tidak kita mendapat uang lebih dibandingkan di Malaysia atau Dubai,” ujar pekerja konstruksi Chinnaiyah Maarimuthu asal India.
“Saya harap warga Singapura tidak mendiskriminasi para pekerja hanya karena insiden ini. Kami semua di sini mencari uang untuk membuat keluarga kami hidup lebih baik,” ujarnya. (AFP/ Bhavan Jaipragas)