Kesetaraan dan Pemberdayaan Perempuan Jadi Isu Utama Selama RI Jadi Presidensi G20

  • Fathiyah Wardah

Perempuan duduk di depan manekin di pasar tekstil yang tutup akibat pandemi virus corona, di Jakarta, 30 April 2020. (Foto: AP)

Indonesia akan mulai menjabat sebagai Presidensi G20 pada 1 Desember 2021 sampai akhir 2022. Salah satu isu yang akan diangkat dan dipromosikan Indonesia selama menjabat Presidensi G20 adalah soal kesetaraan dan pemberdayaan perempuan.

Penasehat Khusus Menteri Luar Negeri untuk Isu-isu Prioritas di G20, Dian Triansyah Djani menjelaskan kesetaraan dan pemberdayaan perempuan adalah salah satu isu utama yang akan diangkat Indonesia saat menjabat Presidensi G20. Selama menjabat Presiden G20, Indonesia akan melangsungkan tiga pertemuan terkait perempuan, salah satu d iantaranya Women 20.

"Isu kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan di tingkat global adalah isu yang perlu terus kita perjuangkan. W20 berperan penting dalam memastikan perttimbangan dan perspektif gender diarusutamakan di berbagai diskusi di dalam G20," kata Triansyah Djani.

Wakil Tetap Republik Indonesia untuk PBB, Duta Besar Dian Triansyah Djani, dalam pertemuan khusus Dewan Keamanan PBB, Selasa, 11 Februari 2020, menegaskan kembali dukungan Indonesia pada Palestina. (Foto: PTRI)

Menurut Triansyah Djani, ada banyak isu perempuan yang bisa dibahas selama Presidensi Indonesia di G20 seperti sektor tenaga kerja, pandemi COVID-19 dan sebagainya. Ditambahkannya, pemerintah Indonesia ingin agar isu-isu yang dibahas di G20 akan dapat dirasakan oleh sebanyak mungkin masyarakat di seluruh dunia.

Ketua Women20 Hadriani Ulitiur Ida Silalahi menjelaskan kekerasan berbasis gender dan diskriminasi terhadap perempuan masih berlangsung sampai saat ini, di mana satu dari tiga perempuan di dunia mengalami kekerasan berbasis gender. Forum Ekonomi Dunia bahkan mencatat sekitar 33 ribu anak perempuan menikah dini setiap harinya.

Seorang aktivis memegang lilin dan meneriakkan slogan-slogan saat berjaga untuk seorang gadis remaja yang diperkosa dan dibunuh oleh 14 pria di Bengkulu, di luar istana presiden di Jakarta. (Foto: AP)

Mengutip data dari Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan, Hadriani mengatakan tahun lalu hampir 300 ribu laporan kasus kekerasan terhadap perempuan. Banyak korban yang tidak melapor atau tidak memiliki akses untuk melapor.

"Dengan data-data berikut ini, benar terlihat betapa pentingnya upaya penghapusan diskriminasi demi mencapai kesetaraan perempuan. Keadaan yang setara bagi perempuan dapat mempromosikan pemberdayaan perempuan. Perempuan yang berdaya dapat berkontribusi secara maksimal kepada masyarakat luas baik dengan pndidikannya dan kemampuannya," kata Hadriani.

BACA JUGA: Meski Ada Tantangan, Isu Feminisme Meluas dalam Kesusastraan Indonesia

Hadriani menggarisbawahi pentingnya mencapai pemberdayaan dan otonomi perempuan serta peningkatan status politik, ekonomi, sosial dan kesehatan untuk mencapai pembangunan berkelanjutan.

Menurut Deputi Bidang Kesetaraan Gender Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Lenny N. Rosalin, pembangunan kesetaraan gender sudah masuk dalam UU No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025.

Your browser doesn’t support HTML5

Kesetaraan dan Pemberdayaan Perempuan Jadi Isu Utama Selama RI Jadi Presidensi G20

Lenny menambahkan meski 35,07 persen dari 270,2 juta penduduk Indonesia merupakan perempuan berusia produktif tetapi tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada Agustus 2020 memperlihatkan tingkat partisipasi angkatan kerja laki-laki sebanyak 82,41 persen, sedangkan perempuan 53,13 persen.

Lenny menjelaskan sebagian besar usaha yang dilakukan perempuan merupakan usaha berskala kecil dan berbasis rumahan. Perempuan mengalami banyak kesulitan dalam mempertahakan dan mengembangkan usahanya dibanding laki-laki, di antaranya karena norma gender yang tidak setara, tingginya beban pengasuhan anak mesti dilakukan perempuan serta rendahnya akses terhadap aset produktif.

Seorang buruh membawa barang di atas kepalanya di sebuah pasar di Surabaya pada Hari Perempuan Internasional, 8 Maret 2021. (Foto: AFP/Juni Kriswanto)

Di samping itu, lanjut Lenny, perempuan kurang mendapat kesempatan untuk mengembangkan keterampilan, terbatasnya akses terhadap finansial, kurangnya mentor dan jaringan serta kebijakan-kebijakan yang tidak ramah gender.

"Kenapa perempuan perlu diberdayakan secara ekonomi? Karena agar dia bisa nantinya memberikan banyak pengaruh, setidaknya dalam pola pengasuhan anak menjadi lebih baik. Dengan penghasilan dia peroleh, dia akan menyekolahkan anaknya lebih tinggi, dia akan memberikan makanan anaknya lebih sehat. Jadi ini masuk dalam skema pengasuhannya," tutur Lenny.

Berdasarkan data dari kementeriannya, menurut Lenny, selama Januari hingga Desember 2020, terjadi 8.686 kasus kekerasan terhadap perempuan dengan jumlah korban 8.763 perempuan. Dari jumlah kasus tersebut, 61 persen adalah kasus kekerasan dalam rumah tangga.

BACA JUGA: Jokowi Ingin Pamerkan Keberhasilan Pengendalian Pandemi di Ajang KTT G20

Jenis kekerasan paling banyak dialami perempuan adalah kekerasan fisik, psikis, penelantaran dan kekerasan seksual.

Sedangkan jumlah kasus dan korban kekerasan terhadap anak jauh lebih besar. Sepanjang tahun lalu, terdapat 11.278 kasus dengan 12.425 korban terdiri dari 3.608 anak laki-laki dan 8.817 anak perempuan. Jenis kekerasan paling banyak dialami adalah kekerasan seksual, fisik dan psikis. [fw/em]