Ketegangan dan Pujian atas Kebijakan Luar Negeri AS di Timur Tengah Sepanjang 2020

  • Associated Press

Dari kiri: Menlu Bahrain Abdullatif Al Zayani, PM Israel Benjamin Netanyahu, Presiden AS Donald Trump dan Menlu UEA Abdullah bin Zayed saat penandatangan perjanjian yang disebut "Abraham Accords" di Gedung Putih (15/9) menandai normalisasi hubungan Israel dengan Bahrain dan UEA.

Ketegangan memuncak di Timur Tengah pada awal 2020 dengan pembunuhan pemimpin pasukan elit Iran Jendral Qassem Soleimani di Irak oleh pesawat nirawak Amerika. Sepanjang tahun ini ketegangan memuncak di berbagai bagian kawasan itu karena keputusan yang dibuat dan difasilitasi Amerika. Meskipun tidak dapat dipungkiri adanya pujian karena pembukaan hubungan diplomatik Israel dengan empat negara Arab yang dimediasi Amerika.

Tahun 2020 dibuka dengan serangan pesawat nirawak Amerika di Baghdad yang menewaskan pemimpin pasukan elit Iran Jendral Qassem Soleimani, yang bertanggungjawab atas operasi gerak cepat Iran di Timur Tengah yang lebih luas. Iran membalas dengan serangan rudal balistik ke pangkalan militer Amerika di Irak, serangan paling langsung yang dilakukan Iran terhadap Amerika sejak perebutan kantor Kedutaan Amerika di Teheran tahun 1979.

Ribuan warga Iran menghadiri pemakaman pemimpin pasukan elit Iran, Jenderal Qassem Soleimani, di Teheran (foto: dok).

Amerika dan Iran sepakat untuk mundur dari kemungkinan terjadinya perang, ketika Presiden Donald Trump mengisyaratkan bahwa ia tidak akan melakukan pembalasan militer terhadap serangan rudal Iran itu.

BACA JUGA: Trump Janjikan Tanggapan 1.000 Kali Lebih Keras Jika Iran Menyerang

Trump Pertegas Dukungan AS pada Israel

Pengumuman lain yang disampaikan Trump pada akhir Januari, memicu ketegangan dan demonstrasi yang lebih besar di bagian lain kawasan. Bersama Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, Trump pada 28 Januari mengungkapkan rencana Gedung Putih untuk mengakhiri konflik Israel-Palestina. Rencana Trump itu mendukung posisi Israel di hampir semua isu-isu paling sengit dalam konflik yang sudah berlangsung puluhan tahun itu. Palestina menolak rencana itu dan demonstrasi pun terjadi di seluruh kawasan tersebut.

Mustafa Al Kadhimi Jadi Perdana Menteri Irak

Pada bulan Mei mantan kepala mata-mata Irak Mustafa Al Kadhimi yang didukung Amerika menjadi perdana menteri baru di Irak, menjadikannya pemimpin tertinggi keenam sejak tahun 2003 dan mengakhiri kekosongan kepemimpinan selama lima bulan. Al Kadhimi kerap berada dalam posisi sulit di tengah persaingan Amerika dan Iran.

Mustafa Al Kadhimi menjadi Perdana Menteri Irak sejak 6 Mei 2020 (foto: dok).

AS Berlakukan Sanksi terhadap Suriah & Iran

Pada pertengahan tahun 2020 seluruh mata tertuju ke Suriah di mana Amerika memberlakukan sanksi-sanksi ekonomi dan perjalanan terhadap pejabat-pejabat elit negara yang dikoyak perang itu. Sanksi yang dikenal sebagai “US Caesar Syria Civilian Protection Act” itu merupakan serangkaian langkah terberat yang diberlakukan terhadap Suriah hingga saat itu. Sanksi itu secara efektif mencegah siapa pun untuk berbisnis dengan pejabat, atau institusi negara, atau ikut serta dalam rekonstruksi di Suriah. Pejabat-pejabat pemerintah Suriah menyebut sanksi itu sebagai “terorisme ekonomi.”

Tak lama kemudian Iran juga menerima sanksi serupa yang membuat nilai tukar mata uang Iran pada bulan Oktober anjlok ke titik terendah yaitu 300 ribu rial per satu dolar Amerika. Sanksi yang melumpuhkan perekonomian Iran ini diberlakukan setelah Amerika pada tahun 2018 mundur dari perjanjian nuklir Iran yang ditandatangani bersama lima negara adidaya lain pada tahun 2015. Panglima Pasukan Garda Revolusioner Iran Jendral Hossein Salami menilai kondisi ekonomi di negaranya seperti sedang dalam situasi perang.

BACA JUGA: Iran: Sanksi-sanksi AS Hambat Akses ke Vaksin Covid-19

“Dari sudut pandang ekonomi, kita harus melihat kondisi sekarang sebagai situasi perang. Dengan ini saya beritahu Anda bahwa kami sudah menutup opsi musuh untuk menyerang kami secara militer dan menyiapkan seluruh kemampuan kami untuk mengatasinya dalam kondisi perang apapun," tandasnya.

AS Mediasi Normalisasi Hubungan Israel & Empat Negara Arab

Isu Israel-Palestina, yang menjadi berita utama pada awal tahun 2020, kembali menjadi berita pada bulan September ketika Israel menandatangani perjanjian diplomatik bersejarah dengan dua negara Arab dalam suatu upacara meriah di Gedung Putih, yang disebut Trump sebagai “fajar baru di Timur Tengah.”

“Visi saya menawarkan peluang yang menguntungkan kedua belah pihak, solusi dua negara yang realistis yang mengatasi masalah ancaman sebuah negara Palestina terhadap keamanan Israel. Hari ini Israel mengambil langkah sangat besar menuju terciptanya perdamaian,” ujar Trump.

Perjanjian bilateral yang meresmikan normalisasi hubungan Israel dengan Uni Emirat Arab dan Bahrain itu sejalan dengan sikap bersama mereka terhadap Iran. Perjanjian itu disebut “Abraham Accords,” mengutip asal usul tiga agama monoteistik utama di dunia.

Pemerintahan Presiden Trump memediasi normalisasi hubungan Israel dan 4 negara Arab, 15 September 2020 (foto: dok).

Palestina menilai perjanjian itu sebagai tikaman dari sesama negara Arab dan pengkhianatan bagi pembentukan negara Palestina. Tetapi beberapa bulan kemudian, satu per satu negara menjalin hubungan diplomatik dengan Israel.

Pada bulan Oktober Trump mengumumkan Sudan akan mulai menormalisasi hubungan dengan Israel; disusul Maroko pada 10 Desember lalu.

Your browser doesn’t support HTML5

Kebijakan Luar Negeri AS di TimTeng Picu Ketegangan & Pujian


AS Berlakukan Sanksi terhadap Pejabat Lebanon

Trump kalah dalam pemilu presiden 3 November. Tetapi pemerintahannya terus membuat keputusan yang menimbulkan dampak pada Timur Tengah. Pada 6 November Departemen Keuangan Amerika memberlakukan sanksi terhadap mantan menteri luar negeri Lebanon dan sekutu politik kelompok militan Hezbollah yang terkemuka, dengan tudingan korupsi. Hal ini mengikuti sanksi-sanksi sebelumnya terhadap dua mantan menteri kabinet Lebanon yang bersekutu dengan kelompok militan tersebut.

Tarik Mundur Pasukan dari Irak & Afghanistan

Di hari-hari terakhirnya Trump berencana menarik pasukan Amerika dari Irak dan Afghanistan. Penarikan itu dijadwalkan selesai lima hari sebelum pelantikan Joe Biden pada 20 Januari.

Juru bicara Komando Operasi Bersama Irak, Mayjen Tahsin Al Khafaji mengatakan, “Kini kita menyaksikan jadwal penarikan mundur pasukan antara kami dan koalisi internasional, dan serah terima pangkalan. Kemarin saya mengumumkan penarikan pasukan koalisi dari beberapa lokasi.”

BACA JUGA: AS, Irak Tegaskan Komitmen Bagi Penarikan Pasukan AS

Beberapa pejabat Irak mengatakan Iran telah memerintahkan sekutu-sekutunya di Timur Tengah untuk waspada dan tidak memprovokasi ketegangan dengan Amerika yang dapat memicu pemerintahan Trump yang akan segera berakhir untuk melancarkan serangan. Permintaan itu mencerminkan peningkatan ketegangan di kawasan terhadap sikap Trump yang tidak dapat diprediksi dan ketidakpastian pada masa transisi hingga Biden berkuasa. [em/jm]