Keterwakilan Perempuan di DPR Stagnan

Suasana sidang Paripurna DPR RI di ruang rapat paripurna Nusantara 2 Gedung MPR/DPR RI Jakarta, 30 Oktober 2015 (Foto: VOA/Andylala).

Kebijakan kuota 30 persen perempuan dalam pencalonan di pemilu belum efektif meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen.

Tingkat keterwakilan perempuan di DPR masih di bawah 30 persen, meskipun kebijakan afirmasi kuota 30 persen perempuan telah diberlakukan sejak pemilu 2004. Perludem(*) mencatat memang ada kenaikan persentase keterpilihan perempuan dari pemilu 2004 hingga pemilu 2019. Namun, jumlah kenaikan tersebut tidak signifikan, yakni dari pemilu 2014 sebesar 17,6 persen menjadi 20,5 persen.

Karena itu, Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini mengusulkan adanya evaluasi kebijakan kuota 30 persen perempuan di pemilu. Semisal dengan menambahkan poin penempatan caleg perempuan di nomor urut 1 pada 30 persen daerah pemilihan. Sebab, hasil pemilu dari 2009 hingga 2019 menunjukkan anggota DPR terpilih berasal dari nomor urut 1.

Ketua Departemen Pemberdayaan Perempuan Partai Golkar Puteri Anetta Komarudin bersama Titi Anggraini dan Edriana Noerdin saat berdiskusi di Jakarta, Selasa, 27 Agustus 2019. (Foto: VOA/Sasmito)

"Ambang batas parlemen itu, juga ikut mempengaruhi bagaimana pola strategi partai yang ternyata juga ikut berpengaruh terhadap caleg-caleg perempuan," jelas Titi Anggraini di Jakarta, Selasa (27/8).

Terkait ambang batas parlemen empat persen, Titi menjelaskan kebijakan tersebut kerap memaksa partai untuk mengambil langkah praktis. Semisal memilih caleg dari orang-orang lokal yang kuat untuk mendulang suara. Pantauan Perludem langkah praktis ini, sebagian besar berdampak pada tergesernya keterpilihan perempuan di DPR.

Senada, Edriana Noerdin, yang maju sebagai caleg dari Gerindra untuk daerah pemilihan Sumbar 1, membenarkan perempuan kerap berada di urutan nomor 3 ke bawah. Itu sama dengan dirinya yang juga berada di nomor urut 3. Bahkan, kata dia, ada beberapa partai politik tidak serius menempatkan caleg perempuan, karena hanya ingin mengugurkan kewajiban kuota 30 persen perempuan.

BACA JUGA: Perempuan dalam Politik: Dinomorduakan dan Kalah Pendanaan

"Kalau memang kita serius memperjuangkan demokrasi, itu harus dimulai dari bagaimana kita melibatkan perempuan dalam kegiatan demokrasi. Kalau perempuan saja tidak dilibatkan, bagaimana kita akan punya sikap politik terhadap minoritas-minoritas lainnya. Karena perempuan secara jumlah tidak minoritas, tapi secara akses minoritas," kata Edriana Noerdin.

Kendati demikian, Edriana yang tidak lolos sebagai anggota DPR ini, juga mengkritik beberapa aktivis perempuan yang kadang terbelah sikapnya dalam memperjuangkan keterwakilan perempuan di parlemen. Menurutnya, perbedaan sikap ini terkadang dipicu oleh pandangan politik dari partai politik masing-masing perempuan.

Ketua Departemen Pemberdayaan Perempuan Partai Golkar, Puteri Anetta Komarudin, juga mengamini masih adanya diskriminasi terhadap perempuan di bidang politik. Itu juga terlihat dari pengalamannya saat maju sebagai caleg dari daerah pemilihan Jawa Barat 7 dengan nomor urut 2. Salah satunya yaitu soal urusan pribadi, yang kerap diperbincangkan ketika perempuan menjadi politikus.

Your browser doesn’t support HTML5

Keterwakilan Perempuan di DPR Stagnan

"Dulu saya kuliah di Australia, ketika perdana menterinya perempuan yang diulik itu kehidupan pribadinya. Dan saya menyadari praktik tersebut masih terjadi di sini. Jadi kalau boleh saya titip ke media, kalau tanya ke perempuan di luar hal pribadinya," tutur Puteri.

Anak dari mantan Ketua DPR Ade Komarudin yang lolos sebagai anggota DPR ini, siap bekerja sama dengan Perludem dan aktivis-aktivis perempuan lainnya, dalam memperjuangkan isu perempuan. Puteri juga berharap nantinya dapat ditempatkan di Komisi XI DPR sehingga dapat menghilangkan praktik rentenir atau bank emok di daerah pemilihannya. [sm/jm]

(*) Perludem = Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi