Pasal 82 RUU Cipta Kerja mengubah Pasal 15 UU Kepolisian dan menambah tiga kewenangan kepada Polri. Kewenangan ini adalah untuk mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat, mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa, dan melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan.
BACA JUGA: Ikuti Anjuran “Beribadah di Rumah,” Keluarga Kristen Justru Didatangi OrangLembaga negara pengawas pelayanan publik Ombudsman menilai pasal-pasal tersebut tidak memiliki definisi yang jelas. Sehingga, menurut Wakil Ketua Ombudsman, Ninik Rahayu, pelaksanaannya berpotensi subjektif.
“Dalam konteks pelayanan publik itu harus ada standarisasi supaya tidak bersifat subjektif. Kemudian potensial mereviktiminasi setiap warga negara yang berhadapan dengan hukum,” tegasnya dalam sebuah diskusi virtual, Minggu (12/7) siang.
Menurut Ninik, harus ada SOP yang jelas dengan perspektif pelayanan publik. Dia menegaskan, pelayanan kepada masyarakat tidak boleh diskriminatif atas dasar apapun.
“Apakah itu terhadap perempuan, anak, maupun kelompok rentan lainnya—karena ini akan potensial sekali—termasuk agama minoritas,” tambahnya.
Berpotensi Merugikan Minoritas
Pasal-pasal yang tidak jelas batasannya dinilai akan merugikan kelompok minoritas seperti Ahmadiyah. Juru Bicara Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) Yendra Budiana mengatakan, frasa ‘penyakit sosial’ sering dituduhkan kepada kelompok minoritas.
“Jadi sering menggunakan pasal-pasal yang dituduhkan sebagai penyakit sosial masyarakat, dianggap aliran menyimpang, kemudian potensi untuk terjadinya konflik, dan kemudian diduga melakukan penodaan agama,” tandas Yendra dalam kesempatan yang sama.
Yendra mengungkap, saat ini JAI tidak bisa menggunakan 15 masjid di berbagai daerah karena ditutup pemerintah setempat. Bahkan sebelum ada penambahan kewenangan polisi ini, sudah ada Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri tentang Ahmadiyah. Di berbagai daerah, SKB ini kerap digunakan untuk melakukan diskriminasi.
"Seringkali itu menjadi dasar atau interpretasi para pihak, terutama di daerah, baik itu pejabat daerah, aparat, maupun ormas untuk melakukan tindakan-tindakan represif, tambahnya.
Dia mengatakan, penambahan kewenangan polisi ini berpotensi melanggengkan diskriminasi terhadap kelompok minoritas.
“Kelompok-kelompok marginal itu selalu menjadi pihak yang dikorbankan atas nama harmoni, atas nama penyelesaian konflik masyarakat,” tegasnya.
BACA JUGA: Kebebasan Beragama dan Toleransi di Indonesia Dinilai MembaikCatatan untuk Polisi
Sementara itu, Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani mengatakan pihaknya masih mendapatkan laporan bahwa polisi tidak melindungi kelompok minoritas.
"Polisi hadir tapi tidak berbuat apa-apa, atau ‘memaksa’ kelompok minoritas untuk tunduk pada keinginan mayoritas—dari pada proses yang menegakkan hak-hak konstitusional,” ungkapnya.
Andy menilai, dalam banyak kesempatan, ketika ada kelompok yang memperjuangkan hak-haknya, malah dianggap mengganggu ketertiban dan akhirnya dihentikan oleh kepolisian.
“Ini justru akan dipandang sebagai mengurangi ketertiban umum, yang justru jadi ruang untuk melakukan penekanan, bukan ruang untuk memastikan jaminan perlindungan (hak) itu disediakan,” tandasnya.
Your browser doesn’t support HTML5
Ilhamdi Taufik, Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, menilai penambahan kewenangan ini menjadi ekstra administrasi bagi kepolisian.
“Sebenarnya harus dipisahkan, apakah ini masuk tugas-tugas yang murni penegakan hukum, ketertiban masyarakat, dan perlindungan masyarakat?” ujarnya.
Ditambahkannya, hendaknya penyempurnaan UU Kepolisian sejalan dengan prinsip Tribratra dan Catur Prasetya yang mengedepankan perlindungan kepada masyarakat. “Karena di situ ada 3 komponen besar, masalah keadilan, masalah hak asasi manusia, dan penegakan hukum,” pungkasnya. [rt/em]