Kelompok separatis Papua ternyata diduga menggunakan uang bantuan pemerintah untuk membeli senjata di pasar gelap.
Presiden Joko Widodo mengenalkan program "Dana Desa" pada 2015. Pemerintah mengalokasikan dana bernilai $4,7 miliar pada tahun ini. Sejumlah pihak telah lama mengkritik program tersebut dengan menyebut bahwa dana tersebut rawan dikorupsi. Tidak ada tempat yang lebih menantang untuk mengawasi skema penyaluran program tersebut selain di wilayah dataran tinggi terpencil Papua.
Papua sendiri berjarak dari 3.000 km dari Jakarta. Kelompok separatis yang dikenal sebagai Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) atau kelompok kriminal bersenjata (KKB) itu menuntut agar Papua dapat merdeka. Papua bergabung ke Indonesia setelah referendum yang kontroversial di bawah pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 1969.
Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) saat berada di salah satu kawasan pegunungan Papua.
Frekuensi pemberontakan di daerah tersebut mengalami peningkatan akhir-akhir ini sejalan dengan lonjakan penjualan senjata ilegal di wilayah itu, menurut sejumlah pengacara dan dokumen pengadilan. Dan yang menjadi catatan, Dana Desa ternyata menjadi sumber pendapatan utama bagi wilayah paling timur di Tanah Air itu.
Pada 2015, hanya ada satu kasus perdagangan senjata dan amunisi ilegal di Papua, menurut dokumen dan laporan pengadilan. Namun, pada 2021, jumlahnya melonjak menjadi 14.
Di Nduga, di mana pilot Susi Air Phillip Mehrtens disandera selama lebih dari tiga bulan, aparat kepolisian sangat prihatin karena Dana Desa digunakan untuk membeli senjata. Untuk itu, mereka meminta pemerintah pusat menahan $14 juta yang dialokasikan ke wilayah tersebut pada tahun ini.
BACA JUGA: Menpan-RB: Anggaran Pengentasan Kemiskinan Habis untuk Rapat dan Studi Banding
“Kalau ini tidak kita blokir, maka Dana Desa akan mengalir ke desa dan mereka (pemberontak) mungkin akan terus meminta dukungan. Mungkin untuk membeli senjata, untuk membeli makanan,” kata Kabid Humas Polda Papua Ignatius Benny Ady Prabowo kepada Reuters.
Juru bicara Pemerintah Kabupaten Nduga, Otomi Djiwage, mengatakan Dana Desa "tidak didukung dengan pengawasan yang tepat" dan pemerintah daerah tidak memiliki kewenangan untuk mengawasinya.
“Jadi wajar jika penggunaan Dana Desa agak longgar dan siapa saja bisa melakukan apa saja dengan itu.”
Dia tidak mengomentari klaim dana yang digunakan oleh pemberontak, karena itu hanya dugaan, katanya.
Sejumlah senjata rakitan dan senjata tradisional yang berhasil ditemukan aparat di lokasi serangan KKSB di Yigi, Papua, (5/12). (Courtesy: Kapendam Papua)
Senjata Ilegal
Tidak jelas berapa banyak dari $337 juta Dana Desa yang dialokasikan untuk wilayah Papua pada 2023 dialihkan untuk pembelian senjata ilegal.
Namun Faizal Ramadhani, Kepala Satuan Operasi Perdamaian Cartenz yang mengawasi keamanan di Papua, mengatakan kepada Reuters sekitar 40 persen kasus senjata ilegal yang dia selidiki melibatkan dana dari program Dana Desa. Dia menolak untuk memberikan rincian lebih lanjut.
Juru bicara Polri dan TNI menolak berkomentar terkait hal tersebut.
Foto yang disebut TPNPB-OPM sebagai Pilot Susi Air Philip Mark Mehrtens dan pasukan. (Foto: TPNPB-OPM)
Kementerian Keuangan, yang mengawasi distribusi Dana Desa, mengatakan ada mekanisme pemantauan untuk memastikan dana digunakan sebagaimana mestinya. Namun, kementerian menolak mengomentari klaim bahwa kelompok separatis telah menyalahgunakan alokasi tersebut.
Pada 2021, organisasi nonpemerintah Indonesia Corruption Watch (ICW) mengidentifikasi adanya 154 kasus dugaan korupsi terkait dana tersebut, tertinggi dari pengeluaran sektor pemerintah mana pun.
Sebby Sambom, juru bicara TPNPB, sayap bersenjata dari Gerakan Papua Merdeka, membantah pemberontak menggunakan Dana Desa. Namun ia mengakui aktivitas kelompok itu sebagian secara tidak sengaja didanai oleh negara.
"Kami memiliki tanah yang kaya sehingga kami melakukannya dengan cara kami sendiri. Kami dapat menghasilkan uang melalui penambangan emas dan kayu serta banyak pembayaran pemerintah," katanya kepada Reuters. "Kami memiliki hak untuk menggunakan uang itu."
BACA JUGA: Lebih Mengancam dan Lebih Melek Media, Kelompok Pemberontak di Papua Kini Semakin Berkembang
Dirancang untuk memacu pertumbuhan ekonomi, alokasi Dana Desa telah meningkat tiga kali lipat sejak 2015. Namun di Papua, beberapa orang mengatakan tidak banyak hasil yang bisa dilihat dari alokasi dana itu.
“Saya belum pernah melihat proyek yang dibiayai Dana Desa, tidak sama sekali,” kata Bernadus Kobogau, pejabat pariwisata di Intan Jaya. Sebaliknya, katanya, baku tembak mematikan yang dulu terbatas di hutan kini terjadi di tengah kota.
Revolusi Pajak
Meningkatnya kepemilikan senjata api kelompok separatis Papua terlihat jelas dalam foto-foto terbaru yang dirilis bersamaan dengan ancaman akan menembak Mehrtens jika pembicaraan kemerdekaan Papua tidak dimulai dalam waktu dua bulan.
Para pemberontak di Nduga mengacungkan sebuah peluncur granat, beberapa senapan mesin dan 18 senapan serbu, termasuk yang diproduksi oleh pembuat amunisi senjata negara Pindad, menurut Deka Anwar, dari Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC).
Beberapa anggota Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) pimpinan Egianus Kogoya. (Courtesy: TPNPB-OPM)
“Masa di mana pemberontak Papua menghemat peluru berharga sudah lewat,” kata Anwar. "Sekarang mereka bisa menembak berhari-hari."
Di dataran tinggi Papua, Dana Desa diperlakukan seperti "pajak revolusioner," katanya, yang disita baik melalui intimidasi dan paksaan, atau diberikan secara sukarela oleh para pendukung kemerdekaan.
Dana tersebut disimpan langsung ke rekening bank desa, dan secara teratur dibagikan secara tunai oleh kepala desa di dataran tinggi Papua.
BACA JUGA: Jejak Perdagangan Senjata Api dan Amunisi di Papua
“Mereka punya banyak uang di Papua, jadi mudah untuk membeli senjata,” kata Latifah Anum Siregar, Direktur Aliansi Demokrasi untuk Papua (AIDP) dan pengacara yang meliput kasus penjualan senjata ilegal.
Masalah semakin carut marut karena para pemberontak itu sebagian besar membeli senjata dari pejabat militer dan polisi yang korup, katanya.
Seorang petugas melakukan perjalanan ke Kota Nabire di Papua sembilan kali untuk menjual senjata secara ilegal, menurut dokumen pengadilan.
"Di Indonesia kami menyebutnya 'senjata makan tuan'," kata Siregar tentang dinamika yang sarat ironi: pemberontak mempersenjatai dana negara untuk melawan negara. "Artinya itu menjadi bumerang." [ah/rs]