KNKT: Pesawat Air Asia Jatuh Karena Rusaknya Sistem Kemudi

  • Fathiyah Wardah

Ketua Sub Komite Kecelakaan Pesawat Udara (KNKT), Kapten Nurcahyo Utomo (tengah) ketika menjelaskan hasil investigasi jatuhnya pesawat AirAsia QZ8501 di kantornya, Selasa 1/12 (VOA/Fathiyah).

Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) tidak menemukan adanya indikasi pengaruh cuaca sebagai penyebab kecelakaan pesawat Air Asia QZ8501. Hasil penyelidikan KNKT mendapati jatuhnya pesawat itu akibat rusaknya sistem kemudi dan mode terbang manual.

Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) telah menyelesaikan investigasi jatuhnya pesawat Air Asia QZ8501. Pesawat naas itu jatuh di Selat Karimata, Pangkalan Bun – Kalimantan Tengah saat terbang dari Surabaya menuju Singapura pada 28 Desember 2014 lalu.

Ketua Sub Komite Kecelakaan Pesawat Udara KNKT Kapten Nurcahyo Utomo dalam jumpa pers di Jakarta hari Selasa (1/12) mengatakan rusaknya sistem kemudi dan mode terbang manual menjadi penyebab jatuhnya pesawat Air Asia QZ8501 yang menewaskan 162 penumpang ini.

Hasil penyelidikan KNKT mendapati bahwa dalam perjalanan pesawat di atas 32 ribu kaki, pesawat mengalami empat kali kerusakan sistem yang disebut “rudder travel limiter unit” (RTLU). Gangguan keempat itu disusul dengan gangguan listrik pada komputer pesawat atau Flight Augmentation Computer (FAC) yang digunakan sebagai sistem kendali. Setelah kedua FAC mati, auto-pilot dan auto-thrust pun tidak aktif.

Matinya dua komputer pesawat ini mengakibatkan mode penerbangan pesawat beralih dari normal law menjadi alternate law di mana dalam posisi ini beberapa proteksi pesawat jadi tidak berfungsi dan pesawat terbang secara manual. Ditambahkannya pesawat sempat masuk ke dalam kondisi yang disebut sebagai “upset condition” dan mati sama sekali hingga akhir rekaman data percakapan.

Bagian dari badan pesawat AirAsia no penerbangan QZ8501 yang ditemukan dibawa ke Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah (foto: dok).

“Upset condition” merupakan kondisi berbahaya yang dapat mengakibatkan hilangnya kendali saat pesawat terbang. Jika sudah demikian – tambah Nurcahyo – kondisi ini sudah di luar kemampuan pilot untuk melakukan pemulihan.

"Selama 9 detik setelah auto pilotnya tidak aktif sehingga pesawat mencapai roll 54 derajat, ternyata ada input yang membuat pesawat hidungnya naik ke atas dengan suhu tertinggi yang tercatat 48 derajat, pada saat itu ada sudut antara datangnya angin dan pergerakan pesawat mencapai 40 derajat. Ini pesawat dalam kondisi di luar batasan," papar Nurcahyo.

Tak Ada Indikasi Pengaruh Cuaca

Lebih lanjut Nurcahyo menjelaskan data yang diperoleh dari kotak hitam pesawat tidak menunjukkan adanya indikasi pengaruh cuaca sebagai penyebab kecelakaan pesawat Air Asia. Namun, dalam satu tahun terakhir sebelum kecelakaan itu terjadi, KNKT telah menemukan 23 kali kerusakan yang terkait dengan “rudder travel limiter system” pada AirAsia QZ8501.

Dalam pemaparan hasil investigasi hari Selasa KNKT menyampaikan beberapa rekomendasi, antara lain Air Asia Indonesia diminta untuk memiliki terminologi standar yang digunakan pilot untuk komunikasi sehingga tidak ada salah interpretasi. Air Asia Indonesia juga diminta melatih pilot untuk mengambil alih kemudi pada saat-saat kritis dan didorong memiliki sistem yang mampu mendeteksi dan memperbaiki kerusakan yang terjadi berulang kali.

"Sehingga perawatan yang ada pada saat itu tidak berhasil mendeteksi adanya kerusakan-kerusakan yang berulangan dan muncul interval yang lebih sering," tambah Nurcahyo.

Air Asia Bertekad Tingkatkan Standar Keselamatan

Menanggapi hasil investigasi KNKT itu, Presiden Direktur Air Asia Indonesia Sunu Widyatmoko dalam siaran pers yang diterima VOA menyatakan setelah tragedi QZ8501, Air Asia menggandeng mantan regulator FAA dan Bureau Veritas untuk memberikan rekomendasi guna meningkatkan standar keselamatan penerbangan Air Asia.

Air Asia juga melakukan beberapa inisiatif keselamatan sebelum laporan KNKT dikeluarkan, termasuk menambahkan pelatihan “upset recovery” dalam silabus pelatihan.

Air Asia menurut siaran pers tersebut berkomitmen untuk mengembangkan dan meningkatkan proses keselamatan secara berkelanjutan agar sesuai dengan standar keselamatan internasional yang terbaik. [fw/em]