Komandan Hizbullah yang Tewas Sejak Lama Jadi Buron akibat Serangan Bom Kedubes AS 1983

Ibrahim Aqil, komandan senior Hizbullah, muncul di poster buronan yang disebarkan oleh program "Rewards for Justice" dari Departemen Luar Negeri AS. (Foto: via Reuters)

Amerika Serikat menjanjikan imbalan sebesar $7 juta atau setara Rp105,7 miliar bagi siapa saja yang berhasil menangkap petinggi Hizbullah, Ibrahim Aqil.

Ibrahim Aqil, komandan operasi Hizbullah yang tewas dalam serangan Israel di Lebanon pada Jumat (20/9), ternyata sudah lama menjadi buronan Washington terkait dua serangan bom truk di Kedutaan Amerika Serikat (AS) dan barak Marinir di Beirut pada 1983. Kedua serangan itu menewaskan total 300 orang.

Bahkan, AS menjanjikan imbalan sebesar $7 juta atau setara Rp105,7 miliar bagi siapa saja yang berhasil menangkapnya.

Dua sumber keamanan di Lebanon mengonfirmasi bahwa kombatan veteran tersebut tewas dalam serangan udara di pinggiran selatan Beirut saat menghadiri pertemuan unit elit Radwan dari kelompok militan Lebanon yang didukung Iran.

Aqil, yang dikenal dengan alias Tahsin dan Abdelqader, merupakan pejabat kedua tertinggi dalam badan militer tertinggi Hizbullah, Dewan Jihad. Ia tewas dua bulan setelah serangan Israel yang menargetkan Fuad Shukr di daerah yang sama pada Juli.

BACA JUGA: Komandan Pasukan Elit Hizbullah Tewas dalam Serangan Israel ke Beirut

Israel melancarkan serangan lebih intensif terhadap kelompok tersebut minggu ini setelah berbulan-bulan terjadinya pertikaian di perbatasan. Konflik ini dipicu oleh peristiwa di Gaza yang dimulai pada 7 Oktober, ketika Hamas, sekutu Palestina Hizbullah, melakukan serangan mematikan dan penyanderaan di Israel.

Seperti Shukr, Aqil adalah veteran Hizbullah, yang didirikan oleh Garda Revolusi Iran pada awal 1980-an untuk melawan pasukan Israel yang telah menginvasi dan menduduki Lebanon.

Aqil lahir di sebuah desa di lembah Beqaa, Lebanon, sekitar era 1960-an. Ia awalnya bergabung dengan gerakan politik Syiah Lebanon yang lebih besar, Amal, sebelum beralih menjadi anggota pendiri Hizbullah, menurut sumber keamanan.

Ibrahim Aqil, komandan senior Hizbullah, muncul di poster buronan yang disebarkan oleh program "Rewards for Justice" dari Departemen Luar Negeri AS. (Foto: via Reuters)

Amerika Serikat menuduhnya terlibat dalam pengeboman truk di kedutaan besar AS di Beirut pada April 1983, yang menewaskan 63 orang. Ia juga dituding berperan dalam serangan terhadap barak Marinir AS enam bulan kemudian yang merenggut 241 nyawa.

Washington juga menuduhnya terlibat dalam penculikan sandera Amerika dan Jerman di Lebanon. Pada tahun 2019, ia dimasukkan ke dalam daftar Teroris Global yang Ditunjuk Khusus, dengan imbalan sebesar $7 juta untuk kepalanya.

Mengacu pada pengeboman barak Marinir AS dan serangan lainnya terhadap kepentingan Barat di Lebanon pada 1980-an, pemimpin Hizbullah Sayyed Hassan Nasrallah menyatakan dalam sebuah wawancara 2022 bahwa serangan tersebut dilakukan oleh kelompok-kelompok kecil. Ia menekankan bahwa kelompok-kelompok tersebut tidak terkait dengan Hizbullah seakan ingin menekankan bahwa Hizbullah tidak ikut cawe-cawe dalam aksi-aksi tersebut.

BACA JUGA: Pemimpin Hizbullah Lebanon: Israel Telah Melampaui Batas

Kelompok Aqil, sebagai pendiri Hizbullah, berperan penting dalam mengubah organisasi tersebut dari milisi bayangan menjadi kekuatan militer dan politik terkuat di Lebanon. Mereka berhasil mengusir Israel keluar dari pendudukannya di wilayah selatan pada 2000 dan terlibat dalam konflik dengan Israel lagi pada 2006.

Terbunuhnya Shukr pada Juli dianggap sebagai pukulan telak bagi struktur komando Hizbullah sejak pembunuhan Imad Mughniyeh pada 2008. Mughniyeh dikenang oleh Hizbullah sebagai komandan legendaris, sementara Israel dan Amerika Serikat menganggapnya sebagai teroris.

Tewasnya Aqil, yang imbalannya ditetapkan oleh Amerika Serikat dengan nilai yang bahkan lebih tinggi daripada Shukr, berpotensi menjadi pukulan telak yang setara bagi Hizbullah. [ah/ft]