Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyatakan kasus penembakan di Paniai Papua pada 7-8 Desember 2014 sebagai kasus pelanggaran HAM berat. Keputusan tersebut didasarkan pada hasil temuan Tim Ad Hoc penyelidikan peristiwa Paniai, Komnas HAM.
Selama melakukan penyelidikan, tim itu telah memeriksa 26 saksi, kemudian mengunjungi tempat kejadian perkara di Enarotali Kabupaten Paniai serta mengkaji dokumen dan meminta pendapat ahli.
Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik mengatakan peristiwa Pania, Papua, merupakan kekerasan terhadap penduduk sipil yang mengakibatkan empat orang berusia 17-18 tahun meninggal dunia akibat luka tembak dan luka tusuk. Sedangkan 21 orang lainnya mengalami luka penganiayaan.
BACA JUGA: Pemerintah Didesak Usut Tuntas Penembakan di Paniai, PapuaAnggota Tim Ad Hoc, Sandra Moniaga mengatakan peristiwa Paniai ini telah memenuhi unsur kejahatan kemanusiaan. Hal ini lanjutnya dibuktikan dengan adanya pembunuhan dan penganiayaan yang sistematis terhadap penduduk sipil.
“Pertama itu terjadi suatu peristiwa pemukulan pada tanggal 7 malam, kemudian tanggal 8, ada empat orang meninggal ketika mereka berdemostrasi di kota Enarotali dan ada yang luka-luka. Dari penyelidikan kami, unsur katagori HAM berat terpenuhi,” kata Sandra.
Menurut Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik, anggota TNI yang bertugas ketika peristiwa itu terjadi, baik dalam struktur komando Kodam XVII Cendrawasih maupun komando lapangan di Enarotali, Paniai, diduga sebagai pelaku yang bertanggung jawab.
Selain pelanggaran HAM berat, Komnas HAM menyebut ada usaha menghalangi proses hukum dalam penanganan pasca peristiwa. Komnas HAM menemukan sejumlah indikasi dalam peristiwa Paniai.
Indikasi pertama adalah dihentikannya proses penyelidikan yang dilakukan oleh Polda Papua tak lama setelah kedatangan tim gabungan dari Jakarta. Tim gabungan itu kemudian tidak menghasilkan solusi dalam konteks penegakan hukum.
Selain itu, hasil penyelidikan Komnas HAM juga menemukan hasil uji balistik yang diduga tidak menyakinkan karena dilakukan secara tidak kredibel. Indikasi lainnya adalah anggota TNI yang tidak kooperatif selama proses pemeriksaan.
Berkas penyelidikan kasus ini telah diserahkan kepada Jaksa Agung ST Burhanuddin. Lembaga hak asasi manusia itu berharap Jaksa Agung dapat menindaklanjuti atau memproses hasil penyelidikan Komnas HAM ke persidangan.
Menkopolhukam Belum Menerima Hasil Penyelidikan Komnas HAM
Menanggapi hal tersebut, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD menyatakan belum menerima hasil penyelidikan Komnas HAM itu.
“Biar diproses, itu kan baru pengumuman belum sampai surat resminya, kita lihat saja nanti,” ujar Mahfud.
Papang Hidayat, peneliti Amnesty International Indonesia mengatakan kasus Paniai harus mendapat perhatian serius. Dia menegaskan jika kasus Paniai tidak dituntaskan secara transparan maka kejadian serupa akan terus berulang.
"Salah satu akar masalah di Papua di mana pelanggaran HAM masih terus terjadi dibanding di daerah lain. Kenapa (penyelesaian) kasus Paniai ini harus dijadikan contoh? Supaya bisa bikin semacam kepercayaan dari orang tua dan orang-orang Indonesia bahwa keadilan itu bisa diraih oleh orang Papua," tandas Papang.
BACA JUGA: Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Papua: Seperti Bangun dari Tidur PanjangPeristiwa Paniai ini diketahui berawal pada malam 7 Desember 2014 di Enarotali, Kabupaten Paniai, Papua. Kejadian ini diawali oleh teguran sekelompok pemuda pada seorang personil Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang membawa mobil Toyota Fortuner berwarna hitam tanpa menyalakan lampu. Teguran itu rupanya memicu pertengkaran yang berujung penganiayaan oleh TNI.
Esok harinya, 8 Desember 2014, rombongan masyarakat Ipakiye berangkat menuju Enarotali, mendatangi Polsek Paniai dan Koramil untuk meminta penjelasan. Masyarakat menggelar aksi sebagai bentuk protes terhadap tindakan aparat sehari sebelumnya. Aksi massa itu dibalas dengan tindakan represif. [fw/em]