Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyoroti penyelenggaraan Pemilihan Presiden (Pilpres) 9 Juli lalu, yang dinilai masih banyak pelanggaran terhadap hak konstitusional warga masyarakat yang sulit menggunakan hak pilihnya.
Komisioner Komnas HAM Muhammad Nur Khoiron di Surabaya, Jumat (11/7) mengatakan, penghapusan Tempat Pemungutan Suara (TPS) khusus, seperti di Rumah Sakit, menjadi salah satu penyebab hilangnya hak pilih warga masyarakat yang terhalang untuk mencoblos di TPS tempat tinggalnya.
“Harusnya ketika TPS khusus itu dihapus, harus ada sosisalisasi dan Bimtek (bimbingan teknis) yang lebih jelas, terukur, sehingga seluruh mekanisme yang baru itu bisa dilaksanakan di lapangan, yaitu mekanisme dimana misalnya kalau di Rumah Sakit, harus ada TPS-TPS terdekat yang bisa memberi akses, itu harus ada sosialisasi yang jelas, termasuk ketersediaan dari surat suaranya. Nah ini yang tidak terjadi," kata Muhammad Nur Khoiron.
Your browser doesn’t support HTML5
"Ya dampaknya terjadi penghilangan hak konstitusional warga kita yang ada di tempat-tempat krisis itu, dan itu terjadi secara masif dan sistematis, karena memang tidak disiapkan dengan cukup baik,” tambahnya.
Anggota Pusat Studi Hak Asasi Manusia (Pusham) Surabaya, Anton Kurniawan mengatakan, meski tidak ada TPS khusus di Rumah-Sakit, TPS khusus masih ditemui di kawasan rumah tahanan Medaeng, yang menampung para tahanan yang memiliki hak suara.
“Pantauan kita yang kemarin di Medaeng itu berjalan kondusif sekali di Rutan (rumah tahanan) itu. Jadi ada 4 TPS khusus, mencover 1.534 tahanan yang terbagi ke dalam 4 TPS khusus itu,” kata Anton Kurniawan.
Selain persoalan tidak adanya lagi TPS khusus di Rumah Sakit, Nur Khoiron juga menyoroti belum jelasnya pendataan para warga yang menjadi korban lumpur Lapindo, yang masih ber-KTP di kawasan yang tenggelam oleh lumpur, namun banyak yang sudah pindah domisili di luar daerah.
Dari sekitar 1.600 korban lumpur yang masih belum terbayar ganti ruginya, masih ada ratusan yang kesulitan menggunakan hak pilihnya pada Pilpres kali ini.
“Kemarin di KPU (Sidoarjo) kami tanya, mereka belum ada perkembangan pencatatan yang lebih detail soal persebaran kelompok-kelompok terdampak ini (korban lumpur Lapindo), masyarakat terdampak yang masih menggunakan KTP lama, karena kan proses ganti rugi belum selesai, dan itu jumlahnya banyak," jelas Muhammad Nur Khoiron.
"Nah menurut mereka (KPU) sih, mereka (korban lumpur Lapindo) sudah berintegrasi dengan kampun ata desa-desa baru. Tetapi ketika kami tanyakan apakah mereka sudah tercatat dengan baik, mereka (KPU) tidak punya catatannya, inikan berarti pengakuan itu belum tentu bisa dibuktikan di lapangan, apakah mereka (korban lumpur Lapindo) betul-betul terakomodasi haknya,” lanjutnya.
Sudaryono, selaku petugas KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara) di Desa Mindi, Kecamatan Porong menyebutkan, beberapa warga korban lumpur Lapindo masih ada yang menggunakan hak pilihnya di desa asalnya, meski saat ini sudah tidak lagi tinggal di desa itu.
“Yang pindah Sidoarjo, terus pindah ke Pasuruan, terus sebagian ada dari Mojokerto datang untuk mencoblos ke sini,” kata Sudaryono.