Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Abdul Manan mempertanyakan rencana penerapan tatanan kenormalan atau kelaziman baru atau “new normal” yang akan dilakukan pemerintah pada masa pandemi.
Menurutnya, di sejumlah negara, kenormalan baru biasanya diperkenalkan ketika kasus corona sudah akan selesai. Sedangkan kurva pandemi corona di Indonesia hingga kini belum menurun.
BACA JUGA: Pandemi Corona Ikut Pukul Industri Media"Jadi kalau kita kurvanya masih naik sebenarnya tidak pas kita menyebut new normal. Sebenarnya kita berada dalam periode new abnormal karena kita masih di tengah situasi krisis," tutur Abdul Manan dalam diskusi daring, Sabtu (30/5).
Pertanyaan yang sama juga disampaikan Ketua Umum Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Yadi Hendriana, Ketua Umum Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Wenseslaus Manggut dan Anggota Dewan Pers Arif Zulkifli.
Menurut Wens, pemerintah perlu belajar dari kasus corona di China dan Korea Selatan yang kembali naik setelah mereka melonggarkan protokol usai kurva pandemi menurun. Padahal kedua negara tersebut memiliki penanganan corona yang lebih baik jika dibandingkan dengan Indonesia.
Di samping itu, pelonggaran protokol juga akan menyulitkan pengawasan pemerintah terhadap masyarakat. Apalagi kata dia, pemerintah belum memiliki protokol yang matang soal pelaksanaan tatanan kenormalan baru. Misalnya protokol di fasilitas umum, transportasi publik dan pasar modern.
BACA JUGA: Posko Pengaduan: THR 52 Pekerja Media Bermasalah"Ketika semua orang di rumah tidak perlu diawasi, tinggal mengawasi 10 industri yang tetap boleh berporasi. Begitu new normal dalam definisi orang boleh keluar itu spektrum pengawasannya akan luas," jelas Wens.
Penerapan 'New Normal' akan Ubah Kultur Jurnalis
Di sisi lain, Abdul Manan menambahkan penerapan tatanan kenormalan yang baru akan mendorong perubahan kultur jurnalis di Indonesia. Salah satunya yaitu perubahan wawancara dari semula tatap muka menjadi online.
Menurutnya, sebagian besar jurnalis di Indonesia sudah mampu beradaptasi dengan pola kerja seperti ini. Namun, sebagian narasumber masih ada yang ingin wawancara dengan tatap muka.
Di samping itu, infrastruktur internet di Indonesia juga masih belum merata dan biaya kuota yang relatif mahal akan menambah beban baru bagi jurnalis. Khususnya bagi kontributor di berbagai daerah yang upahnya rendah.
"Infrastruktur yang sering kita hadapi. Kita yang di Jabodetabek saja sering bermasalah dengan fasilitas internet. Apalagi di daerah yang terpencil," tutur Manan.
Wabah corona ini juga mendorong sejumlah media televisi untuk berkolaborasi dalam meliput atau mengambil gambar di kantor-kantor pemerintahan dan Istana Negara. Hasil dari liputan tersebut kemudian bisa digunakan secara bersama-sama oleh media televisi. Hal ini seperti yang disampaikan Ketua IJTI Yadi Hendriana. Kendati demikian, Yadi menegaskan hal tersebut tidak membuat berita televisi menjadi seragam. Sebab, masing-masing televisi memiliki sudut pandang yang berbeda.
"Ada perubahan di gathering. Misalkan di lapangan, Satellite News Gathering (SNG) yang dimiliki MNC ada di Istana, TVRI dan CNN di BNPP dan TV One di Balaikota. Begitu juga dengan Kompas dan Metro TV," jelas Yadi.
Hanya saja, perubahan pola kerja secara online ini juga dibarengi dengan kekerasan terhadap jurnalis di ranah online. Ini seperti yang dialami jurnalis Detikcom yang mengalami intimidasi, doxing, dan diancam akan dibunuh oleh orang tidak dikenal karena menulis berita tentang presiden yang dinilai menyesatkan.
Doxing adalah upaya mencari dan menyebarluaskan informasi pribadi seseorang di internet untuk tujuan menyerang dan melemahkan seseorang atau persekusi online.
BACA JUGA: Pers di Indonesia Mengalami Kemajuan Luar Biasa dari SebelumnyaKendati demikian, Anggota Dewan Pers Arif Zulkifli menilai media di Indonesia cukup kritis dalam memberitakan pandemi corona, termasuk soal rencana pemerintah melonggarkan penanganan corona. Karena itu, ia tidak akan terlalu khawatir dengan kualitas jurnalisme di Indonesia meski ada penerapan kenormalan baru.
"Jadi semua media sudah lumayan jernih untuk memotret itu semua. Jadi saya tidak terlalu khawatir dalam hal itu," jelas Arif Zulkifli.
Arif menambahkan media di Indonesia, terutama yang melakukan investigasi dapat menggali lebih dalam lagi terkait penanganan corona yang dilakukan pemerintah. Semisal investigasi yang dilakukan Tempo tentang alat tes cepat atau rapid test bermasalah yang dibeli pemerintah. [sm/em]
Your browser doesn’t support HTML5