Konflik Satwa vs Manusia di Aceh Meningkat, Harimau dan Gajah Makin Terancam

Tim dokter hewan BKSDA Aceh melakukan nekropsi terhadap harimau Sumatra yang ditemukan mati di Aceh Selatan, Senin 29 Juni 2020. (Foto: Courtesy/BKSDA Aceh)

Konflik satwa langka dilindungi, seperti harimau dan gajah Sumatera, dengan manusia di Aceh semakin meningkat tiap tahunnya. Hal tersebut tak jarang berujung pada kematian satwa liar. Mirisnya, hewan dilindungi juga menjadi objek perdagangan satwa liar.

Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, Agus Aryanto menyebut pada Januari hingga Juli 2020 saja telah terjadi 18 kasus konflik satwa liar dengan manusia. Angka tersebut naik dari 16 kasus selama 2019.

"Hingga saat ini sudah 18 kasus dan saya yakin akan terus meningkat sampai akhir tahun," kata Agus dalam sebuah diskusi daring, Sabtu (11/7).

Sebelumnya, selama 2018 ada delapan kasus, dan 10 kasus konflik satwa liar dengan manusia pada 2017. Wilayah Aceh Selatan, Subulussalam, dan Aceh Tamiang, menjadi daerah penyumbang terbanyak kasus konflik satwa liar dengan manusia.

Seekor gajah Sumatera ditemukan mati di Gampong Seumanah Jaya, Kecamatan Ranto Peureulak, Kabupaten Aceh Timur, Provinsi Aceh, Kamis 21 November 2019. (Foto: Courtesy/BKSDA Aceh)

Agus memaparkan bahwa banyak faktor yang menyebabkan terjadinya konflik satwa liar dengan manusia. Maraknya perambahan area kawasan hutan, hingga perubahan fungsi menjadi lahan perkebunan berdampak terhadap konflik satwa liar dengan manusia di Aceh.

Tak luput pula, pola tradisional masyarakat yang melakukan penggembalaan dengan melepas hewan ternaknya ke kawasan hutan yang berbatasan dengan habitat satwa liar juga menjadi pemantik konflik tersebut.

"Kalau kita lihat juga kegiatan ilegal seperti perburuan," ujarnya.

Dalam mencegah konflik satwa liar dengan manusia, BKSDA Aceh mengaku telah melakukan upaya sosialiasi, hingga pelatihan kepada masyarakat agar dapat mencegah konflik dengan satwa liar. Namun, fakta di lapangan konflik satwa liar dengan manusia sampai sekarang tak dapat dihindarkan.

Tim dokter hewan BKSDA Aceh melakukan nekropsi terhadap harimau Sumatra yang ditemukan mati di Aceh Selatan, Senin 29 Juni 2020 (Courtesy: BKSDA Aceh).

"Kami juga sudah membuat beberapa kandang anti-harimau. Ini tentu salah satu upaya pencegahan konflik yang terjadi di masyarakat," ungkap Agus.

Direktur Flora Fauna Aceh, Dewa Gumay, mengatakan konflik satwa liar dengan manusia menjadi awal pintu masuk perburuan yang akhirnya menjadi komoditi perdagangan hewan langka dari Aceh sampai ke internasional. Tak heran jika populasi gajah dan harimau Sumatra terus berkurang tiap tahunnya.

"Konflik ini kemudian dideteksi oleh para penampung yang mempunyai jaringan di beberapa lokasi. Mereka juga memanfaatkan masyarakat lokal yang berada di lokasi konflik. Ini data valid, beberapa kasus kami temukan polanya sama," ucapnya.

BACA JUGA: Seekor Harimau Sumatra di Aceh Mati Diracun

Kata Dewa Gumay, modus operandi yang digunakan dalam perdagangan satwa langka yang dilakukan oleh sejumlah oknum dengan cara memanfaatkan masyarakat setempat sebagai pemburu. Kemudian, satwa-satwa langka itu diburu dengan perangkap, racun, hingga ditembak.

"Menurut kami kasus perburuan sudah extraordinary (luar biasa.red) terjadi di Aceh. Kemudian cara-cara kita baik kepolisian atau pihak lain harus juga extraordinary," tuturnya.

Namun yang menjadi sorotan Dewa Gumay, banyak kasus-kasus kematian hingga perdagangan satwa langka tak mampu diungkap kepolisian. Salah satunya soal kematian lima gajah Sumatra secara serentak di Aceh Jaya. Kematian gajah-gajah itu diduga berkaitan dengan jaringan perdagangan satwa dilindungi.

Seekor harimau Sumatra yang ditemukan mati karena terjerat di dalam kawasan hutan tanaman industri di Provinsi Riau, Senin 18 Mei 2020. (Foto: BBKSDA Riau)

"Anehnya sampai sekarang Polres Aceh Jaya tidak bisa mengungkap ini. Padahal dari informasi yang kami deteksi, pelaku ada di Aceh Jaya. Berbagai dalih Polres mengatakan bahwa pelaku sulit ditangkap karena berada di wilayah perkebunan tidak bisa diakses," ungkapnya.

"Kemudian di Aceh Selatan, harimau yang diracun. Kasus-kasus itu sampai hari ini masih belum terungkap," tambah Dewa Gumay.

Your browser doesn’t support HTML5

Konflik Satwa di Aceh Meningkat, Harimau dan Gajah Terancam 'Terusir' dari Habitatnya

Kemudian apabila kasus-kasus kematian satwa langka tak mampu diungkap, maka akan menjadi preseden buruk bagi penegak hukum dalam mencegah perburuan hewan dilindungi.

"Tapi jauh lebih penting adalah bagaimana memitigasi spesies-spesies yang masih hidup," kata Dewa Gumay.

BACA JUGA: Lagi, Satwa Dilindungi Mati di Kawasan Hutan Tanaman Industri

Bukan hanya itu, Flora Fauna Aceh menilai sejauh ini penegakan hukum bagi pelaku perdagangan satwa liar tak memberikan efek jera lantaran hukuman yang terlalu ringan.

Sementara, Kasubdit IV Tipiter Ditkrimsus Polda Aceh, AKBP Muliadi mengatakan kejahatan perdagangan satwa liar termasuk organ tubuh hewan langka masih menjadi perhatian khusus dari kepolisian. Bahkan beberapa bulan lalu Polda Aceh menggagalkan perdagangan kulit harimau Sumatra di Aceh Timur.

"Tren kasus tentang satwa liar semakin hari kian meningkat. Ini tentu kita harus melakukan langkah-langkah komprehensif," ungkapnya.

Petugas dari BBKSDA Riau melakukan nekropsi bangkai harimau Sumatra yang mati karena terkena jerat, Senin 18 Mei 2020. (Courtesy: BBKSDA Riau)

Provinsi Aceh merupakan wilayah yang diwarisi dengan populasi gajah dan harimau Sumatra cukup besar. Menurut data dari Fauna dan Flora Aceh yang bersumber dari BKSDA, sedikitnya 150 hingga 200 individu harimau Sumatra masih tersebar di hutan Bumi Serambi Makkah di tahun 2019. Sedangkan gajah Sumatra tersisa 539 individu itu pun data terakhir pada tahun 2018.

Harimau dan gajah Sumatra merupakan salah satwa yang dilindungi di Indonesia berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar yang Dilindungi. Berdasarkan The IUCN Red List of Threatened Species, satwa yang hanya ditemukan di Pulau Sumatra ini berstatus Critically Endangered atau spesies yang terancam kritis, berisiko tinggi untuk punah di alam liar. [aa/ft]