Keberadaan diaspora Indonesia di luar negeri berperan dalam memperkenalkan olahraga khas Indonesia ini di dunia internasional.
JAKARTA —
Dalam forum diskusi terbuka mengenai pencak silat pada Kongres Diaspora Indonesia ke-2 yang berlangsung di Jakarta 18-20 Agustus 2013, Menteri Pemuda dan Olahraga Roy Suryo menargetkan olahraga ini sudah dapat dipertandingkan di Olimpiade 2024.
“Wajib hukumnya kita mengangkat dan membawa pencak silat ini sebagai ikon. Kami dari Kementerian Pemuda dan Olahraga sangat mendukung untuk masuk dalam Olimpiade 2024,” ujarnya Minggu (18/8).
Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI) sendiri sudah berdiri sejak 1948, sementara dari 1980 hingga kini Persekutuan Silat Antar Bangsa (PERSILAT) sudah ada di 40 negara. Dari jumlah itu, baru 16 negara yang telah mendaftarkan pencak silat pada Komite Olahraga Nasional di negara masing-masing. Sementara untuk menjadi cabang olahraga dalam Olimpiade dibutuhkan setidaknya dukungan dari 70 negara.
Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat Dino Patti Djalal, yang merupakan penggagas dari Jaringan Global Diaspora Indonesia, menyatakan keberadaan orang-orang Indonesia di luar negeri berperan penting dalam memperkenalkan Pencak Silat.
“Untuk pertama kalinya pencak silat sudah masuk dalam kurikulum di American University dan pelopornya adalah diaspora yang ada di Washington DC,” ujarnya.
Richard Anthony Subaran, salah seorang pelatih pencak silat berkewarganegaraan Amerika di Akademi Pencak Silat Al-Azhar di Maryland, Washington DC, mengatakan, salah satu kekuatan pencak silat yang membuatnya semakin diminati adalah karena metode pelatihan yang humanis dengan pendekatan kekeluargaan.
“Di AS saat ini banyak orang Amerika yang berorientasi pada sifat-sifat kekeluargaan,” ujarnya.
Forum diskusi terbuka “Pencak Silat for The World” dihadiri oleh warga Indonesia yang mengembangkan pencak silat di Eropa, Amerika, Afrika Selatan dan sejumlah negara lainnya. Forum ini merupakan bagian dari rangkaian acara dalam Kongres Diaspora Indonesia ke-2, yang bertema “Diaspora Pulang Kampung.”
Salah satu anggota diaspora Indonesia yang tinggal di Afrika Selatan, Sariat Arifin, mengatakan sejak 2009 hingga kini sudah dibuka kelas-kelas pencak silat yang bernaung dibawah Perguruan Pencak Silat Al-Azhar yang tersebar di kota-kota seperti Pretoria, Capetown dan Johannesburg. Pencak Silat juga sudah diakui sebagai cabang beladiri oleh insitusi olahraga resmi, bahkan pencak silat juga diikutsertakan dalam acara pembukaan Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan.
Kendala klasik yang dihadapi dalam pengembangan pencak silat di Afrika Selatan, menurut Sariat, selain persoalan dana, adalah terbatasnya jumlah pelatih, minimnya penguasaan Bahasa Inggris dalam pelatihan silat, serta sulitnya memperoleh visa tinggal bagi pelatih yang didatangkan dari Indonesia.
“Kalau saya minta political will. Ini jangan jadi kebijakan pribadi-pribadi, tetapi jadi kebijakan institusi, dari Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Pemuda dan Olahraga kalau sudah ada MOU, mana task force-nya,” ujarnya.
Namun Sariat yang seorang pengusaha ini yakin dalam lima tahun ke depan, upaya untuk menyumbangkan sembilan suara pendukung pencak silat masuk Olimpiade dari sembilan negara yang ada di kawasan selatan Afrika, dapat terwujud.
Dalam satu tahun sejak Kongres Diaspora pertama yang berlangsung di Los Angeles pada 2012, Jaringan Global Diaspora Indonesia (Indonesian Diaspora Network) sudah tersebar di 26 negara. Saat ini secara resmi tercatat terdapat enam juta Warga Negara Indonesia yang tinggal di luar negeri. Sepertiga dari jumlah itu merupakan Tenaga Kerja Indonesia (TKI), sisanya mayoritas merupakan masyarakat kelas menengah, pebisnis dan kalangan profesional. Jaringan Komunitas ini bertujuan agar masyarakat Indonesia yang berada di luar negeri dapat memberikan kontribusi nyata kepada negara asalnya.
“Wajib hukumnya kita mengangkat dan membawa pencak silat ini sebagai ikon. Kami dari Kementerian Pemuda dan Olahraga sangat mendukung untuk masuk dalam Olimpiade 2024,” ujarnya Minggu (18/8).
Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI) sendiri sudah berdiri sejak 1948, sementara dari 1980 hingga kini Persekutuan Silat Antar Bangsa (PERSILAT) sudah ada di 40 negara. Dari jumlah itu, baru 16 negara yang telah mendaftarkan pencak silat pada Komite Olahraga Nasional di negara masing-masing. Sementara untuk menjadi cabang olahraga dalam Olimpiade dibutuhkan setidaknya dukungan dari 70 negara.
Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat Dino Patti Djalal, yang merupakan penggagas dari Jaringan Global Diaspora Indonesia, menyatakan keberadaan orang-orang Indonesia di luar negeri berperan penting dalam memperkenalkan Pencak Silat.
“Untuk pertama kalinya pencak silat sudah masuk dalam kurikulum di American University dan pelopornya adalah diaspora yang ada di Washington DC,” ujarnya.
Richard Anthony Subaran, salah seorang pelatih pencak silat berkewarganegaraan Amerika di Akademi Pencak Silat Al-Azhar di Maryland, Washington DC, mengatakan, salah satu kekuatan pencak silat yang membuatnya semakin diminati adalah karena metode pelatihan yang humanis dengan pendekatan kekeluargaan.
“Di AS saat ini banyak orang Amerika yang berorientasi pada sifat-sifat kekeluargaan,” ujarnya.
Forum diskusi terbuka “Pencak Silat for The World” dihadiri oleh warga Indonesia yang mengembangkan pencak silat di Eropa, Amerika, Afrika Selatan dan sejumlah negara lainnya. Forum ini merupakan bagian dari rangkaian acara dalam Kongres Diaspora Indonesia ke-2, yang bertema “Diaspora Pulang Kampung.”
Salah satu anggota diaspora Indonesia yang tinggal di Afrika Selatan, Sariat Arifin, mengatakan sejak 2009 hingga kini sudah dibuka kelas-kelas pencak silat yang bernaung dibawah Perguruan Pencak Silat Al-Azhar yang tersebar di kota-kota seperti Pretoria, Capetown dan Johannesburg. Pencak Silat juga sudah diakui sebagai cabang beladiri oleh insitusi olahraga resmi, bahkan pencak silat juga diikutsertakan dalam acara pembukaan Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan.
Kendala klasik yang dihadapi dalam pengembangan pencak silat di Afrika Selatan, menurut Sariat, selain persoalan dana, adalah terbatasnya jumlah pelatih, minimnya penguasaan Bahasa Inggris dalam pelatihan silat, serta sulitnya memperoleh visa tinggal bagi pelatih yang didatangkan dari Indonesia.
“Kalau saya minta political will. Ini jangan jadi kebijakan pribadi-pribadi, tetapi jadi kebijakan institusi, dari Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Pemuda dan Olahraga kalau sudah ada MOU, mana task force-nya,” ujarnya.
Namun Sariat yang seorang pengusaha ini yakin dalam lima tahun ke depan, upaya untuk menyumbangkan sembilan suara pendukung pencak silat masuk Olimpiade dari sembilan negara yang ada di kawasan selatan Afrika, dapat terwujud.
Dalam satu tahun sejak Kongres Diaspora pertama yang berlangsung di Los Angeles pada 2012, Jaringan Global Diaspora Indonesia (Indonesian Diaspora Network) sudah tersebar di 26 negara. Saat ini secara resmi tercatat terdapat enam juta Warga Negara Indonesia yang tinggal di luar negeri. Sepertiga dari jumlah itu merupakan Tenaga Kerja Indonesia (TKI), sisanya mayoritas merupakan masyarakat kelas menengah, pebisnis dan kalangan profesional. Jaringan Komunitas ini bertujuan agar masyarakat Indonesia yang berada di luar negeri dapat memberikan kontribusi nyata kepada negara asalnya.