Kepala Divisi Pembelaan Hak Sipil dan Politik KontraS Putri Kanesia kepada VOA, Rabu (10/5) mengatakan vonis terhadap Gubernur DKI Jakarta non aktif Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dapat dijadikan momentum untuk menghapus pasal 156a KUHP tentang penodaan agama.
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara telah menjatuhkan vonis 2 tahun penjara terhadap Ahok. Pasal penistaan agama termasuk pasal 156a KUHP telah digunakan hakim untuk menjerat Ahok.
Putri menilai pasal tentang penodaan agama ini merupakan pasal karet , multitafsir dan sangat subjektif, sehingga jika pasal ini dipertahankan maka dikhawatirkan akan banyak orang yang dipidana dengan tuduhan melakukan penodaan agama.
Pasal ini tambahnya dinilai sangat umum dan rentan digunakan untuk mengkriminalisasi seseorang.
Bukan hanya Ahok yang sudah dikenakan pasal ini oleh penegak hukum, ada sederet nama yang bernasib sama dengan Ahok, sebut saja Lia Eden (sekte Kerajaan Tuhan), Tajul Muluk (Syiah), Ahmad Musadeq (pendiri Gafatar), Yusman Roy (shalat multibahasa), Mangapin Sibuea (pimpinan sekte kiamat) serta sejumlah nama-nama lainnya yang harus dipenjara karena terjerat pasal ini.
"Tidak ada batasan-batasan tertentu yang diatur dalam pasal ini sehingga orang kalau multitafsir bisa juga mengatakan, ini bisa bertaut dengan siapapun. Itu yang sebenarnya kita khawatirkan karena tidak ada ukuran-ukuran yang jelas terkait penghinaan terhadap agama ini. Kategori penodaan seperti apa, itu kan tidak tercermin secara jelas dalam pasal ini. Bentuk penodaan seperti apa itu tidak ada," papar Putri.
Untuk itu KontraS lanjut putri mendesak pemerintah dan DPR untuk menghapus delik penodaan agama melalui revisi UU KUHP yang saat ini sedang berlangsung di DPR.
Sebenarnya kata Putri pasal 286-287 KUHP sudah mengatur tentang pasal penghinaan terhadap golongan sehingga secara substansi seharusnya tidak perlu lagi ada pasal 156a soal penodaan agama ini.
Dia menilai pasal 156a ini bisa menjerat pemeluk-pemeluk agama minoritas dalam menjalankan agama dan kepercayaannya karena dianggap menodai agama mayoritas terlebih jika agama tersebut tidak diakui di Indonesia.
"Pasal ini karena sangat berbahaya bukan berarti kemudian dipastikan secara tetapi memang sebaiknya sudah tidak ada saja pasal ini karena kategori menodai sangat abstrak kalau kemudian abstrak ini kemudian kita juga persempit pengertiannya akan tetap subjektif karena bagi banyak orang pengertian ini bisa hal yang berbeda," tambah Putri.
Your browser doesn’t support HTML5
Sementara itu, Menteri Agama Lukman Hakim Syaifuddin menolak penghapusan aturan tentang penodaan agama. Menurutnya, saat ini aturan tersebut masih diperlukan agar tidak ada agama manapun yang dinodai sehingga bisa mencegah kerawanan sosial.
"Saya menangkapnya bukan menghilangkan tetapi bagaimana didudukkan secara semestinya. Lalu bukan digunakan untuk menghukum orang dengan dalih menista atau menoda, tetapi harus dimaknai bahwa aturan itu sebenarnya bagaimana agar masing-masing ajaran agama khususnya yang terkait dengan pokok-pokok atau isi dari ajaran agama lalu tidak kemudian tidak disimpangi oleh siapapun juga, sehingga malah menimbulkan kerawanan sosial yang tidak semestinya. Harus dilihat dari sisi preventif," tandas Lukman.
Terkait dengan aturan penodaan agama, KontraS bersama lembaga lain pernah mengajukan uji materi Undang-Undang Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama ke Mahkamah Konstitusi. Namun, uji materi tersebut ditolak Mahkamah Konstitusi. [fw/em]